Kisah bujang lapuk penjual celana kolor keliling yang memiliki kisah pahit bersama wanita, tiba tiba dihadapkan pada kejadian di mana dia harus menikahi tiga belas wanita secara bersama.
Kejadian apakah itu? Bagaimanakah ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Koloran! Koloran!
"Koloran, koloran! Celana kolornya, celana kolor! Kolor di kolor kolor!"
Begitulah bunyi yang keluar dari sisi depan dinding bak motor beroda tiga. Suara yang sengaja di rekam lalu dirancang khusus seperti pedagang tahu bulat, memudahkan si pedagang kolor dalam menjajakan daganganya.
Sedangkan dari dalam bak motor, seorang wanita nampak duduk santai sambil menikmati pemandangan yang mereka lalui. Wanita itu terlihat senang melihat kedamaian warga yang dia lewati. Hal ini tentu saja mengingatkannya pada kampung halamannya.
Kampung halaman yang dulu damai, berubah menjadi mencekam dan mengerikan hanya gara gara perbedaan keyakinan. Dia tidak menyangka, negara yang awalnya damai menjadi saling bersitegang hanya karena isu dan perbedaan pandangan.
Kini keluarganya tercerai berai. Sanak saudaranya tidak tahu kabarnya bagaimana. Bahkan sampai saat ini, dia tidak tahu sama sekali kabar keluarganya. Semuanya menghilang tanpa jejak. Jika teringat kejadian itu, dia hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa apa selain berdoa.
Hingga tanpa terasa, motor yang dikendarai Jiwo berhenti di sebuah pertigaan di kampung tetangga. Awalnya wanita itu tertegun, namun saat suaminya menjelaskan kalau dia mangkal disana, wanita itu lantas turun.
Tak lama kemudian setelah kedatangan Jiwo, beberapa bapak dan ibu berhambur keluar menghampiri tempat mangkal Jiwo. Mereka langsung melihat lihat dan memilih beberapa celana kolor yang ada di bak motor.
"Tumben bawa cewek, Mas? Siapa?" tanya seorang bapak bapak.
"Istrinyalah, siapa lagi. Emang kamu nggak tahu?" jawab seorang ibu.
"Loh? Kapan nikahnya?" tanya si bapak dengan wajah terkejut.
"Dua hari yang lalu, Pak," kini Jiwo yang menjawab.
"Owalah, kok nggak ngabari, Mas? Jadi nggak enak aku, nggak kondangan."
"Nggak apa apa, Pak. Lagian cuma syukuran aja kok, Pak. Nggak pake undang undang," jawab Jiwo sedikit malu. Sedangkan Anum hanya terdiam sambil memperhatikan orang orang yang sibuk memilih celana kolor.
"Owalah, yayaya. Semoga langgeng dan cepat dapat momongan ya, Mas Jiwo."
Jiwo sontak terbahak sambil mengiyakan. Laki laki itu kembali fokus memilih kolor yang diinginkan. Jiwo dan Anum saling pandang lalu saling melempar senyum. Kemudian dia kembali mengawasi warga yang sedang mangacak acak barang dagangannya.
Setelah memilih sesuai selera masing masing, para warga langsung menyerahkannya pada Jiwo untuk di hitung harga.
"Mas, ini aku sekalian nyicil yang minggu kemarin ya," ucap seorang ibu sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan.
"Oh iya, Bu, bentar aku cek catatannya," jawab Jiwo sambil merogoh tasnya dan mengambil buku bersampul batik yang berisi catatan hutang para warga. "Bu Irma, hutangnya tinggal dua puluh ribu ya, Bu. Terus yang itu kontan atau tempo?"
"Ini kalau kontan berapa?"
"Dua puluh lima ribu."
"Ya udah kontan aja."
"Oke."
Lantas Jiwo mencoret cacatan hutang di hadapan Ibu itu sebagai tanda lunas. Setelah urusan dengan Ibu itu selesai, kini tinggal yang lainnya untuk melakukan transaksi.
Rata rata semua cara membayarnya hampir sama. Ada yang kontan, ada yang membayar dua kali. Bukan tanpa alasan Jiwo melakukan hal itu, tapi memang sebagai pedagang harus bisa melihat keadaan konsumen itu bagaimana.
Jiwo juga sering menghadapi konsumen yang tiba tiba menghilang karena hutang. Jiwo memilih membiarkan saja orang orang seperti itu. Karena kalau di tagih pasti akan mencari beraneka ragam alasan agar bisa lolos dalam usahanya yang enggan membayar hutang.
Jiwo memilih membiarkan orang orang seperti itu agar mereka tidak punya nyali untuk hutang lagi. Tiap hendak hutang, Jiwo akan mengingatkan hutangnya yang lama. Jadi mau tidak mau orang orang seperti itu memilih membayar kontan atau tidak jadi membeli.
"Kita istirahat di warung itu yuk," ajak Jiwo setelah selesi melayani pembeli. Sang istri mengganguk tanda setuju. Lalu mereka memilih duduk warung ada sambil menunggu pembali. Kali saja, masih ada rejeki.
Sementara itu, di kota lain, Hendrik masih uring uringan di tempat tinggalnya. Sudah hampir dua minggu, dia kehilangan wanita wanita yang akan dia jual kepada pria pria hidung belang di kalangan elit yang menjadi langganananya. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu, saat ini nampak lebih gelisah dari biasanya. Karena hari ini orang dari kalangan pemerintah yang selalu melindungi usaha ilegalnya akan datang. Yang pasti kedatangan orang itu ada hubungannya dengan wanita wanita yang entah kemana kini keberadaannya.
"Bagaimana ini, Jo? Alasan apa lagi yang harus aku katakan pada Pak Suryo?"
"Bos, daripada bos selalu pusing begini dan kena marah Pak Suryo, kenapa Bos nggak coba dulu memantau tempat kejadian berita pernikahan yang kita baca tadi? Aku sih merasa yakin, mereka adalah orang kita cari."
Hendrik terdiam, pikiran dan hatinya mendadak gundah akibat desakan anak buahnya.
"Apa benar itu mereka?"
...@@@@@...
yach.. namanya juga fantasi/Smug/