NovelToon NovelToon
Sang Pewaris Tersembunyi

Sang Pewaris Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Identitas Tersembunyi / Elf
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Momoy Dandelion

Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Sihir Api Kecil

Sinar mentari sore menyusup lembut di sela pepohonan hutan Desa Syrren, menghangatkan batu-batu sungai dan semak-semak yang tumbuh liar. Di tengah hening yang syahdu, suara gemericik air mengalun sebagai latar alam yang abadi. Burung-burung kecil berkicau pelan, seakan ikut menjaga ketenangan tempat itu.

Sissel melangkah turun dari jalan setapak, membawa keranjang berisi sayuran liar dan rempah-rempah hutan. Pipinya memerah oleh kerja, bukan karena malu, dan napasnya sedikit memburu. Ia mengusap peluh dengan punggung tangan sambil menatap tempat pertemuan mereka—batu besar di sisi sungai kecil.

Namun alisnya segera bertaut. Di lapangan kecil tempat mereka sepakat berkumpul, sosok Sion berdiri sendiri. Ia bukan menunggu, bukan pula bersantai, melainkan sedang berlatih.

Pedang kayu di tangannya berputar dengan ketepatan yang mencolok. Setiap ayunan, langkah, dan putaran tubuhnya dilakukan dengan penuh fokus. Wajahnya teduh, namun gerakannya menyiratkan kesungguhan yang tak terbantah.

Sissel mendengus kecil.

“Dia seharusnya mencari hewan buruan, bukan bermain-main dengan tongkat,” gumamnya dengan nada jengkel.

Tanpa banyak pikir, ia meletakkan keranjangnya, lalu mengambil sebatang tongkat latihan panjang dari tumpukan kayu dekat batu. Dengan langkah mantap, ia mendekat, lalu tanpa aba-aba, mengayunkan tongkatnya ke arah Sion.

Clak!

Sion menangkis serangan itu dengan reflek nyaris sempurna. Matanya membelalak saat mengenali penyerangnya.

“Sissel?” tanyanya bingung.

Sissel tak menjawab. Ia melanjutkan serangan berikutnya, memaksa Sion bertahan dan menanggapi dengan gerakan yang tak kalah cepat. Dalam sekejap, dua bilah kayu saling beradu. Terdengar denting kayu keras yang berulang, menggema di antara pepohonan.

Mereka bertarung seperti dua orang yang sudah lama mengenal gerak satu sama lain—tahu cara membaca mata, tahu kapan menyerang dan mundur. Tapi pada akhirnya, pengalaman dan ketenangan berbicara.

Dengan satu gerakan mengelak dan putaran, Sion menjatuhkan tongkat Sissel, membuat gadis itu terpeleset dan jatuh ke tanah. Dalam sekejap, ia berada di atasnya, tongkat kayu nyaris menyentuh leher Sissel.

Keduanya membeku.

Napas mereka terengah, mata saling menatap. Dalam keheningan itu, ada getar samar yang lebih kuat dari ketegangan pertarungan. Sion segera menyadari posisi mereka, wajahnya memerah. Ia segera menarik tubuhnya menjauh.

Sissel mendorongnya cepat, lalu duduk sambil membuang napas kesal.

“Kau seharusnya berburu, bukan berlatih!” gerutunya, pipinya juga memerah, entah karena kesal atau malu.

Sion menghela napas, ia berjalan ke arah belakang pohon. “Sudah kutangkap. Lima ekor kelinci hutan. Semuanya masih segar.”

Sissel melirik, mendapati lima kelinci tergantung rapi di dahan rendah. Matanya membulat. “Lima? Kau bisa menangkap lima?” tanyanya tak percaya.

“Tidak sulit, kalau kau tahu jalur mereka lewat mana,” jawab Sion tenang. “Kupikir aku akan memanggang salah satunya untuk makan siang. Tapi... aku belum berhasil menyalakan api.”

Sissel berdiri, membersihkan debu di pakaiannya. Ia mengangkat satu alis, lalu berkata, “Sudah kuduga. Kau tidak sabaran.”

Ia menghampiri tumpukan ranting dan daun kering yang disusun Sion, lalu duduk di depannya. Ia meletakkan telapak tangannya di atas ranting, menarik napas pelan sembari memejamkan mata.

Dengan suara lirih dan penuh ketenangan, ia merapalkan mantra,

“Ilimi sazta, yehefe ta mereize kahtuv de layor eklovtu...”

Wahai jiwa-jiwa elf suci, berkahilah aku dengan kekuatan api yang suci darimu.

Telapak tangannya mulai bersinar redup, seolah menyerap energi dari udara di sekelilingnya. Cahaya hangat perlahan memancar dari sela-sela jari, lalu dalam sekejap—flick—percikan cahaya meloncat, dan api kecil menyala di antara ranting.

Sion yang duduk tak jauh darinya, tertegun.

"Kau... bisa sihir?" tanyanya pelan, nyaris tak percaya.

Sissel tersenyum samar, lalu duduk bersila di samping nyala api yang mulai menghangatkan udara sekitar. Ujung jemarinya masih sedikit bergetar. Bukan karena takut, tapi karena energi yang baru saja ia lepaskan.

“Aku... berlatih sendiri,” katanya pelan. “Setiap aku pergi ke hutan… Diam-diam.”

Sion menoleh, duduk di seberangnya. “Sendiri?”

Sissel mengangguk. “Aku menemukan sebuah kitab... peninggalan ibu. Ada di peti tua di gudang, tersembunyi di bawah tumpukan kulit rusa dan panci-panci tua. Aku tidak yakin ayah tahu benda itu ada.”

Ia menunduk, mengaduk bara dengan sebatang kayu kecil. “Aku juga bisa melakukannya baru-baru ini. Terdengar aneh, kan?”

Sion menatapnya, matanya tak berkedip. Kagum.

Sissel mengambil satu kelinci lalu menggantungnya di atas tonggak kayu yang dibuat di atas api. “Kekuatanku masih lemah. Api yang bisa kuhasilkan kecil, hanya cukup untuk menyalakan kayu bakar.”

“Dalam kitab itu tertulis, kalau sudah mahir... elf pengendali api bisa menyalakan panah mereka dari udara. Membakar musuh dari kejauhan tanpa menyentuh apapun.”

Ia menoleh, matanya sedikit suram. “Ada bagian yang menceritakan kalau ibuku lihai memainkan busur panahnya. Bisa membuat anak panah yang ia lesatkan mengobarkan api. Tapi, aku sendiri tak tahu seperti apa busur panah yang ibu miliki. Mungkin benda itu tersimpan di istana.”

Sissel selalu muram setiap memikirkan istana. Ia ingin sekali menginjakkan kaki di sana. Setidaknya bisa mengunjungi makam ibunya sekali saja.

Sion menelan ludah pelan. Matanya memandangi bara api yang berkilau jingga. “Kitab itu… masih kau simpan?”

“Ya.” Sissel mengangguk. “Di bawah tempat tidur. Terbungkus kain tua.”

Sion tampak berpikir sesaat, lalu berkata, “Bolehkah aku… meminjamnya? Mungkin, aku bisa belajar sesuatu.”

Sissel sempat tertawa kecil, lalu menggeleng perlahan. “Aku rasa... itu tak akan berhasil. Kitab itu dibuat untuk keturunan khusus kerajaan. Ada simbol yang hanya bisa dibaca dengan darah elf kerajaan.”

Sion terdiam sesaat. Pandangannya tetap menatap api, tapi pikirannya sudah melayang jauh.

“Siapa tahu aku cukup beruntung,” katanya.

Sissel menatapnya, dahi berkerut sedikit. “Kau percaya keberuntungan?”

Sion menoleh, menatap gadis itu dengan senyum miring. “Sejak mengenalmu, aku mulai percaya pada banyak hal.”

Sissel tertawa pelan, tapi ada rona merah di pipinya yang tak bisa disembunyikan.

Ia memutar daging kelinci agar bisa matang secara merata. Aroma gurih mulai meresap di udara, bercampur dengan semerbak tanah hutan yang lembap.

Sion duduk bersila dengan satu tangan menopang dagu, matanya mengikuti pergerakan api. “Jujur saja... aku tak menyangka akan makan kelinci bakar dengan sihir di tengah hutan bersama seorang gadis yang tadi hampir mengalahkanku dengan tongkat kayu.”

Sissel menahan tawa, mencubit sejumput daun mint dari keranjang dan menaburkannya di atas daging. “Dan aku tidak menyangka, pria yang begitu serius itu ternyata bisa membuat kelinci-kelinci menyerah tanpa perlawanan.”

“Aku tak membuat mereka menyerah,” bantah Sion. “Aku hanya tahu kapan harus diam dan kapan harus cepat.”

“Ah, jadi begitu juga caramu menghadapi pertarungan?” goda Sissel sambil membalik kelinci bakar agar matangnya merata. “Atau… caramu menghadapi wanita?”

Sion tersedak udara kosong, lalu tertawa pendek. “Itu... rahasia. Tapi aku rasa, menghadapi wanita jauh lebih berbahaya dari orc.”

Sissel berpura-pura mencibir. “Tentu saja. Wanita bisa membaca pikiran. Orc tidak.”

Keduanya tertawa ringan. Tawa yang tidak dibuat-buat. Tawa yang lahir dari kelegaan dan kebersamaan.

Saat aroma daging mulai matang sempurna, Sissel memotong kelinci menjadi beberapa bagian, menyodorkan satu potong ke Sion di atas daun lebar.

“Cobalah. Tapi hati-hati, panas.”

Sion menerimanya, mengangguk dengan senyum tulus. Ia menggigit perlahan, lalu menutup mata sesaat. “Ini... enak. Serius.”

“Kau pikir aku tidak bisa memasak?” Sissel mengangkat alis, lalu ikut mencicipi bagiannya sendiri. “Aku punya banyak resep rahasia. Termasuk membuat jamur pahit menjadi manis.”

“Luar biasa,” gumam Sion, masih menikmati kunyahannya. “Kau bisa bertarung, bisa sihir, bisa memasak. Sepertinya kau tidak butuh penjaga.”

Sissel menoleh, menatapnya dari balik rambut merahnya yang tertiup angin. “Tapi semua orang, bahkan elf terkuat sekalipun, kadang butuh seseorang di sisinya. Bukan untuk dilindungi, tapi mungkin sebagai teman.”

Kata-kata itu menggantung di udara.

Sion terdiam. Sebuah keheningan mengalir di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Itu seperti jeda musik dalam simfoni, memberikan ruang bagi makna untuk mengendap.

Matahari sudah mulai miring, sinarnya menembus dedaunan dan menyinari rambut Sissel seperti helaian api. Sion tak bisa menahan senyum kecil yang terbit di wajahnya.

“Aku ingin terus makan bersamamu seperti ini,” ucapnya pelan, seolah membisikkan sesuatu pada angin.

Sissel tak langsung menjawab. Ia hanya menatap api yang mulai mengecil, kemudian menoleh ke arah Sion. Ada binar hangat di matanya, seperti sinar senja yang tak ingin cepat pergi.

“Aku juga,” katanya lirih.

1
vj'z tri
ish ish ish rauk kurang jelas brifing nya 🤭🤭🤭 dah tau yang di bawa orc otak nya cuma 1/2 🤣🤣🤣🤣🤣lagian bawa anak orang gak di kasih makan kan jadi lapar 🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
serangan orc tiba tiba ..pasti ada dalang nya ini 😤😡😤😡😤
vj'z tri
kalian salah matahari yang asli masih bersembunyi dia adalah Sion
vj'z tri
pangeran sadar lah akan hati mu sebelum ia pergi dan menghilang 🥹🥹🥹
vj'z tri
semoga Sion di pinjami kitab nya 🤭😁🥳
vj'z tri
naga kah 🤔🤔🤔
vj'z tri
dasar pemuda kurang kerjaan ,😤😤😤😤
vj'z tri
duarrrrr sekarang terbuka sudah biang Lala nya 😱😱😱😤😤😤😤
vj'z tri
pasti ada mata mata 🤔🤔🤔
vj'z tri
iyeee tar lu yang di masak mimbo 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
terpesonaaaaaa aku terpesonaaaaaa memandang memandang wajah mu yang manissss 💃💃💃
vj'z tri
semangat Thor up nya 🥳🥳🥳
vj'z tri
waktu nya belajar pedang semangat Sion 🎉🎉🎉
vj'z tri
ayo Sion beritahu paman mu 😁😁😁
vj'z tri
aura putra mahkota terlihat cuyyyy 🤩🤩🤩🤩 lanjuttt guysss
vj'z tri
pencuri 😤😤😤😤😤😤
vj'z tri
merindukan paman 😁😁😁
vj'z tri
Sion semoga kau kembali dengan selamat ....petualangan di mulai 🎉🎉🎉
vj'z tri
jangan sampai sissel di tuduh mencuri 🤨🤨🤨🤨🤨
vj'z tri
dukun u gak mempan bro 🤣🤣🤣🤣🤣🤣 nieville gak tertarik 🤣🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!