Cinta Sang Berandal

“Apa? Menikah?” tanya Buana Rakabuming dengan suara tegas.

Guntur sempat tersentak mendengar respon Buana -- papi -- setelah menceritakan statusnya saat ini sudah menikah dengan Alya. Entah kenapa nyalinya agak ciut, tidak seperti biasanya dia selalu berani bahkan kadang menantang Papi juga Maminya.

Namun, kali ini berbeda. Kali ini posisinya bersalah.

“I-iya.”

“Kamu menikah, bahkan belum lulus SMA. Di mana kamu taruh otakmu itu hah? Jajan dan biaya pendidikan saja masih orangtua, sekarang kamu harus menafkahi perempuan dengan status istri kamu?” cecar Buana.

Guntur hanya bisa menatap wajah Buana tanpa berani berkata-kata lagi.

“Sekarang Papi harus salahkan siapa, hah?”

“Salahin masyarakatlah, mereka salah paham,” sahut Guntur.

Papi Guntur mengambil map di hadapannya lalu dipukulkan ke kepala putranya. Berharap otak anaknya yang geser bisa kembali ke tempat semula.

“Mereka tidak mungkin salah paham, kalau kamu tidak macam-macam. Papi tanya, kamu sedang apa waktu warga datang?”

Guntur menunduk dan berdecak.

“Guntur! Kamu laki-laki, mengakulah kamu memang salah.”

“Kami sedang bercium4n,” ujar Guntur lirih.

“Di mana sekarang gadis itu?”

“Di rumah.”

“Temukan Papi dengan dia, bawa juga Mami kamu,” titah Buana.

***

Brak.

“Ya ampun, kamu ngagetin aja.”

Alya yang sedang fokus dengan buku pelajaran dan bersandar pada sofa, terkejut dengan kedatangan Guntur membanting pintu kamar lalu menghempaskan tubuhnya di ranjang.

“jadi bertemu dengan Papi kamu?” tanya Alya.

Guntur yang terlentang menatap langit-langit kamar dengan kedua kaki masih menjuntai ke lantai, hanya menjawab dengan berdehem.

“Lalu?”

“Papi ingin bertemu kamu juga Mami.”

“Hahh.”

Guntur beranjak duduk, menatap Alya yang berdiri menatapnya. Makin ke sini, Alya terlihat semakin berbeda. Entah karena dirinya yang mulai menyukai gadis itu atau memang Alya sengaja merubah penampilannya.

“Nanti malam, Papi undang makan malam. Nggak tahu deh Mami mau ikut atau nggak, mereka kalau bertemu udah kayak tom and jerry,” tutur Guntur lalu beranjak menuju toilet sambil membuka satu persatu seragam sekolah yang masih dikenakan.

Alya membalikan badan ketika Guntur hanya mengenakan boxer dan kembali ke arahnya.

“Kenapa lo?” tanya Guntur sambil terkekeh.

“Kamu mau mandi ‘kan? Cepat masuk ke toilet ngapain ke sini lagi.” Alya masih membelakangi Guntur, karena tidak ingin menod@i mata dan pikirannya dengan menatap tubuh Guntur.

“Yaelah, ini berkah tahu. Para penggemar gue ngarep banget bisa lihat beginian, lo ‘kan istri gue jadi wajar aja lihat lebih dari ini.”

“Guntur,” teriak Alya sambil menghentakan kakinya.

Beberapa jam kemudian.

“Ayo,” ajak Guntur yang sudah memakai jaket kulitnya.

Alya menghela nafasnya pelan, mengenakan dress terbaik yang dia punya dilengkapi dengan cardigan tentu saja dengan kacamata menghias wajahnya dan rambut diikat rapi.

“Gimana kalau Papi kamu tidak setuju dengan pernikahan kita, lalu aku disuruh pulang?” Alya bertanya sambil menuruni anak tangga. Guntur yang berjalan di depannya mengabaikan pertanyaan Alya, karena dia pun tidak tahu apa yang akan disampaikan Papinya setelah bertemu dengan Alya.

“Guntur,” rengek Alya ketika keduanya sudah berdiri di samping motor.

“Apaan?”

“Ish, kamu dengar nggak sih apa yang aku bilang dari tadi?”

“Dengarlah.”

“Lalu?”

“Aku nggak tahu Al, mending kita temui Papi deh biar nggak bertanya-tanya terus.”

Alya pun menaiki motor Guntur.

“Pegangan,” titah Guntur, Alya berdecak kemudian mengalungkan tangannya di pinggang pria itu.

Tidak sampai tiga puluh menit, mereka sudah tiba di restoran di mana Buana sudah menunggu. Guntur menggenggam tangan Alya waktu berjalan memasuki restoran. Seorang pelayan membukakan pintu private room dan mempersilahkan Guntur dan Alya masuk.

Sudah ada seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah, tidak kalah tampan dari Guntur.

“Malam Pih,” sapa Guntur.

“Hm, duduklah!.”

Guntur dan Alya duduk bersisian, berhadapan dengan pria itu. Alya menunduk karena mendapatkan tatapan tajam dari Papi Guntur.

“Dia Alya pih,” ujar Guntur. “Alya, beliau Buana Rakabuming. Pria yang sudah menyebabkan aku lahir ke dunia ini,’ seru Guntur.

Alya berdiri lalu memutari meja dan menghampiri Buana yang mengernyitkan dahinya melihat gadis bernama Alya mendekat bahkan mengulurkan tangannya. Pria itu menduga kalau Alya ingin berjabat tangan, tapi setelah tangannya terulur Alya malah mencium punggung tangannya.

“Saya Alya, Om.”

“Hm, duduklah,” titah Buana. “Di mana Mami kamu?”

Belum juga Guntur menjawab, pintu ruangan terbuka dan masuklah Anggi.

“Sorry telat,” ujarnya lalu duduk di samping Buana.

“Jangan bertengkar. Kalian bertengkar, kita bakal tinggal,” seru Guntur pada pasangan di hadapannya.

Anggi mengusulkan untuk memesan makanan, sebelum mereka bicara. Sambil menunggu pesanan datang, Buana pun mengawali pembicaraan.

“Apa rencanamu dengan mereka berdua?” tanya Buana.

“Rencana aku? Harusnya kamu bantu cari solusi harus bagaimana, jangan serahkan semua ke aku.”

“Ck, mulai ….” sela Guntur.

“Aku bukan serahkan semua ke kamu, tapi aku tanya kamu sudah ada rencana atau belum?”

“Ya belumlah, aku baru bertemu dengan gadis ini semalam,” sahut Anggi.

Buana menatap Guntur dan Alya bergantian, kemudian memijat pelan dahinya.

“Sebentar lagi kalian ujian dan Papi tidak ingin pendidikan kamu terganggu, kamu harus tetap kuliah sesuai kesepakatan kita,” tutur Buana. “dan kamu Alya.”

Alya menegakkan tubuhnya menunggu Buana kembali bicara.

“Apa rencanamu ke depan?”

“A-aku sebelumnya ingin bekerja. Bantu ibu cari uang, tapi sekarang … aku tetap akan bekerja karena aku nggak tahu masa depanku akan bagaimana,” tutur Alya lalu menunduk.

“Guntur, Papi tanya lagi. Kamu sebagai suami Alya, akan lakukan apa untuk hidupnya?”

“Aku sudah bilang ke Mami tadi pagi. Bukan hanya biaya pendidikan untuk aku yang kalian harus siapkan, tapi juga untuk Alya. Aku nggak akan biarkan dia bekerja,” ungkap Guntur.

“Kamu cinta dengannya?” tanya Mami.

Alya menoleh ke arah Guntur, menunggu jawaban pria itu. Sedangkan Guntur yang menjadi pusat perhatian istri dan orangtuanya, menggaruk kepala yang tidak gatal.

“I-iya gimana ya ….”

“Kalau kamu tidak cinta sama Alya, talak dia lalu mami akan urus tempat tinggal dan kuliahnya tapi kamu jangan pernah ganggu dia lagi.”

“Ck, nggak ada ya. Aku nggak akan talak Alya. setelah kami lulus aku ingin pernikahan kami didaftarkan secara resmi.”

“Sebelum itu terjadi, pastikan Alya tidak hamil. Kalau perlu kalian jangan tinggal satu kamar,” cetus Papi Guntur.

“Hahh, pisah kamar? Nggak, nggak bisa gitu. Kalau masalah jangan hamil sebelum lulus, itu mah gampang,” seru Guntur.

“Maaf, aku tidak ingin jadi beban keluarga kalian. Aku tidak masalah tidak lanjut kuliah. Lagi pula aku tidak yakin Guntur akan tetap pada keputusannya. Mana tahu besok dia ….”

“Gue serius … Alya.”