Asmara Dua Sisi

Safira berjalan cepat menghampiri Vio dan BU Tari yang masih mematung di tempatnya semula.

"Lho Fir, kata Aditya kamu lagi ketemuan sama temen kamu, nggak jadi?" tanya Ibu saat Fira mencium punggung tangannya.

"Batal Bu, Fira nggak tahu kalo Ibu butuh ditemenin ketemu orang," jawab Fira sambil melirik Vio.

"Ngapain batal, Ibu udah ada yang nemenin kok," sahut Tari tiba-tiba menyesal karena mengungkapkan apa. yang ada dipikirannya, sudah paham bagaimana watak dan tabiat Fira yang susah untuk dinomor duakan.

"Jadi karena udah ada Violet, jadi Fira nggak boleh nemenin Ibu?" tanya Fira dengan wajah sedihnya.

"Eh, bukan itu maksud Ibu. Maksud Ibu tuh kalo kamu ada keperluan nggak papa lho Fir, Ibu bisa pending keperluan Ibu atau Ibu bisa minta tolong yang lain," ucap Ibu meralat ucapannya.

"Oh iya Fira lupa, Ibu kan sekarang juga ada Vio," ucap Fira lirih dengan muka semakin sedih.

Vio menatap Fira dengan sorot bingung. 'Kenapa dia kayak nggak suka gitu sih ama gue. Gue kan nggak ada masalah apa dia sebelumnya, kenal juga baru di rumah ini!' Dengus Vio dalam hati, Vio bisa merasakan bahwa Fira tidak suka dengannya.

"Tante, karena sekarang udah ada Mbak Fira, saya permisi aja ya, soalnya masih ada yang mau saya kerjain." Vio pun pamit dengan sopan sambil mencium punggung tangan Ibu dari pacarnya itu.

Seperti saat Vio datang tadi, kali inipun Tari memeluk tubuh Vio dengan lembut dan erat, seolah mereka sudah menjadi ibu mertua dan menantu.

"Maaf ya Nak, Ibu jadi ngerepotin kamu." ucap Tari sebelum Vio berlalu dan masuk ke dalam mobilnya.

"Nggak apa-apa Tante, Vio nggak repot kok." Vio mengangguk sekali lagi lalu pergi dari rumah itu.

Barulah saat Vio berada di dalam mobilnya dan menjauh dari rumah itu, Vio mulai mengomel panjang lebar persis seperti saat ia mengomeli Asa.

"Astaga kayak lagi saingan aja sih gue ama Fira, kesannya tuh gue mau ambil Tante Tari dari hidup dia. Ini gue belum jadi istrinya Mas Amar, gimana nanti kalo udah nikah!" Setelah mengucapkan itu Vio membekap mulutnya lalu tertawa sendiri karena mikirnya kejauhan banget.

Mobil Vio masuk saat mobil Rissa hendak keluar dari garasi. "Lho kak katanya pulang sore?" tanya Rissa dari dalam mobilnya, tadi saat melihat mobil Vio masuk, Rissa menurunkan kaca mobilnya.

"Nggak jadi pergi. Bunda mau kemana?" tanya Vio.

"Mau ke salon, terus mau ketemuan ama Tante Widi sebentar, mau ikut?" tanya Rissa.

"Tapi Bunda yang nyetir ya, pulangnya nanti aku yang setirin," jawab Vio lalu masuk ke kursi penumpang samping kemudi.

Rissa pun mengemudikan mobilnya ke salon langganannya, sedang Vio yang duduk di sampingnya menatap Rissa sambil menimbang apakah ia perlu menceritakan kejadian tadi kepada bundanya itu.

"Kenapa Kak?" tanya Rissa.

"Gimana ya aku ngomongnya, bingung deh Bun!" Vio menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil menyusun kalimat yang tepat.

"Kenapa sih?!" Rissa menoleh menatap Vio lalu kembali fokus ke jalanan lagi.

"Tadi aku disuruh Mas Amar nemenin ibunya Bun, katanya ibunya mau ketemu sama orang yayasan gitu dan minta tolong aku buat nemenin,karena om Hendra sama anak-anaknya lagi nggak bisa nemenin, nah waktu aku lagi ngobrol sama Tante Tari, tiba-tiba kakak iparnya Mas Amar yang namanya Fira dateng, tapi yang bikin aku bingung tuh kenapa dia kayak yang nggak seneng gitu liat aku sama Tante Tari, kayak... um, marah dan cemburu gitu sih," cerita Vio panjang lebar.

"Masak sih? Kamu salah tafsir kali." Rissa memutar kemudinya untuk berbelok.

"Nggak Bun, dua kali pertemuan kami, emang beneran kayak yang nggak suka sama aku gitu. Padahal apa coba yang diiriin dari aku," gumam Vio sambil menerka jawaban dari pertanyaannya itu.

"Emang kamu kenapa? Cantik, pinter, menarik kan? Pasti banyak yang iri sama kamu, kemungkinan si Fira Fira itu juga iri sama kamu!" ketus Rissa mulai keluar muka judesnya dan kata-kata julidnya.

"Masak ngiri sama aku Bun? Dia cantik, pinter juga pastinya, suaminya pengusaha, ayahnya pengusaha, kaya raya, apa yang mau diiriin sama aku." Vio tetap pada pendiriannya bahwa tak ada yang bisa kelebihannya yang membuat Fira iri kepadanya.

"Kebaikan hatimu!" sahut Rissa cepat.

"Kalo kamu nggak baik hati, nggak mungkin Amar buru-buru menyatakan cinta sama kamu. Kalo kamu nggak baik hati, bagaimana mungkin ibunya Amar langsung menerima kamu jadi pacar anaknya. Banyak hal yang mungkin menjadi kelebihan kamu yang kamu nggak sadari," lanjut Rissa lagi.

"Iyakah Bun? Aku merasa biasa saja, mungkin ini juga hasil didikan Bunda sama Ayah. Aku nggak tahu apa jadinya aku kalo bukan Bunda yang jadi bundaku," gumam Vio sambil menatap Rissa dengan lekat.

Rissa menyusut sudut matanya yang tiba-tiba berair, mungkin banyak yang tidak tahu dibalik chasing Rissa yang judes terdapat hati yang mudah trenyuh dan tersentuh.

Vio terkekeh. "Padahal mukanya judes banget, tapi gampang banget mewek!" ledek Vio mengusir rasa haru yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.

"Boleh peluk nggak Bun?" Vio pun memeluk Rissa dengan erat, rasanya bersyukur banget punya ibu sambung seperti Rissa. Baik, peduli dan menyayanginya setulus hati.

"Terima kasih ya Kak, sudah jadi anak kebanggaan Bunda, rasanya kamu adalah anugerah terbesar selain Ayah dan Asa, yang dititipkan Tuhan sama Bunda." Rissa mengelus puncak kepala Vio dengan sayang.

"Terima kasih juga udah mau jadi Bundaku, menyayangi aku dan mendidik aku hingga orang sekelas Fira aja ngiri sama aku. Makasih ya Bun. " Vio mencium pipi Rissa dengan lembut.

"Nggak perlu ada persaingan ya Nak, biarkan saja dia mau ngapain, yang penting Amar sayang dan baik sama kamu."

"Iya Bun."