Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah keramaian acara akad dan resepsi selesai, Rizal menggandeng tangan Hayu yang masih mengenakan gaun pengantin dusty pink yang anggun.
"Ayo, Sayang. Malam ini, ranjang kosong itu bukan lagi milik Tiyas. Malam ini, ranjang itu menunggu ratu barunya," bisik Rizal dengan suara yang serak.
Hayu hanya mengangguk pelan, jantungnya berdebar kencang.
Ia mengikuti langkah suaminya menuju kamar utama yang mewah.
Saat pintu terbuka, keindahan langsung menyergap Hayu.
Ranjang king size yang pernah ia lihat kini telah disulap.
Kelopak mawar merah dan putih ditaburkan di atas sprei satin yang bersih, membentuk hati yang besar.
Lilin-lilin aroma terapi yang lembut diletakkan di sudut ruangan, memancarkan cahaya remang yang romantis, dan aroma jasmine yang menenangkan memenuhi udara.
"Mas Rizal..."
Rizal menutup pintu perlahan dan menuntun Hayu ke tengah ruangan.
"Aku melakukan ini untukmu, Sayang. Aku ingin kamu tahu, kalau kamu pantas mendapatkan kebahagiaan sejati di tempat ini," ucap Rizal sambil menggenggam tangan istrinya.
"Aku tidak akan terburu-buru, sayang. Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap."
Hayu menggeleng pelan saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Aku sudah siap, Mas. Aku istrimu, dan aku mencintaimu," jawab Hayu dengan tulus.
Rizal tersenyum lembut saat mendengar perkataan dari istrinya.
Ia mengangkat tangannya dan dengan perlahan melepaskan sanggul rambut Hayu, membiarkan rambut hitam Hayu tergerai indah.
Kemudian, ia membuka zipper gaun pengantin Hayu yang elegan, dan gaun itu jatuh ke lantai, meninggalkan Hayu dalam balutan busana dalam yang lembut.
Kehangatan dari sentuhan Rizal merambat di kulit Hayu.
Rizal mendekatkan bibirnya ke bibir Hayu dan memberikan ciuman khasnya.
Setelah itu Rizal membopong Hayu ke ranjang, menidurkannya di tengah taburan mawar.
Ia melepaskan pakaiannya dengan cepat, tak sabar untuk menyentuh istrinya.
Di bawah selimut yang lembut, sentuhan mereka semakin dalam. Rizal menyentuh setiap inci tubuh Hayu dengan penuh kasih dan penghormatan, membalas ketulusan yang selama ini Hayu berikan.
Hayu yang polos hanya bisa pasrah, merasakan sensasi baru yang begitu hangat dan mendebarkan.
Ketika dua tubuh itu menyatu dalam ikatan yang sah, suara desahan Hayu dan Rizal segera memecah keheningan kamar.
Desahan itu adalah perpaduan rasa sakit, nikmat, dan luapan emosi yang tertahan.
Rizal bergerak dengan lembut namun pasti, menyalurkan semua cinta dan kekaguman yang ia pendam.
Semakin lama, gerakan mereka semakin intens. Hayu tak kuasa menahan gejolak perasaan dan gairah yang berpadu.
Tangan Hayu mencengkram erat punggung suaminya yang tegap, meninggalkan bekas merah dari kuku-kukunya.
Cengkraman itu adalah tanda bahwa ia tidak lagi takut, dan sepenuhnya menyerahkan diri pada sang suami.
Napas Rizal memburu dengan tetesan keringat yang mulai mengalir dari dahi dan pelipisnya, membasahi bantal dan sprei. Dan menandakan usaha dan gairah yang luar biasa dalam malam pertama mereka.
Setelah mencapai puncak keintiman yang membara, Rizal ambruk di sisi Hayu, napasnya tersengal.
Keduanya berpelukan erat, merasakan detak jantung yang berpacu kencang di tengah keheningan yang tersisa.
"Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar mengisi ranjang kosong ini dengan cinta," bisik Rizal.
Hayu mendongak, matanya bersinar bahagia. Ia menyeka keringat di dahi suaminya.
"Aku juga berterima kasih, Mas. Aku mencintaimu," jawab Hayu.
Setelah itu mereka berdua saling berpelukan dan tertidur pulas di ranjang.
Pagi itu mentari bersinar malu-malu, menyelinap lewat tirai jendela kamar utama dan menimpa wajah Hayu.
Perlahan, Hayu membuka matanya. Ia mengerjap, menyadari kehangatan dan kelembutan ranjang yang kini sah menjadi miliknya.
Sesaat ia terdiam, lalu menoleh ke sisi kirinya dan melihat Rizal yang masih tertidur pulas.
Wajahnya tampak damai, jauh dari ketegangan yang biasa ia lihat.
Garis-garis kelelahan di wajahnya semalam telah berganti dengan ketenangan seorang pria yang baru menemukan kebahagiaan.
Hayu tersenyum tipis dan dengan sangat hati-hati ia menyentuh ujung hidung mancung suaminya yang tampak menggemaskan.
Rizal membuka matanya beberapa kali sebelum akhirnya terbuka penuh.
Matanya yang hangat langsung menatap Hayu dengan tatapan penuh cinta dan kekaguman yang tak tersembunyi.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Rizal dengan suara serak yang khas bangun tidur, senyum lembut terukir di bibirnya.
Hayu membalas senyumnya dengan pipinya merona.
"Selamat pagi, Mas."
Tanpa menunggu lama, Ia kembali memeluk tubuh istrinya erat-erat, menarik Hayu merapat ke dada bidangnya.
Aroma jasmine dari sisa semalam dan aroma maskulin Rizal berpadu, menciptakan sensasi nyaman yang luar biasa.
"Jangan bergerak dulu, sayang. Kamu pasti lelah sekali. Biar begini saja sebentar, ya. Aku mau menghabiskan sisa pagi ini memeluk istriku. Kamu harus istirahat total, Sayang. Lupakan soal dapur dan pekerjaan. Hari ini dan seterusnya, kamu hanya perlu jadi ratu untukku."
Hayu menenggelamkan wajahnya di dada Rizal, menghirup aroma suaminya, menikmati kenyataan baru yang terasa seperti mimpi terindah.
"Iya, Mas," jawabnya lirih, membalas pelukan itu tak kalah erat.
Mereka pun kembali terlelap dalam dekapan yang hangat, membiarkan pagi yang indah itu berlalu perlahan, merayakan awal baru yang penuh janji.
Sementara itu di tempat lain dimana Tiyas baru saja bangun tidur dan tidak melihat keberadaan Robby.
"Apa dia tidak pulang lagi?"
Tiyas mengambil ponselnya dan menghubungi Robby yang sudah jarang pulang ke apartemen setelah mendapatkan motor yang diinginkannya.
"Kenapa Dia tidak mengangkat ponselku?" gumam Tiyas.
Ceklek!
Tiyas menoleh ke arah pintu yang baru saja di buka oleh Robby.
Ia melihat Robby masuk dengan langkah gontai, mengenakan kaus yang kusut dan bau parfum wanita yang samar-samar.
Raut wajah Robby tampak lelah, jauh dari kesan bahagia yang mereka bagi semalam.
"Dari mana saja kamu, Rob?" tanya Tiyas, nadanya tajam.
Ia bangkit dan menyilangkan tangan di dada, mengabaikan dress santai mewahnya.
Robby mengabaikannya, berjalan ke dapur, dan langsung meneguk air dingin dari botol.
"Bukan urusanmu," jawab Robby dingin, tanpa menoleh.
Tiyas merasa harga dirinya diinjak-injak. Ia mendekat dengan langkah cepat.
"Bukan urusanku? Aku sudah mengurus perceraianku! Aku sudah bebas demi kita! Tapi kamu, menghilang entah ke mana dan pulang dengan bau wanita lain!"
Robby akhirnya menoleh, tatapannya kini berubah tajam dan keras, sama sekali tidak ada kelembutan yang ia tunjukkan semalam.
"Aku sudah capek dengan dramamu, Tiyas. Dan capek denganmu yng terlalu protektif ," balas Robby.
"Aku yang harusnya capek! Aku sudah melakukan apa yang kamu minta! Aku meninggalkan suamiku!" seru Tiyas.
Robby yang mendengarnya langsung tertawa terbahak-bahak.
"Jujur saja ya, Tiyas. Kamu itu sudah tidak punya apa-apa dan buat apa lagi kamu disini?"
"M-maksud kamu apa?" tanya Tiyas.