Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Ide
Ghea buru-buru membuka pintu dan keluar. Tubuhnya sedikit goyah.
Pipinya merah menyala—entah karena marah, malu, atau...
...kenikmatan yang tak seharusnya ia rasakan.
Pintu mobil ditutup pelan. Mobil Leon melaju, tapi debar di dada Ghea justru tertinggal... tak pergi ke mana-mana.
"Aku sudah gila," gumamnya lirih, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Baru beberapa langkah, seorang pelayan menyambutnya.
“Nyonya sudah pulang?”
Belum sempat Ghea menjawab, suara berat terdengar dari arah ruang tamu.
“Akhirnya kau pulang juga.”
Ghea sontak menoleh. Tubuhnya menegang.
David berdiri di sana. Tegap, dingin. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tajam, seperti sedang mencoba membaca isi kepalanya.
“Kau... sudah di sini?” tanya Ghea pelan.
“Sejak semalam,” jawab David datar. “Aku menyusulmu di parkiran restoran karena kupikir akan menyelesaikan kerjaan dari rumah. Tapi kamu nggak ada. Mobilmu masih di sana, tapi kamu menghilang. Aku tunggu lama, nggak muncul juga. Kutelepon—tidak aktif.”
Ghea menunduk. Mulutnya terasa kering.
“Dan pagi ini...” David menahan napas sejenak. “Aku melihatmu turun dari mobil yang... tidak kukenal.”
Ghea diam. Napasnya tercekat. Suara Leon, sentuhannya, ciumannya... semuanya masih membekas terlalu jelas.
David melangkah mendekat.
“Dari mana kau semalaman, Ghea?” tanyanya lirih tapi penuh tekanan. “Siapa yang mengantarmu?”
Pertanyaan-pertanyaan yang tak semudah itu dijawab. Terutama saat hatinya belum berhenti berdebar.
Namun Ghea mengangkat dagunya, menegakkan kepala.
Ia tertawa pelan. Hambar.
“Tumben kamu peduli.”
Dalam hati, ia menegaskan: "Sepertinya dia tidak tahu aku bersama Leon. Aku harus tetap tenang. Jangan sampai dia curiga."
David terdiam sesaat, tertohok.
“Aku memang akhir-akhir ini sibuk. Tapi bukan berarti aku nggak peduli sama kamu.”
“Benarkah?” Ghea mendesah. “Aku nggak merasa begitu. Tapi... mungkin kamu memang lebih peka pada pekerjaanmu daripada padaku.”
“Ghea, jangan alihkan pembicaraan.”
Suaranya meninggi. “Mobil siapa tadi? Di mana kau semalaman?”
Ghea menghela napas kasar. “Itu mobil Vika. Aku nginap di rumahnya.” Ia menatap David tajam. “Toh kamu sendiri bilang nggak akan pulang, 'kan?”
Tanpa menunggu respons, Ghea melangkah pergi ke kamarnya.
David terdiam. Membeku.
"Benar kata Tessa..."
"Ghea berubah."
"Tak seperti dulu—yang selalu tersenyum dan menyambutnya saat pulang."
"Kini ia terasa lebih dingin. Acuh."
"Tapi kenapa?"
"Apakah karena ia terlalu sering absen?"
"Atau... karena ada pria lain?"
David menghela napas kasar.
Bayangan yang ia lihat semalam di parkiran restoran—sepasang siluet yang saling mencumbu panas di balik tiang beton—menghantui pikirannya.
"Itu bukan Ghea... 'kan?" bisiknya pelan. "Dia tak akan serendah itu. Dia tak mungkin... berselingkuh, hanya karena aku sudah lama tidak menyentuhnya... 'kan?"
Namun ia tahu jawabannya. Ia tahu betapa kosongnya Ghea akhir-akhir ini. Dan betapa ia sendiri sudah tidak lagi memberi apa-apa selain kewajiban formal sebagai suami.
Sebenarnya... ia tahu kenapa.
Sejak bersama Tessa, gairahnya pada Ghea menghilang. Ghea terasa membosankan. Terlalu jinak. Terlalu... lembut. Tidak seperti Tessa, yang berani memimpin permainan, tahu apa yang diinginkan pria, dan bisa berdiskusi tentang merger dan laba bersih sambil telan jang di ranjang hotel.
“Apa aku harus mulai menyentuhnya lagi?” pikir David. “Biar dia tak curiga, tak pergi sebelum aku menguasai asetnya. Bahkan seperempatnya pun belum.”
Tapi hanya memikirkannya saja sudah membuatnya enggan. Ghea tak lagi menggoda baginya. Tessa lebih muda. Lebih menggairahkan. Dan mereka... belum punya anak setelah lima belas tahun.
Semuanya terasa seperti beban.
Ghea terasa seperti masa lalu yang terlalu sopan untuk ditinggalkan, tapi terlalu hambar untuk dinikmati.
Kamar tidur. Sunyi. Lampu meja menyala redup.
Ghea menatap bayangannya di cermin. Wajahnya masih memerah, entah karena malu, marah… atau karena sentuhan yang tak seharusnya ia rasakan.
Tangannya terangkat, menyentuh pipi sendiri. Lembut. Tapi juga gemetar.
Perasaan itu belum pergi. Getar itu masih mengendap dalam darahnya. Napasnya masih belum stabil sejak turun dari mobil Leon.
Ia menunduk. Menggeleng pelan.
“Ini nggak benar.”
“Aku tak boleh tergoda... apalagi pada berondong sepuluh tahun lebih muda dariku.”
Ghea menunduk, telapak tangan menyentuh bibirnya sendiri, seolah ingin menghapus bekas yang tak terlihat.
“Mungkin dia cuma tertantang. Mungkin cuma ingin menaklukkan aku, seperti pria muda lain yang haus pengakuan.”
“Tak mungkin dia benar-benar menyukaiku. Aku ini siapa? Wanita tua. Sudah bersuami. Hatiku rusak. Tubuhku pun tak sempurna lagi.”
Ia mendesah panjang. Menutup mata. Tapi bayangan wajah Leon masih di sana—dingin, tampan, tubuhnya kokoh, matanya seperti magnet yang menyerap segala pertahanan.
Ghea berdiri. Membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi, lalu kembali ke depan cermin. Namun kali ini bukan untuk mengagumi diri. Tapi untuk mengingat siapa dirinya.
“Sadar, Ghea... sadar!” katanya keras di dalam hati, matanya membulat menahan emosi.
“Dia terlalu sempurna. Dia akan pergi setelah berhasil. Seperti lelaki lainnya. Seperti David.”
Ia mengambil sisir dan menyisir rambutnya cepat-cepat, seperti ingin menyibukkan diri dari perasaan yang bergemuruh.
“Aku harus fokus. Perusahaan. Warisan orang tuaku. Itu prioritas. Bukan Leon. Bukan fantasi.”
Tangannya berhenti menyisir. Mata Ghea kini menatap lurus ke bayangan di cermin. Tatapannya tajam. Penuh tekad.
“Aku tak rela harta itu dikuasai pengkhianat dan wanita murahan selingkuhannya. Aku akan rebut kembali semua yang jadi milikku.”
“Aku harus belajar bisnis, harus kuat. Meskipun angka-angka itu memusingkan. Meskipun laporan-laporan itu membuatku ingin muntah.”
Ghea menutup matanya. Menahan mual yang tak nyata. Tapi bukan karena laporan. Karena sakit hati yang menyesakkan.
“Aku tak bisa terus menjadi istri setia yang dibodohi. Aku harus buktikan bahwa aku tidak mudah diperdaya. Dan saat waktunya tiba…”
Ia membuka matanya perlahan. Sorot matanya seperti nyala api kecil yang mulai hidup di malam gelap.
“…akan kutendang mereka keluar dari hidupku. Dari perusahaanku. Dari segalanya.”
Langkah David terdengar berat saat memasuki kantor. Setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan wajah lesu dan kantung mata yang menghitam. Ia tak tidur semalam. Bukan karena kerja, tapi karena Ghea.
Di balik meja resepsionis lantai eksekutif, Tessa berdiri cepat. Wajahnya sempat bersinar melihat David, namun segera redup saat menangkap sorot mata pria itu yang muram.
Tessa menyusul langkah David ke ruang kerjanya, membiarkan pintu tertutup otomatis di belakang mereka.
"Bagaimana?" Tessa membuka suara hati-hati, dengan nada lembut yang seolah bersimpati. "Dia bilang semalam?"
David duduk dengan gerakan kasar, merenggangkan dasi sejenak, seolah kehabisan udara. Pikirannya masih dipenuhi amarah dan bingung.
"Aku nungguin dia sampai pagi. Tapi dia baru pulang saat matahari sudah terbit," gumamnya. "Dia benar-benar berubah, Tess."
Tessa berpura-pura kaget, alisnya terangkat tipis. Tapi hatinya menyimpan senyum puas.
Lalu, ia melangkah lebih dekat, tangannya menyentuh lengan David dengan lembut, seolah ingin menenangkannya. "Mungkin kamu harus mulai perlakukan dia lebih... baik. Kirim hadiah atau ajak makan malam, makan siang. Sesekali."
David meliriknya, ragu. "Hadiah?"
Tessa tersenyum manis, namun ada sesuatu yang licik di balik tatapan itu. "Tapi nggak usah mewah-mewah. Nggak perlu perhiasan atau tas-tas mahal. Cukup kirim bunga atau makanan kesukaannya. Itu bisa bikin dia luluh."
David tampak berpikir. Tatapannya mengambang, tidak fokus, seolah menimbang sesuatu di benaknya.
Tessa tahu betul ekspresi itu — pertanda saran yang ia lontarkan mulai dipertimbangkan.
Ia menahan senyumnya. Selangkah lagi.
Akhirnya, David menatapnya. “Sepertinya idemu tak buruk.”
Tessa mengangguk ringan, tetap menjaga nada profesional meski hatinya bersorak.
“Tentu saja. Nanti kau ajak saja dia makan siang. Tak perlu yang mewah—cukup sesuatu yang membuatnya merasa diperhatikan.”
David mengangguk pelan.
Tessa mengulum senyum. Lagi-lagi berhasil.
Ia tak ingin David terlalu baik pada Ghea. Cukup untuk menjaga citra suami-istri harmonis di mata publik—tapi tidak lebih dari itu.
“Aku harus tetap jadi satu-satunya yang bikin dia nyaman,” batinnya, penuh kepastian.
Ia berbalik, menyembunyikan sorot puas di wajahnya.
“Aku kembali ke meja kerjaku.”
Langkahnya ringan saat kembali ke meja kerja.
Tapi belum sempat ia duduk dengan tenang, suara notifikasi email masuk memecah lamunannya.
Pling.
Matanya melirik sekilas ke layar.
Seketika bola matanya membesar.
Napasnya tercekat.
“Undangan makan malam dari perwakilan Mahardika Grup?”
Jantungnya berdentum cepat.
Tangannya gemetar saat menggulir isi email.
Tak ada nama pengirim. Tak ada penjelasan siapa yang akan datang.
Tapi pikirannya langsung melayang pada satu nama.
Leon.
"Apakah mungkin… dia?"
Bibir Tessa terangkat membentuk senyum kecil yang sulit disembunyikan.
Namun di balik senyum itu—kegembiraan, ambisi, dan… kegelisahan—berdesakan di dalam dadanya.
“Kalau ini benar-benar dia… maka ini lebih dari sekadar makan malam.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.