Dijual Suami, Dinikahi Kakak Ipar (Mafia Dan Perawat Muslimah)

Emelia nyaris terbanting karena ulah Kenzo yang mendadak putar balik dan itu dalam keadaan serba cepat. Termasuk juga dengan Alesha yang sampai terbangun ketakutan. Andai Emelia tidak mendekap tubuh Alesha menggunakan kedua tangan, bocah itu pasti nyungseb ke bawah.

“Papa, ada apa?” tanya Alesha.

Seperti sebelumnya, Emelia memilih diam. Ia tidak berani bertanya dan memilih menenangkan Alesha melalui dekapan sekaligus belaiannya.

“P—Papa lupa ... ini Papa ada pekerjaan mendadak. Kamu sama Onty Lia pulang ke rumah kita dulu, ya!” ucap Kenzo sengaja berbohong.

“Kan kita sudah janji ke mama sama yayah kalau aku pulang sebelum pukul sepuluh malam,” ucap Alesha sengaja mengingatkan sang papa.

Dalam diamnya, Emelia yang sudah paham dunia Kenzo yakin, ada masalah fatal. Alasan tersebut pula yang membuatnya memilih diam. Ia tak mau menambah beban Kenzo.

“Nanti ke mamanya, Alesha sama Onty. Soalnya Papa ada pekerjaan mendadak,” lirih Emelia memberi Alesha pengertian, tapi Kenzo langsung membantahnya dengan suara lantang.

“Kalian tetap harus di dalam rumah selama Papa belum pulang!” tegas Kenzo yang kemudian menyesali keputusannya. Sebab suaranya yang emosional itu membuat Emelia apalagi Alesha ketakutan kepadanya.

Alesha memeluk Emelia sangat erat. Ia melirik ngeri sang papa yang menang akan sangat menakutkan jika sudah marah-marah seperti sekarang.

Sesampainya mereka di halaman rumah, mereka langsung turun dari mobil. Kenzo sengaja memaksa Alesha untuk mau ia peluk.

“Papa sayang sama kamu! Papa enggak pernah bermaksud bikin kamu terluka. Kamu sama Onty Lia. Jangan keluar rumah. Kalian mau apa, bilang saja ke Om yang jaga!” ucap Kenzo sambil membingkai wajah Alesha menggunakan kedua tangan.

Alesha tetap menatap serius kedua mata Kenzo. “Tapi besok, aku ada ujian akhir semester, Papa! Nanti aku enggak naik kelas!” rengeknya.

“Nanti Onty yang bilang ke Mama dan gurunya. Nanti kamu tetap bisa ngerjain secara daring!” lanjut Kenzo yang juga langsung meminta Alesha untuk meninggalkannya hanya berdua dengan Emelia.

“Berikan ponselmu kepadaku!” sergah Kenzo langsung mengulurkan tangan kanannya.

Tanpa terlebih dulu bertanya apalagi rewel, Emelia langsung memberikan ponselnya kepada Kenzo. “Selain ponsel, ... apa yang harus aku lakukan agar aku bisa meringankan beban Kakak, ... bahkan walau sedikit?” ucapnya lirih sambil menahan tangis.

Entah kenapa, pertanyaan Emelia barusan, langsung membuat hati seorang Kenzo seolah teriris. “Kenapa jadi seberat ini?” pikir Kenzo merasa berat meninggalkan Emelia. Kedua matanya menatap dalam kedua mata Emelia. Namun, ingatannya langsung terlempar pada foto target yang harus ia bunuh dalam misinya dan itu justru Emelia. “Kalian semua harus mati! Baik kamu yang menginginkan nyawa Emelia, maupun bos mafiaku yang pasti sengaja memberi misi ini kepadaku. Dia pasti sudah tahu siapa Emelia untukku. Jadi, habisi atau dihabisi! Yang dengan kata lain, kalian semua harus mati!” batin Kenzo memilih pergi begitu saja tanpa terlebih dulu pamit apalagi menjelaskan kepada Emelia. Terlebih, wanita yang akan ia nikahi itu sebelumnya baru saja bertanya.

Emelia yang tak mungkin menyentuh Kenzo jika bukan untuk urusan darurat khususnya penanganan dirinya sebagai perawat, meraih ujung jaket kulit bagian pinggang Kenzo. Emelia berusaha menahan Kenzo, dan calon suaminya itu perlahan menghentikan langkahnya.

Air mata Emelia jatuh bersama rasa berat atas perpisahan yang tengah mereka jalani. Perpisahan tanpa pamit bahkan sekadar basa basi. “Kakak harus pulang, ... kapan pun, dan bagaimanapun. Di sini, aku akan menunggu bersama Alesha. Urusan Alesha, Kakak bisa mempercayakannya kepadaku. Karena sejak awal kami bertemu, apalagi setelah aku tahu dia darah dagingmu, ... aku sudah menganggapnya sebagai anakku juga!” berat Emelia. Air matanya makin berjatuhan membanjiri pipi.

“Jangan berjuang sendiri. Karena sekarang aku akan selalu ada buat Kakak. Kita bisa merundingkan semua hal termasuk kesibukan dan juga pekerjaan Kakak. Bahkan, ... kita juga bisa membahas hal-hal yang menurut orang sepele,” lanjut Emelia.

Dalam diamnya, selain menahan napas, Kenzo juga menahan tangis. Ia balik badan kemudian merogoh saku dalam jaket kulit sebelah kirinya. Meski tatapannya fokus menatap tajam kedua mata Emelia yang juga balas menatapnya, ia menyerahkan ponsel yang ia ambil kepada Emelia tanpa terlebih dulu memastikan ponselnya. Namun bisa Emelia pastikan, ponsel yang baru saja Kenzo berikan, bukan ponsel miliknya maupun ponsel milik Kenzo.

“Hanya ada nomorku dan nomor mamanya Alesha. Kamu juga tidak boleh menghubungi siapa pun menggunakan ponsel itu!” ucap Kenzo makin bengis. “Dia mencintaiku, ... aku tahu dia mencintaiku! Sementara sejauh ini, cinta selalu menjadi alasan seseorang mendapatkan banyak kekalahan. Meski alasanku akan membunuh semua orang yang mengusiknya, juga karena aku menyayanginya!” batin Kenzo tak mau lama-lama menatap kedua mata Emelia. Apalagi jika keadaannya teramat pilu layaknya sekarang.

“Aku sayang Kakak! Aku mencintaimu! Dari dulu ... sampai kapan pun!” ucap Emelia berakhir dengan tangis pecah. Dadanya terasa sangat sesak hanya karena ia tahu, pria yang ia cintai dan akan pergi, belum tentu kembali atau sekadar bisa ia temui lagi. Sebab Kenzo pasti akan bertaruh nyawa dengan kehidupan dunia mafia yang benar-benar menyeramkan.

“Katakan bahwa Kakak akan kembali!” mohon Kenzo.

“Benar-benar merepotkan!” bengis Kenzo sengaja menghardik Emelia. Ia menatap tajam Emelia yang malah lari menghampirinya. Emelia meraih lengan kanan Kenzo kemudian menyandarkan dahinya di punggung Kenzo.

Di lain sisi, di dalam rumah orang tuanya, Clara terus mondar-mandir di tempat tidur. Clara menempelkan ponsel ke telinga kanannya.

“Bagaimana Nis? Si Emelia tetap enggak bisa dihubungi?”

“Kamu sudah ke rumah orang tuanya, kan?”

“Dia sedang pergi dengan calon suaminya? Dia beneran sudah mau nikah lagi?! Ya ampun ... dasar janda kegatelan!”

“Katanya paham agama, tapi hobinya kawin cerai! Yang begini nih, yang merusak nama baik agama!”

Emelia dengan semua yang melekat dalam diri wanita itu memang sudah telanjur Clara benci. Terlebih karena Emelia juga, dirinya terancam dibui.

“Pokoknya, malam ini juga. Bagaimanapun cara ya, kamu wajib bawa Emelia ke sini ya, Nis! Aku tunggu!” ucap Clara yang kemudian mengakhiri sambungan teleponnya.

“Emelia harus mati! Berani-beraninya dia tetap maju memperkarakan hubunganku dan Endah! Emelia bahkan berani menggandeng pengacara, padahal Endah saja entah masih hidup atau sudah mati karena dia malah minggat!” kesal Clara.

“Si Emelia pasti habis sama si Clara. Lagian ini si Emelia kenapa juga belum pulang? Janda, masih nasa iddah, anaknya pemuka agama, kok keluyuran tengah malam gini. Enggak tahu apa, dia bisa jadi duit buat aku asal aku menyerahkannya ke Clara malam ini juga!” batin Anis mau tak mau pamit dari rumah orang tua Emelia. Sebab kini sudah pukul sepuluh malam lewat. Kendati demikian, ia tetap bertahan menunggu di motornya tak jauh dari jalan depan rumah orang tua Emelia.

“Biarkan aku bertemu dengan orang yang membuatku mendapatkan misi,” tawar Kenzo tengah berbincang dengan sang bos mafia melalui sambungan telepon. Namun, tatapannya sudah fokus kepada sosok Anis.

Kenzo menghentikan laju mobilnya. Ia masih melakukan penawaran kepada sang bos mafia, tapi ia sengaja membalas setiap WA Anis kepada Emelia.

“Wanita ini yang kemarin tertangkap kamera Leo. Dia yang bersekongkol dengan Clara!” batin Kenzo mengamati Anis dengan bengis. “Kalian semua harus mati!” batin Kenzo lagi yang dengan sadar, segera menghidupkan mesin mobilnya lagi.

Awalnya, Kenzo memang mundur dan itu dengan sangat buru-buru. Namun setelah itu, Kenzo langsung maju dan tanpa pikir panjang langsung menabrak Anis. Anis yang masih duduk di motor matic putihnya, baru akan menoleh ke belakang. Tubuhnya terlempar ke tengah jalan. Anis pikir, semua penderitaan dadakannya sudah berakhir. Namun wanita cantik berpenampilan feminin itu juga sampai digilas dengan keji oleh mobil besar yang Kenzo kendalikan.

Saking sakitnya apa yang ia rasakan, Anis sampai tidak bisa berkata-kata. Alih-alih mendapat imbalan dari Clara atas misinya menyerahkan Emelia, ia malah meregang nyawa.