Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Modus
Jakarta
Ratna melirik jam dinding. Hampir pukul 7 tapi belum ada tanda-tanda suaminya datang ke meja makan. Menu sarapan pagi sudah disiapkan di meja. Setangkup roti gandum isi selai kacang berikut satu butir telor ayam rebus. Ditambah segelas susu hangat low fat. Sesuai request tadi subuh.
Duduk menghadap secangkir teh hijau. Menunggu panasnya berkurang berganti hangat agar bisa diminum. Ingatan Ratna kini melayang pada percakapannya dengan sang adik kemarin pagi waktu jogging menyusuri pesawahan.
"Teh, apakah rumah tangga teteh baik-baik saja?!"
Sebuah pertanyaan dengan nada khawatir dari Ratih, sang adik. Membuat Ratna sampai menautkan kedua alis. Tentu saja ia menjawab baik-baik saja. Gesekan sedikit ataupun marahan karena perdedaan pendapat, itu sebagai hal wajar bukanlah masalah.
"Syukurlah. Hanya aneh saja lihat sikapnya Mas Krisna. Kalau duduk bersama kayak suka menghindar gitu. Dulu-dulu mah rasanya enggak gitu. Eh mungkin perasaan aku aja kali ya."
Ratna menghembuskan nafas panjang. Kenapa juga malah kepikiran ucapan Ratih. Wajar kok, perhatian seorang adik terhadap kakaknya. Tapi ucapan sang adik memang ada benarnya. Beberapa tahun terakhir ini, di setiap mudik ke Ciamis jarang ngobrol lama-lama bersama Ibu. Tapi selain itu tidak ada yang berubah. Perhatian berupa tunjangan finansial tetap mengalir setiap bulannya. Malahan Krisna yang selalu mengingatkan untuk transfer teratur setiap tanggal satu.
Keasyikan dalam lamunan, baru tersadar waktu sudah bergerak pukul 7 lewat 5 menit. Diteguknya teh yang sudah hangat dan segera beranjak menuju kamar karena sang suami belum juga muncul. Rumah besar dua lantai itu terasa sepi tanpa adanya anak-anak. Hanya aktifitas dua asisten rumah tangganya yang nampak sedang melaksanankan tugas rutin.
"Papi, kenapa belum siap-siap? Gak akan ke kantor?" Ratna menghampiri dan duduk di tepi ranjang dengan dahi mengernyit. Krisna ternyata masih bermalas-malasan di tempat tidur sambil menyangga kepala dengan kedua tangan. Dan mata yang menerawang menatap plafon kamar.
"Berubah pikiran, Mi. Pengen malas-malasan dulu. Ke kantornya nanti siang pas mau meeting aja. Badan masih cape." Krisna menepuk kasur di sampingnya. Meminta Ratna bergeser naik ikut tiduran denganya.
"Ya sudah istirahat aja dulu. Tapi Papi harus sarapan dulu!" Ratna menolak naik. Beranjak keluar dulu untuk mengambilkan sarapan suaminya. Biar makan di kamar saja.
Berpindah duduk bersama di sofa. Sarapan dihabiskan Krisna dengan cepat. Sinar mentari masuk menembus kaca jendela yang menghadap ke timur. Memberi hangat ruang kamar yang luas itu.
"Papi kelihatan lelah. Mendingan jangan ke kantor dulu deh. Meetingnya undur besok lagi, bisa?" Ratna mengamati wajah sang suami yang kurang segar. Sedikit uban yang ada di sekitar daun telinga tidak mengurangi gurat ketampanannya. Masih tetap gagah di usia yang sudah matang itu.
Krisna mencerna dan sejenak menimbang saran sang istri. "Iya deh. Tapi Mami jangan pergi! Temani Papi di rumah."
Ratna mengangguk. "Tadinya mau main ke kantornya Cia. Mantau kinerja anak-anak. Tapi kalau Papi mau di rumah, Mami gak akan pergi."
Krisna beralih merebahkan kepala di pangkuan Ratna. Menggenggam jemari tangan sang istri dan mengecup-ngecupnya penuh perasaan.
"Cia pasti memantaunya dari cctv di ponselnya. Mami gak usah khawatir. Anak gadis kita pandai mengelola bisnisnya." Krisna beralih menempatkan tangan Ratna di rambutnya. Sang istri sudah faham. Segera melakukan pijatan-pijatan lembut di kepala.
"Iya sih. Tapi Mami tetap bantu kontrol secara langsung. Ya....sambil main. Di rumah terus sendirian kan jenuh."
Bisnis Adyatama Grup yang kini berdiri kokoh adalah rintisan dirinya dan Krisna sejak awal menikah. Ratna yang berasal dari keluarga berada, rela menggelontorkan dana besar untuk membantu sang suami tercinta memulai bisnis properti. Dimana sebelumnya Krisna hanyalah seorang karyawan kontrak di bank swasta. Sempat tidak mendapat restu orangtua Ratna saat Krisna melamarnya. Melihat penghasilan seorang karyawan kontrak yang tidak seberapa. Namun kegigihan dan janji Krisna untuk membahagiakan lahir dan batin, meluluhkan hati kedua orangtua Ratna sehingga memberi restu. Seiring waktu janjinya terbukti dengan semakin menanjaknya bisnis yang dirintis. Dan Ratna pun memutuskan fokus menjadi ibu rumah tangga. Mencurahkan perhatian penuh untuk kedua anaknya, setelah dirasa bisnisnya sudah kokoh dan bercabang.
"Mi, Papi sangat cinta dan sayang sama Mami. Dari dulu sampe sekarang gak pernah memudar. Malah makin sayang...." Krisna kembali menggenggam tangan Ratna dan meremasnya dengan lembut.
"Pokoknya Mami jangan ragukan itu ya!" Kali ini sambil menatap lembut ke dalam bola mata hitam yang tengah menunduk menatapnya pula.
"Papi kenapa mendadak ngegombal gini sih." Ratna terkekeh dan menjawil hidung Krisna. Tak dipungkiri ungkapan cinta sang suami membuat darahnya berdesir dan hati menghangat. Sebenarnya, ungkapan-ungkapan cinta biasa mereka lakukan sebelum tidur. Sepanjang usia pernikahan. Sengaja, demi menjaga keharmonisan dan kemesraan meski usia tak lagi muda.
"Karena Papi takut kehilangan Mami. Bahkan jika nanti maut memisahkan, kalau boleh meminta sama Allah, biar Papi dulu. Karena Papi merasa gak akan sanggup kehilangan cinta sejati." Krisna berkata dengan sungguh-sungguh sambil menempelkan tangan Ratna di dadanya.
"Hus ah. Papi jangan bahas itu. Mami jadi takut. Mami juga sangat sayang sama Papi. Jangan ragukan itu!"
"Buktinya dulu dari banyak pria yang datang melamar, seorang gadis bernama Ratna Gayatri hanya jatuh hati pada pemuda pekerja keras bernama Krisna Adyatama." Ratna tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata.
Krisna tersenyum lebar. Tentu saja ia tak akan meragukan ketulusan cinta Ratna yang dulu mau menerimanya. Seorang pemuda yang hanya memiliki motor tua.
"Pindah ke kasur yuk, Mi!" Krisna bangun dan mengecup bibir sang istri.
"Mau apa?!" Ratna balas merangkul pinggang sang suami yang memeluknya sambil berjalan menuju ranjang.
"Olahraga pagi. Papi butuh dopping."
...***...
Ciamis
"Putri! Mau ngapain?!"
Puput urung mengetuk pintu. Berbalik badan karena Septi tahu-tahu ada di belakang dan menegurnya.
"Aku dipanggil Pak Rama, Bu Sep." Sahut Puput tenang.
"Awas jangan genit ya!" Septi pun berlalu pergi ke mejanya usai memberi peringatan. Puput hanya mengangkat bahu.
Di dalam. Puput duduk diam menghadap Rama yang memberi kode untuk menunggunya karena sedang bertelepon. Dijawab Puput dengan anggukkan kepala.
Selang 5 menit kemudian.
"Put, ada tugas buat kamu. Selama saya berkantor di sini, kamu diangkat jadi sekretaris saya. Tenang, untuk tugas ini kamu akan dapat bonus." Rama bersidekap tangan di meja selama menjelaskan maksudnya memanggil Puput. Menatap karyawan di hadapannya dengan wajah serius penuh wibawa.
Puput mengernyit. "Saya belum pengalaman jadi sekretaris, Pak." Wajah Puput terlihat ragu dan tidak siap mendapat tanggungjawab itu.
"Justru itu makanya saya sekalian memberi training. Bisa jadi nanti kamu dapat kedudukan itu. Karena di cabang ini belum ada posisi sekretaris. Ya karena masih mampu dihandle oleh manajer. Kedepan jika RPA Ciamis makin maju, jabatan skretaris harus ada."
Puput mengangguk mengerti.
"Sekarang kamu mulai tugas pertama. Temani saya keliling store dan gudang! Pekerjaanmu bisa dipending dulu selama 2 hari ini. Karena minggu besok saya pulang ke Jakarta."
Puput mengangguk patuh. "Baik, Pak. Mohon bimbingannya karena saya masih awam."
"Sekarang boleh kembali ke meja! 10 menit lagi saya keluar." Tegas Rama.
"Hmm, maaf sebelumnya Pak." Puput menatap dengan wajah sungkan.
"Ya, ada apa?" Rama mengangkat kedua alisnya.
"Tadi Ibu saya nitip jambu merah buat mbak Cia. Katanya suruh titipin ke Pak Rama." Puput meringis malu.
"Saya sudah sampaikan amanah Ibu. Tapi Pak Rama gak akan mau nerima kan ya?! Gak papa...saya juga ngerti kok. Biar saya bagiin buat teman-teman aja. Yang penting udah tenang, udah nyampein amanah ibu." Jelas Puput menyambung ucapan dengan cepat. Mengira Rama akan merasa terhina dikasih oleh-oleh jambu merah. Tidak sebanding dengan nilai buah tangan kemarin.
Rama tersenyum simpul. "Kata siapa saya akan nolak. Malah seneng banget sama buah matang pohon pastinya bebas pestisida. Cia juga pasti seneng. Mana jambunya?!" Seperti anak kecil, Rama menagih dengan menengadahkan tangan.
Puput nampak bernafas lega. Praduganya salah. "Masih disimpan di motor, Pak. Apa saya ambil sekarang?!"
"Oh, nanti aja kalau mau pulang. Satu lagi, jangan panggil Mbak Cia. Cia aja. Dia usianya setahun di bawah kamu." Sahut Rama.
"Bapak tahu umur saya?!" Puput bertanya dengan lugu.
Rama menelan saliva. Tak menyangka dapat pertanyaan seperti itu. "Barusan lihat-lihat database karyawan, CV kamu pas terakhir saya baca sebelum kamu masuk."
"Oh iya-ya. Aduh kenapa saya lola. Maaf----" Puput menggelengkan kepala sambil terkekeh. Merasa dirinya yang bodoh. Sudah jelas perusahaan memiliki database.
Di meja yang lain di ruang yang sama. Meski Damar fokus menatap layar laptop, namun sepasang telinganya dapat mendengar jelas percakapan Rama dan Puput. Ia menahan tawa. Leluasa meledakkan tawa saat Puput sudah keluar.
"Sa ae modus Kang Panci. Pinter juga ngelesnya." Damar melempar bulatan kertas mengenai bahu Rama yang tengah menyandarkan punggung dengan helaan nafas panjang. Tertawa dengan lepas. Mentertawakan kepanikan Rama saat mendapat pertanyaan Puput tadi.
"Hadeuh....untung otak gue encer. Bisa ngasih jawaban logis." Rama memutar-mutar kursinya. Pastinya secret file dunia Puput aman di laci mejanya.
Puput kembali ke mejanya. Komputer yang tengah menyala dimatikannya lagi. Sang boss katanya 10 menit lagi akan keluar. Heran, padahal keliling store harusnya didampingi Septi bukan olehnya. Septi kan store supervisor .
Au ah sakarepmu.
Puput mengangkat bahu. Tidak mau ambil pusing. Tapi ia harus siap mental mendapatkan tatapan maut kanjeng ratu nanti.
"Sstt.....ssttt, Put." Via melongokkan kepala dari balik kubikelnya.
"Apa sih sat set....sat set." Puput menoleh dan mendongak. Sudah bisa menduga Via akan mengintrogasinya.
"Put, ayo!"
Puput dan Via terkejut. Tak mengira sang boss sudah datang mendekat.
"Baik, Pak!" Puput bergegas memasukkan ponselnya ke lemari. Mencabut kuncinya dan dimasukkan ke saku celana. Ia mengikuti langkah Rama di belakang sambil membawa buku memo dan pulpen sesuai yang dipinta sang boss. Tahu, semua mata kini tertuju padanya.
Via menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya melotot karena terkejut dengan penampakkan yang tak terduga sekarang.
"Ow em ji....Param dan Siput udah terang-terangan jadian." Via bergumam sendiri dengan penuh excited.
Siap-siap ini mah bakal jadi trending topic di lingkungan RPA.
Via menggosok-gosokkan telapak tangan dengan penuh kehebohan. Turut senang sahabatnya kini punya pasangan. Tajir lagi. Begitu perkiraannya saat ini.
Brukk.
"Aduh maaf, Pak." Puput terkaget. Tak mengira Rama akan menghentikan langkah. Sehingga hidungnya mencium punggung sang boss. Fokusnya teralihkan pada Septi yang baru saja berpapasan di jalan. Sehingga ia menatap ke samping untuk melempar senyum pada wajah senior yang masam dan kecut itu.
"Kamu jangan berjalan di belakang. Saya jadi kayak dikawal. Di sini...di samping!" Rama mengarahkan Puput ke samping kanannya. Bersama-sama menuruni tangga.
Pengalaman baru untuk Puput. Mendampingi sang owner keliling store yang memantau setiap stand keramik dan granit serta batu alam. Beralih menyambangi tenant berbagai cat merek ternama dengan alat oplos warna menggunakan sistem komputer. Menyapa SPG (Sales Promotion Girl) yang bertugas.
Waktu paling lama mendampingi adalah di gudang. Karena Rama menyidak warehouse supervisor. Mendengarkan dan membaca laporan kinerja tim gudang dari Pak Hadi yang supervisor.
Ada poin-poin yang dicatat Puput sesuai perintah Rama untuk bahan diskusi dengan Pak Hendra. Hingga tak terasa 15 menit lagi jam ishoma.
"Put, tempat makan yang enak dan cozy dimana? Saya ingin ayam goreng yang punya ciri khas." Rama berjalan bersisian keluar dari kantor gudang. Selesai sudah kegiatan sidaknya.
"Oh saya tahu, Pak. Ada menu ayam goreng tabur parutan laos yang crispy. Umumnya kan ayam goreng pakai serundeng kelapa. Ini mah beda. Dimanapun cabangnya....tidak meninggalkan ciri khasnya. Nama rumah makannya----"
"Oke. Temani saya ke sana!" Rama menekan remote mobilnya. Memotong ucapan Puput yang seperti sales sedang presentasi dagangannya. Ia berjalan lebih dulu menuju pintu kemudi.
"HAHH?!" Puput menghentikan langkah dengan mulut menganga. Terkejut. Tujuh detik kemudian baru sadar saat alarm suara ibunya otomatis terngiang. Mingkem Teh...mingkem.
Segera mengatupkan bibir. Beruntung si boss tidak melihatnya karena berjalan lebih dulu menaiki mobil.