NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Undangan di Rumah Residen van Reijden

Setelah Kanjeng Ibu dibawa pergi oleh Mevrouw Van Reijden, suasana di antara mereka bertiga—Soedarsono, Sumi, dan Martin—terasa lebih ringan. 

Pelayan berseragam putih lewat membawa nampan berisi gelas-gelas sampanye, dan Martin dengan sigap mengambil dua gelas, menawarkannya pada pasangan Prawiratama.

Soedarsono menerima gelas itu dengan anggukan sopan, sementara Sumi menolak dengan halus. 

Sebagai perempuan Jawa dari keluarga terpandang, ia jarang mengonsumsi minuman beralkohol di tempat umum.

"Untuk kerja sama yang baik," ucapnya sambil mengangkat gelasnya sendiri.

"Kerja sama?" tanya Soedarsono, alisnya terangkat. "Kerja sama apa yang Anda maksud, Tuan Van der Spoel?"

Martin tersenyum, matanya beralih pada Sumi. "Raden Ayu, Anda belum bercerita pada suami Anda? Tentang tanah Kedung Wulan yang Anda kunjungi pagi tadi?"

Soedarsono menoleh cepat ke arah istrinya, tatapannya jelas meminta penjelasan. Selama lima belas tahun pernikahan mereka, Soedarsono jarang melihat Sumi mengambil inisiatif untuk urusan bisnis tanah tanpa persetujuannya. Apalagi untuk tanah yang—jika yang ia dengar benar—memiliki reputasi buruk.

Sumi menjawab dengan tenang, posturnya tetap anggun meski jelas merasa sedikit tak nyaman dengan keterusterangan Martin. 

"Pagi tadi setelah meninjau tanah di dekat Kedung Wulan, saya mampir ke kediaman Tuan Van der Spoel, Kangmas. Untuk menanyakan tanah itu, tapi sayangnya, Tuan Van der Spoel tidak berkenan menjual tanah tersebut."

Martin menyesap sampanyenya perlahan sebelum berbicara. "Bukan tidak berkenan, Raden Ayu. Seperti yang saya jelaskan tadi pagi, tanah itu memiliki nilai ... sentimental bagi keluarga saya."

Soedarsono, yang mulai memahami situasinya, mengambil alih pembicaraan. Sebagai pejabat dan pengusaha berpengalaman, ia terbiasa dalam negosiasi tanah.

"Tuan Van der Spoel, jika boleh saya mencoba melobi Anda," ujarnya dengan nada ramah namun tegas. "Istri saya sangat menginginkan tanah itu, dan saya bisa menjamin ia akan mengelolanya dengan baik."

Soedarsono menoleh pada sang istri sebelum melanjutkan dengan nada bangga. 

"Istri saya sangat pandai mengelola tanah. Tanah-tanah warisan dari keluarga mendiang ayahnya—yang semula hanya beberapa bahu—kini luasnya sudah berkali lipat berkat pengelolaannya yang cerdas."

Martin mengangguk, tampak terkesan. "Saya tidak meragukan kemampuan Raden Ayu," ucapnya, pandangannya kini beralih pada Sumi. "Pagi tadi saya sudah melihat keberaniannya. Tidak banyak orang berani mendekati Kedung Wulan, bahkan pekerja dengan bayaran tinggi pun tidak mau ke sana."

Soedarsono tersenyum bangga, tetapi ada ketidaknyamanan samar di wajahnya. Cara Martin memandang istrinya—meski tetap dalam batas kesopanan—terlalu intens untuk sekadar tatapan bisnis. Sebagai lelaki, ia mengenali cara lelaki lain memandang perempuan yang menarik perhatiannya.

"Kami berdua mendapat pendidikan Eropa, Tuan Van der Spoel," ujar Soedarsono, sengaja menekankan kata 'kami' untuk mengingatkan Martin tentang keberadaannya. "Kami tidak mudah terpengaruh oleh takhayul seperti kebanyakan orang di sini."

"Tentu saja," Martin mengangguk. "Saya sangat menghargai pemikiran terbuka seperti itu. Terlalu banyak potensi yang tersia-siakan di tanah jajahan ini hanya karena ketakutan tidak berdasar."

Soedarsono menyesap minumannya, matanya tak lepas dari wajah Martin. Ada sesuatu yang mengganggunya—semacam keterkaitan aneh antara istrinya dan pemuda Belanda ini yang belum ia pahami sepenuhnya.

"Jadi, apakah Anda bersedia menjual tanah itu, Tuan Van der Spoel?" tanya Soedarsono, membawa pembicaraan kembali ke pokok masalah.

Martin terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah jendela besar yang menampakkan kegelapan malam di luar. 

"Seperti yang saya katakan pada Raden Ayu tadi pagi, tanah itu memiliki ... sejarah khusus bagi keluarga saya."

"Kakak Anda yang meninggal di sana?" tanya Soedarsono hati-hati, mengingat percakapan awal mereka.

Martin mengangguk pelan. "Ya. Dan sejak saat itu, orangtua saya—terutama ayah saya—sangat sensitif tentang tanah tersebut."

"Saya mengerti," Soedarsono mengangguk. "Jika memang tidak bisa dijual, sayang sekali, tapi tidak apa-apa, saya bisa mengerti. Saya akan mencarikan tanah lain yang potensial untuk istri saya. Ada beberapa bidang di dekat sungai yang mungkin cocok untuk kolam ikan."

Sumi, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Tapi tidak ada yang seperti Kedung Wulan, Kangmas," ucapnya lembut namun tegas. "Airnya sangat jernih dan tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau panjang."

Ada urgensi dalam suaranya yang membuat kedua pria itu menatapnya dengan penasaran. Soedarsono jarang melihat istrinya begitu bersikukuh pada sesuatu, sementara Martin semakin tertarik dengan motif tersembunyi perempuan bangsawan ini.

"Atau mungkin," Martin berkata perlahan, "kita bisa menemukan jalan tengah."

"Jalan tengah?" tanya Soedarsono.

"Saya tidak bisa menjual tanah itu—setidaknya untuk saat ini—karena alasan keluarga," jelas Martin. "Tapi saya bisa mengizinkan Raden Ayu menggunakannya untuk proyek kolam ikannya, dengan beberapa syarat."

Mata Sumi berbinar penuh harap. "Syarat apa, Tuan Van der Spoel?"

"Pertama, tanah tetap atas nama keluarga Van der Spoel, tapi Raden Ayu memiliki hak penuh untuk mengelolanya. Kedua, jika suatu saat keluarga saya membutuhkan tanah itu kembali—yang sangat tidak mungkin—Raden Ayu harus mengembalikannya. Dan ketiga ...."

Martin menatap Sumi lekat-lekat. "Saya ingin dilibatkan dalam proses ... 'pembukaan kembali' sendang itu. Ada beberapa hal yang ingin saya teliti di sana."

Sumi dan Soedarsono saling pandang. Proposal itu cukup masuk akal, meski tidak biasa. 

"Saya perlu waktu untuk mempertimbangkannya," ucap Soedarsono akhirnya, setelah melihat anggukan samar dari istrinya. "Tapi ide Anda cukup menarik, Tuan Van der Spoel."

"Tentu," Martin tersenyum. "Tidak perlu terburu-buru. Tanah itu sudah terkubur selama puluhan tahun, beberapa hari lagi tidak akan membuatnya lebih buruk."

Percakapan mereka terhenti ketika Van Reijden memanggil Martin untuk diperkenalkan pada beberapa pejabat penting lainnya. 

Dengan anggukan sopan, pemuda Belanda itu pamit, meninggalkan Soedarsono dan Sumi berdua.

"Ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku, Diajeng," bisik Soedarsono segera setelah Martin menjauh. "Kenapa kau begitu menginginkan tanah itu?"

Tatapan Sumi terpaku pada wajah tampan suaminya—garis rahang tegas yang mulai dihiasi kerutan halus di sudut mata, kumis yang terawat rapi, dan sorot mata yang selalu teduh saat memandangnya. 

Lima belas tahun bersama, dan cinta itu tidak pernah berkurang, meski banyak cobaan yang harus mereka hadapi.

"Kangmas," ucap Sumi perlahan, suaranya hampir berbisik. "Saya ingin mencoba jujur."

Soedarsono mengangguk pelan, dengan sabar menunggu sang istri yang tampak ragu-ragu.

"Saya ingin menggunakan tempat itu—Kedung Wulan—untuk ... mandi di sana."

"Mandi?" alis Soedarsono terangkat. "Maksudmu?"

Sumi menarik napas dalam-dalam. "Dulu, tempat itu digunakan para selir dan istri raja agar diberkahi banyak anak. Air sendang itu dipercaya memiliki khasiat khusus untuk kesuburan. Mungkin ... mungkin sudah saatnya kita mencoba jalan lain, Kangmas."

Soedarsono menghela napas panjang, lalu menoleh, memastikan tidak ada bangsawan Jawa lain di sekitar mereka yang bisa mendengar pembicaraan ini, lalu beralih ke bahasa Jawa.

"Diajeng, Kangmas tidak peduli jika Diajeng tidak bisa memberikan keturunan" ucapnya lembut. “Kita bisa mendapatkan anak dari garwo ampil untuk penerus. Tidak perlu melakukan hal berbahaya seperti itu. Tempat itu sudah lama tidak didatangi, bagaimana jika ada hewan berbisa saat Diajeng mandi?”

Sumi menunduk, wajahnya menampakkan kesedihan yang dalam. "Tapi saya ingin menjadi wanita sempurna, Kangmas. Istri utama yang bisa memberikan anak. Saya lelah mendengar olok-olok dari orang-orang”

 "Kau sudah sempurna untukku, Diajeng,” balas Soedarsono, tangannya hampir terulur untuk menyentuh wajah cantik istrinya, namun ia segera ingat mereka berada di tempat umum.

Ia menegakkan postur tubuhnya dan kembali berbicara dalam bahasa Melayu formal. "Lupakan tawaran Tuan Martin."

Mata Sumi membulat. "Kenapa, Kangmas?"

1
ian
tak tahu balas budi kamu yemm
ian
gimana rasa cemburu kang ???
puaaanaaaskan
Fetri Diani
sebagai istri nomor tiga yg selalu dinomor tiga kan.... lahh.. salahnya dimana jal yem? /Facepalm/ ada2 sj ndoro otor ini. /Joyful/
ian
pariyeeeeemmm kamu cari ulah sama emak2 netizen
ian
hadeuuh
Nina Puspitawati
kurangggggg....makin penasaran
Alea 21
Matur suwun up nya ndooroo..
Nina Puspitawati
face the world
Nina Puspitawati
semangat Sumi 😘
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu sosok priyayi yg benar2 berdarah ningrat
ian
pedihnya sumi berasa sampai sini
Ratna Juwita Ningsih
aku sih dukung Sumi cerai... tapi aku takut dilaknat Allah...🤗
Jati Putro
Ndoro ayu Sumi nasib nya kurang mujur ,
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
Okta Anindita
semangat Raden Ayu..jangan mau turun derajat,,ihhh apaan dari garwo padmi kok jadi garwo ampil,pasti makan hati banget
Rani
koyoe sing mandul sing lanang.nanti kalau cerai kan biar ketahuan.Retno gak punya2 anak.dan ternyata Pariyem hamil boongan.ben malu sisan Ndoro Ibune.jebule anak e dewe sing mandul
Tati st🍒🍒🍒
kalau g cerai terus hamil anak martin nanti jadi petaka,kalau ketauan ...cerai jadi cibiran dan hinaan...tapi kalau aku lebih baik cerai sih😅
Tati st🍒🍒🍒
istrimu baru dideketin martin aja kamu udah g suka,apakabar sumi yg di madu dah pasti hatinya sakit,perih
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
mgkin martin kebahagian mu to ntah lah suka2 author nya mau gimna yaaa kann
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
idihhh istri mana yg mau di madu terang2an mending mundur lah org selir aja udh 2 trp nglah ini mau nambah lagi dann apa mau di turunin jd seli mndg kaur aja mndg sm martin aja klo gtu
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
nahh ndoro ini bikin dag dig dug deh bacanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!