NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sama-sama Sakit

Pagi menyapa dengan sang surya yang bersinar malu-malu di balik awan mendung itu. Gerimis turun dari tadi malam, tidak deras, juga tidak reda. Sepertinya langit sedang menangis perlahan. Tiwi semalam demam tinggi, obat dari bu Bidan sudah diminumkan oleh bu Tarmo. Anak kecil itu menggigil hebat sembari memanggil nama neneknya, Mbah Mirah….

Pak Tarmo memutuskan untuk tidak masuk kerja, biarlah, dia ingin menyelesaikan masalah penemuan anak yang masih belum mau mengaku dimana alamat rumahnya itu.

Apalagi sekarang anak kecil itu malah sakit, bu Bidan Dwi sudah memeriksanya selepas Subuh tadi. Dan sudah memberikan suntikan lagi, agar demamnya turun. Jika nanti malam masih tinggi panasnya, maka anak itu harus dibawa ke rumah sakit.

“Duh, ngerepotin orang aja anak nggak jelas itu Mak,” gerutu Ali yang hatinya kesal karena ada Tiwi di rumahnya membuat kedua orang tuanya kerepotan. 

Berbeda dengan Pak Tarmo dan bu Tarmo yang merasa memiliki anak lagi, setelah sekian lama menginginkan anak perempuan dan belum dikabulkan oleh Sang Pemilik Hidup itu. Dengan penuh kasih, bu Tarmo menyuapi Tiwi bubur nasi yang diatasnya dia taburi Abon daging sapi pemberian bu RT itu. 

“Cepet sembuh ya Ndhuk, ibu nggak akan memaksamu cepat pulang kok. Kamu boleh tinggal disini sesukamu, asal kamu jangan sakit, ya?” Ucap bu Tarmo sembari mengusap lembut kepala Tiwi.

Seulas senyum merekah dibibir anak kecil yang pucat itu. Dia merasa lega, karena tidak disuruh pulang dari rumah ini. Dia kadung merasa kerasan dan nyaman dalam kesederhanaan itu. Meskipun dia harus menekan perasaan rindunya pada sang Nenek.

“Mak..kenapa Mas nggak suka sama aku? Apakah aku mengganggu di rumah ini? Kalau gitu aku pergi aja ya Mak? Aku masih sanggup untuk naik sepeda ke makam Bapakku,” ujar Tiwi lemah, saat dia mendapati sorot mata Ali yang memusuhinya itu.

Ali yang mendengarnya langsung salah tingkah. Sang Ibu menatapnya tajam. 

“Jangan pergi kemana-mana Ndhuk, disini saja sama Mak. Mas Ali mu nggak marah kok, dia juga suka kamu dirumah ini,” bujuk bu Tarmo pada Tiwi.

Akhirnya Ali memilih untuk segera berangkat ke sekolah, pagi ini dia ada ujian olahraga,dan siang nanti dia harus ikut ujian Aqidah Akhlak. 

“Ali berangkat dulu Mak,” pamitnya pada sang Ibu sembari mencium tangannya takzim.

Bu Tarmo mengangguk dan mengusap lembut kepala anak lelakinya itu.

“Hati- hati dijalan ya Nak, semoga ujianmu hari ini lancar.”

Ali mengerling ke arah Tiwi, dan memaksakan untuk tersenyum pada bocil yang sepertinya cukup lucu jika menjadi adiknya itu.

Tiwi balas tersenyum dan melambaikan tangannya lemah.

Lalu pemuda itu pun keluar dari rumah dan berangkat ke sekolah.

—----------

Ini hari kedua Tiwi hilang dari rumah. Suasana rumah masih tegang, setelah mengatur para pekerjanya untuk berangkat bekerja, Ismawan pun memenuhi panggilan dari kepolisian yang meminta keterangan mengenai hilangnya sang anak. 

“Menindaklanjuti laporan yang pak Ismawan buat kemarin, maka kami butuh keterangan lengkap kejadian, serta data dan foto putri bapak yang terbaru. Hari ini anggota kami akan segera bergerak mencari putri bapak tersebut,” ujar pak Alwi Kanit Serse Polsek itu.

“Saya tidak memiliki foto terbaru anak saya Pak. Tapi yang tahun lalu ada. Ini,” Ismawan menyerahkan beberapa foto Tiwi pada Polisi itu. 

“Baiklah Pak, kami terima, mohon ulangi lagi cerita awal mula dugaan hilangnya putri anda,” ujar pak Polisi itu lagi.

Dan Ismawan pun menceritakan kejadian sejak pagi kemarin, tapi tentu saja pertengkarannya dengan Riyanti tidak dia sebutkan.

Sementara itu di rumah sakit, bu Mirah yang baru saja mendapat suntikan yang dimasukkan ke infus nya itu, bertanya lemah pada Riyanti yang tengah menunggu nya.

“Tiwi belum ketemu Ti?”

“Belum Bu, tapi mas Is sedang di kantor polisi, mereka akan bergerak mencari Tiwi hari ini. Ibu istirahat saja, jangan terlalu berpikir yang berat, yakinlah jika anak itu selamat dan tidak apa-apa. Mungkin saat ini dia sedang ada di suatu tempat, dan sedang bingung mencari jalan pulang Bu. Semoga polisi dan mas Is bisa segera menemukannya,” ujar Riyanti sembari memijat lembut kaki ibunya yang tertutup selimut tipis itu.

Setetes air mata jatuh dipipi keriput wanita tua itu. Dia sangat merindukan cucunya. Semalam dia merasa seperti Tiwi sedang memanggil namanya dengan menangis. Wajah anak itu pucat sekali, dan dia seolah ada di dalam sumur yang gelap. Bu Mirah khawatir jika sang cucu jatuh ke dalam sumur dan tidak ada yang mengetahuinya. Dan dia sangat kecewa kepada menantunya, yang merupakan ayah kandung Tiwi itu, tapi kesannya biasa saja menanggapi hilangnya sang anak. Hanya dia tidak lagi sanggup protes, karena dia tidak punya tenaga lagi untuk bertengkar dan berdebat dengan anak dan menantunya ini.

“Bagaimana Bu? Apa yang ibu keluhkan sakit?” Tanya Bude Narti yang datang dengan suaminya, pakde Gatot itu.

“Kepalaku sakit Nar.. aku kangen Tiwi…” jawab bu Mirah lemah.

“Sabar ya Bu, sedang diusahakan pencarian besar-besaran hari ini. Baru saja di depan aku bertemu Yitno dan Bapak Parman, yang ikut mencari Tiwi,” bude Narti mencoba menenangkan ibunya ini.

“Semalam aku seperti mendengar anak itu berteriak memanggil namaku dari dalam sumur  yang gelap Nar, aku kuatir…kalau.. kalau..” bu Mirah menangis tergugu, tanpa sanggup meneruskan ucapannya.

“Sabar nggeh Bu, kita doakan Tiwi selamat dan cepat ditemukan,” hibur pakde Gatot.

Bude Narti memeluk sang ibu dan menghapus air matanya. Sementara Riyanti keluar menemui sang Bapak yang datang bersama adik lelakinya itu.

“Kamu kalau tidak becus mengurus anak, biarkan Tiwi ikut aku saja Ti!” Pak Parman berkata keras pada anak perempuannya yang menunduk itu.

“ Saat dia liburan di rumahku kemarin sudah terlihat jelas jika anak itu sedang rapuh. Tapi kamu malah membiarkannya, tidak kamu dekati dan sayangi seperti biasanya. Dia itu manusia Ti, bukan barang. Yang bisa kau ambil lalu kau simpan di almari. Sejak bayi dia hanya tau kamu sebagai ibunya. Mengapa malah kamu tega bersikap keras padanya? Sampai memukulnya begitu? Jangan kamu patuhi ucapan suami mu yang merugikan anakmu Ti. Dia terbiasa hidup kasar. Tapi Tiwi sejak kecil hidup dalam lingkungan yang kalem dan damai. Ingat! Kalian ambil dia untuk kalian rawat dan besarkan dengan kasih sayang bukan untuk dijadikan Samsak berjalan!” Pak Parman berkata panjang lebar dengan nada marah.

Riyanti menangis terisak. Beragam penyesalan kembali menyeruak dalam hati dan pikirannya. Terbayang senyum manis anaknya yang punya satu lesung pipi di sebelah kanan itu. Anak yang selalu ceria, dan sekarang berubah menjadi pemurung dan nakal. Mungkin benar jika Tiwi nakal untuk mencari perhatian yang mulai hilang darinya.

Ya Tuhan, ampuni aku, tolong segera temukan anakku ya Allah…tangis Riyanti dalam hati.

“Maafkan aku Pak, aku janji akan berubah jika Tiwi kembali nanti. Aku akan bersikap seperti dulu lagi Pak, aku nggak mau kehilangan anakku… “ ujar Riyanti penuh penyesalan.

Pak Parman pun menghela nafas panjang. Dia segera naik kembali ke mobil kijang bak terbuka itu bersama anak lelakinya. 

“Aku pergi dulu. Jaga Ibumu, dia adalah orang yang paling terpukul karena hilangnya Tiwi. Karena dia yang setiap saat bersama cucu ku itu. Aku akan pergi mencari anakmu. Kembalilah ke dalam,” perintah pak Parman.

Riyanti menyalami Bapaknya, kemudian dia masuk ke dalam rumah sakit lagi dengan langkah gontai diiringi tatapan dua pria dalam mobil bak terbuka itu.

“Kita langsung ke desa Kambingan itu Pak?” Tanya Yitno pada bapaknya.

“Iya. Biarkan Ismawan kebingungan bersama polisi mencari anaknya. Jangan diberitahu jika kita sudah mengetahui dimana Tiwi berada sekarang. Kita beri mereka pelajaran dulu. Biar kapok!” Ucap pak Parman tersenyum sinis.

Dan kedua bapak dan anak itupun berlalu dari parkiran rumah sakit menuju ke tempat Tiwi tinggal saat ini.

—---------

Ternyata ikatan batin antara nenek dan cucu begitu kuatnya meskipun tidak ada pertalian darah sama sekali….

Bagaimana reaksi Tiwi saat bertemu sang Kakek?

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!