Kamar jenazah, bagian dari rumah sakit yang agak dihindari. Misteri dan kisah mistis apa yang dialami oleh Radit Krisna yang bekerja sebagai petugas Kamar Jenazah. Tangisan yang kerap terdengar ketika menjalani shift malam, membuat nyalinya terkadang ciut.
Berhasilkah Radit melewati gangguan yang terjadi dan mengungkap misteri tangisan tersebut?
===
Hanya untuk penggemar kisah horror. Harap tidak membaca dengan menabung bab ya.
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 ~ Terungkap (2)
Radit menatap Lena membuat wanita itu mengernyitkan dahi karena heran dengan sikap Radit yang malah terdiam.
“Serius buka di sini?”
“Ya iyalah, masa harus tunggu pihak berwajib datang. Kelamaan, keburu iblis pencabut nyawa teman kamu datang,” tutur Lena. “Tunggu, memang kamu mikir aku suruh buka apa?”
Radit terkekeh dan Lena memukul tangannya.
“Jangan bercanda kamu.”
“Sorry, dari kemarin tegang mulu,” ujar Radit lalu menepuk tas itu mengusap tanah yang masih menempel. Sedangkan Lena membuka goody bag yang ternyata berisi air mineral botol dan snack dengan logo minimarket yang buka dua puluh empat jam.
Radit membuka resleting dan Lena menyorot dengan cahaya dari ponselnya. Mengeluarkan dompet dan ponsel yang sudah mati, sepertinya karena kehabisan daya. Tangan Radit membuka dompet tersebut dan mencari kartu identitas.
Beberapa lembar uang rupiah juga nota belanja, akhirnya ketemu juga kartu identitas penduduk yang terselip di antara beberapa kartu lainnya. Dari foto kartu tersebut, pasangan itu yakin kalau perlengkapan ini adalah milik jenazah perempuan tanpa identitas.
Setelah membaca nama yang tertera di sana, Radit dan Lena saling tatap.
“Kita harus ….”
“Hiks … aku mau pulang.”
“Astaga,” ujar Radit sampai terduduk dari posisinya mana kala mendengar tangisan tidak jauh dari tempat mereka. Lena pun sama terkejutnya dan sekarang sudah berdiri dan menepuk bahu Radit agar ikut beranjak.
“Kami akan antarkan jenazah kamu, pergilah. Disini bukan tempatmu lagi,” ujar Lena dengan suara bergetar karena takut.
Bagaimana tidak, jika mereka berada di tempat pemakaman dan sosok perempuan di hadapannya berdiri sambil menundukkan wajah dengan rambut menjuntai menutupi wajah itu.
“Dit, bangun!” titah Lena lirih.
“DIA HARUS IKUT, DIA YANG BUAT AKU BEGINI!”
“Tuhan yang akan membalas, kamu tidak berhak. Jangan jadi iblis jahat .... Aaaa.”
Sosok itu melayang dengan cepat dan mencengkram leher Lena yang sekarang berteriak sambil mencengkram lengan sosok tadi. Radit bingung melakukan apa, dia ajak tanding pun tidak mungkin karena itu … hantu.
Dia ingat doa yang diajarkan ibunya. Segera ia lantunkan dengan lantang, belum selesai doa yang dilantunkan makhluk itu mengerang dan melepaskan cengkramannya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Radit dan Lena hanya menggeleng, ternyata menyisakan bekas di leher jenjang wanita itu.
“Ayo pergi,” ajak Lena karena makhluk tadi kembali menangis. “Teman kamu, dalam bahaya.”
Entah jam berapa sekarang, yang jelas angin yang berhembus terasa dingin bahkan terlihat gemuruh di langit. Sepertinya akan turun hujan. Radit mempercepat laju motornya.
“Pegangan!” teriaknya pada Lena. Kedua tangan wanita itu pun terasa melingkar di perutnya.
Tidak sampai tiga puluh menit mereka tiba di rumah sakit, hampir pukul sebelas malam. Lena sempat berhenti di depan mesin penjual otomatis yang ada di lobby rumah sakit. Dua botol keluar dan yang satu diserahkan pada Radit.
“Terima kasih sudah mau terlibat sampai sejauh ini,” ujar Radit.
Lena menghela nafasnya dan mengangkat tangan yang memegang goody bag berisi perlengkapan dan identitas yang mereka temukan tadi.
“Sudah takdir, aku harus terlibat.”
Radit sibuk meraba jaketnya, mengeluarkan ponsel di mana ada nama Karta di layar.
“Halo ….”
“Dit, Deo ngamuk!”
“Gue ke sana,” ujar Radit lalu mengajak Lena bergegas.
Sampai di kamar rawat, Karta dan Dio terlihat frustasi sedangkan Deo berbaring dan sudah terpejam.
“Deo tidur atau ….”
“Tidur, lelah kali habis ngamuk nggak jelas dan sempat gue tampar,” ungkap Karta.
Lena mendekat dan memeriksa keadaan Deo termasuk mengecek cairan infus lancar atau tidak.
“Gimana Dit, lo kemana tadi?” tanya Karta.
“Ada hal yang disembunyikan Deo dan ….”
“Tidak!” teriak Deo.
Lena bahkan sempat memekik karena terkejut karena Deo tiba-tiba membuka mata dan berteriak.
“Deo,” panggil Radit dan sudah berdiri di samping ranjang pria itu.
Deo menoleh lalu beranjak duduk dan mencengkram kedua lengan Radit.
“Tolongin gue, dia datang lagi. Gue nggak mau mati dan gue nggak salah, gue nggak sengaja,” ungkap Deo bahkan sambil terisak. “Please, tolongin gue.”
Brak.
Jendela kamar itu terbuka. Semua mata tertuju ke arah sana, jendela yang bentuknya cukup besar. Bahkan Karta sempat mengumpat karena ia dan Radit pernah memastikan jendela itu tidak bisa dibuka. Terdengar suara tangisan, tangisan arwah dari perempuan yang sering mengganggu Deo dan Radit.
“Itu apa!” tunjuk Dio ke arah jendela. Sosok itu melayang dan sudah berada di tengah jendela.
Masih dengan posisi menundukan wajah, tangisan begitu lirih membuat bulu kuduk merinding. Bukan hanya Radit, Deo dan Lena yang dapat melihat sosok itu. Dio dan Karta pun bisa.
“Pergi, kami akan mengantarkan jenazah kamu pulang,” ujar Lena.
“DIA HARUS IKUT.” Sosok tersebut menunjuk ke arah Deo dan Radit berada.