Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Sate Buaya Rudi
Kuliah selesai jam tiga sore. Sebelum pulang Rudi mengajak Intan mampir ke mesjid Unsil menunaikan sholat ashar berjamaah. Kemudian mengantarnya ke Pondok Mawar untuk mandi dan ganti baju. Pukul setengah empat mereka sudah tiba di kosan Rudi lagi untuk menjemput gerobak.
Intan tampil menawan dalam setelah jeans over all biru tua bergaris-garis halus dan baju kaos lengan panjang warna putih serta jilbab warna putih. Sementara kakinya terbalut flat-shoes yang juga berwarna putih.
Diam-diam Intan membaca tulisan spanduk gerobak :
SATE BR
“Hey Rud, mau ke mana?!!” tiba-tiba kawan satu kos Rudi menyapa. Namanya Jono. Baru pulang. Dia diikuti seorang teman tak dikenal.
“Biasa Jon, SATE BR…!!” jawab Rudi singkat.
“SATE BR apaan sih?” bisik teman Jono.
“Mmm… itu… apa… eee… SATE BUAYA RUDI...” seloroh Jono sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Sialan kamu Jon!” protes Rudi, nyengir, sambil melenggang mendorong gerobak meninggalkan pelataran kos-kosan bersama Intan.
“Kok nggak dikenalin Rud?” protes Jono.
Rudi melirik ke arah Intan.
“Adekku, mau ikut jualan. Jangan macem-macem kamu Jon, udah sana!” hardik Rudi.
“Oooh…”
Intan melambung dibela Rudi.
“Jangan lupa nanti malam main catur lagi!” teriak Jono
“Siaaap, kalau sempet!” balas Rudi.
Rudi dan Intan mendorong gerobak menelusuri gang hingga tepi Jalan Tentara Pelajar, kemudian berbelok ke selatan menuju area parkir kampus.
“Enak aja buaya!” protes Intan
“Kenapa Dek?” tanya Rudi.
“Masa Abang dibilang buaya!”
“Oooh… si Jono, nggak usah ditanggepin! Dia tuh emang usil orangnya.” kata Rudi.
“Abang tuh harimau, kalau nggak singa. Itu baru keren! Apaan buaya? Enak aja! Sebel banget deh!”, manyun.
Rudi diam saja. Sebenarnya hatinya merasa sangat tersanjung mendapat pembelaan dari Intan.
“SATE BR itu singkatan dari apa sih Bang sebenernya? Bukan SATE BUAYA RUDI kan?!!”
“Kamu ini… ya bukan lah!”
“Terus apaaa?”
“SATE BANG RUDI, itu yang bener.”
“Oooh, kenapa nggak ditulis BANG RUDI aja sih? Pake disingkat segala!” protes Intan.
“Emang kenapa?”
“Yaaa biar Abang nggak disebut buaya.”
“Bagusan disingkat Dek. Biar cepet dikenal. SATE BR, tuh kan orang jadi gampang ngapalinnya!”
“Oooh gitu ya Bang!”
“Itu tujuan Abang.”
“Tapi Abang kan jadi disebut buaya, gimana dong?!!”
“Ya udah, biarin!”
“Iiiih Abang, kok biarin sih, jelek ah, masa buayaaaaa!”
Rudi tertawa lepas.
“Kalau orang menyebut Abang buaya yaaa… terserah mereka, yang penting kan Abang bukan buaya.”
“Iya sih Bang, cuma kesel aja dengernya.”
“Sebenarnya Abang sengaja juga pake singkatan BR, biar orang tidak ada yang tahu.” bisik Rudi.
“Emang kenapa kalau orang-orang tahu?”
“Soalnyaaa… nggak jadi deh!”
“Yaaa, Abaaang!!!”
“Susah jelasinnya Dek.”
“Huuuh Abang, ngejelasin materi biologi lancar, giliran ngejelasin singkatan BR nggak lancar!”
Rudi berpikir. Dari kejauhan sudah kelihatan gerbang parkir kampus. Sebentar lagi mereka sampai.
“Gini deh, siapa di kampus yang manggil Abang dengan sebutan Bang atau Abang?” tanya Rudi.
“Siapa lagi kalau bukan Intan!”
“Selain kamu?”
“Mmm…kayaknyaaaa nggak ada.”
Rudi manggut-manggut.
“Kalau yang lain manggil Abang juga kira-kira gimana ya?” gumam Rudi sambil mikir.
“Yaaa… boleh-boleh aja! Eh nggak deh, nggak jadi! Mmmm… nggak suka aaah, jadi nggak istimewa gitu, emangnya adek Abang ada berapa di kampus? Enak aja!” timpal Intan, cemberut.
“Nah, kalau Abang ganti singkatan BR jadi BANG RUDI, kira-kira adek Abang jadi berapa ratus tuh? Evita bilang Abang, Resti bilang Abang, Mira beli sate bilangnya Abang juga, terus Leli juga, Tania, Nurzakiyah, Sinta, Salma, Ratnasari, Tuti, Ira, Fatimah, Zulfa, Mia, Nisa, Julia, Dini, Maryam, Novitasari….”
“Eeeeee… nggak mau aaah, jangan diganti, udah BR ajaaa!!!” rengek Intan.
Rudi terkekeh.
Pukul empat sore mereka sampai di sisi utara gerbang parkir. Rudi segera memasang terpal dan menyetel meja lipat, sementara Intan memasang taplak dan menyusun kursi plastik. Sore itu Intan membantu Rudi menyiapkan segala keperluan jualan berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan Rudi.
Dalam waktu senggang menunggu pelanggan Intan tampak asyik membaca buku biologi yang ia temukan dari dalam gerobak. Sementara Rudi termangu bersama segelas kopi.
“Baca apa kamu?” tanya Rudi.
“Baca pacar Abang!!!” jawab Intan ketus.
“Apaan sih kamu Dek?”, Rudi nyengir.
“Lagian, buku kok dianggap pacar!” gerutu Intan.
Rudi terkekeh, lalu meneguk kopi. Ingatannya kembali ke saat siang. Waktu itu dilihatnya Edgar berlalu dengan kecewa. Lalu ketika ia membenarkan kran bensin, tiba-tiba Intan menghampiri sambil marah-marah, minta ikut ke pasar dan tak mau diantar kembali ke kampus. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Intan dan Edgar? Rudi masih belum mengerti.