Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
🎶[Tak soghok-Tak Soghok ... ala keriii - kerii - keriii ... Tak soghok-Tak Soghok... Ala kerii-keriii-kerrii...]🎶
Tiba-tiba saja lagu itu terdengar di alarm ponselku. Alarm yang sudah kusetting untuk membangunkan tidur siangku saat di rumah. Tapi sekarang boro-boro tidur siang, yang ada aku akan diju al orang.
Dengan cepat kumatikan alarm lagu favoritku itu. Mungkin jika Deti menikahkanku dengan satu pria yang kucintai, rasanya pasti akan keriii-keriii-keriii. Sedangkan Deti akan menikahkanku dengan 3 pria asing? Rasanya pasti akan nyeriii-nyeriii-nyerii.
Kalau dipikir, kurang ajar juga si Deti itu. Pasti dia bohong tentang hidupku yang akan bahagia jika menikah dengan 3 pria asing itu. Kalau memang akan bahagia, seharusnya dia saja yang menerima tawarannya. Gak perlu kasih alasan takut fe feknya jebol juga, itu pasti cuma alasan biar aku percaya.
Deti mengusap bahuku, gerakannya lembut, kayak sedang menenangkan anak kecil yang tantrum. “Cica, please. Kamu mau ya terima tawaranku?”
“Untung buatku apa?” Mataku mendelik.
“Kamu akan jadi istri orang kaya.”
“Lagian kenapa juga sih harus sama 3 pria? Mana kakak adik pula. Memangnya gak bisa nikah sama satu orang aja?!”
Jujur, aku memang ingin jadi orang kaya. Siapa sih manusia yang gak ingin kaya? Tapi gak harus nikah sama 3 pria juga. Kalau nikahnya sama 1 pria sih mungkin aku bisa pikir ulang. Soalnya percuma juga aku balik ke Indonesia, bisa jadi gembel aku di sana.
“Gak bisa, Ca. Harus ke 3 saudara itu yang menikahi kamu. Itu udah adat di sana.”
“Aku nggak mau, Det!” Suaraku pecah. “Aku gak mau punya suami tiga!”
“Cica--”
Aku bangkit dari kursi pesawat saking malas mendengar ucapannya. Semua penumpang pun menatapku tanpa terkecuali, namun aku tak peduli.
“Tolong! Ada yang mau ju al aku! Tolong!” teriakku.
Semua penumpang menatap, tapi hanya diam. Sepertinya mereka gak paham bahasaku.
“Miss, please calm down. Please sit down.” Seorang pramugari akhirnya menghampiriku.
“Aku mau diju al!” teriakku lagi. “Aku mau pulang!”
“Ca.” Deti mulai gelisah. Sampai akhirnya dia memelukku. “Cica, tolong bantu aku.”
“Aku gak mau!” Kudorong tubuhnya sampai mundur.
“Duduk dulu, Ca. Tenang dulu.” Dia menuntunku ke kursi, mendudukkanku, tangannya pun menahan pundakku supaya gak bangkit lagi.
“Kamu haus, kan?” Deti menyodorkan air jeruk kemasan. “Minum dulu. Nanti kita omongin lagi.”
Karena harus, akhirnya aku minum. Capek juga teriak-teriak tapi gak ada yang notice. Tapi setelah minum, tiba-tiba kelopak mataku berat, bibirku menguap, kepalaku pun pusing lebih ke ngantuk.
“Kok tiba-tiba ngantuk?”
Aku jadi gelisah, tubuhku melemah, kelopak mataku sudah sulit dilebarkan, mau bicara pun bibir sulit dibuka, tak lama kemudian, pandanganku tiba-tiba gelap.
**
**
Entah sudah berapa lama aku gak sadar. Yang jelas, begitu kelopak mataku terbuka, aku langsung ngerasa tubuhku sakit semua.
“Di mana ini?”
Kupikir aku masih di pesawat. Tapi begitu fokusku pulih, Ini bukan pesawat. Aku sedang ada di mobil yang entah punya siapa.
Kuangkat kepala perlahan, melihat ke depan, ada supir yang gak kukenal. Namun saat menoleh kesamping, jantungku langsung berdebar.
“Kamu lagi?” Aku melihat Deti tersenyum.
“Udah bangun? Kamu pasti capek banget sampai ketiduran,” katanya dengan nada sok lembut.
Aku gak menggubris. Bahkan aku gak punya energi untuk pura-pura ramah. Yang kulakukan hanya memindai pemandangan lewat kaca jendela.
“Ini di mana?”
Di luar, aku gak lagi lihat kota besar. Yang kulihat cuma pedesaan luas, rumah-rumah rendah, ladang, peternakan, padang rumput, dan pegunungan yang tampak jauh.
“Ini bukan China yang tadi?” Aku tersentak. “Kita di mana, Det?!”
“Kita sudah sampai, Ca.”
Aku menelan ludah. “Sampai?”
“Ya, kita sudah ada di Tibet.”
“Hah?” Mataku membola.
“Kamu persiapkan diri, ya. Ke 3 calon suami kamu udah nunggu kamu.”
“DETI!” teriakku frustasi.
“Nah, kita sampai. Itu ...”
Deti menunjuk sebuah rumah yang ada di depan sana, mobil yang membawaku pun berbelok ke halaman rumah itu.