Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 — “Pertemuan di Ruang Rapat Tertinggi”
Darren Reigar tiba tepat pukul 09.58 pagi.
Gedung Alzona Group bukanlah sekadar menara kaca dan baja; itu adalah monumen untuk ambisi, keheningan, dan kekuasaan Winter Alzona. Semuanya di sana dirancang untuk membuat pengunjung merasa kecil dan sedikit lusuh. Lobi utama dilapisi marmer hitam tanpa urat, terlalu bersih, memantulkan setiap langkah kakinya dengan presisi yang menyakitkan.
Resepsionis yang mengenakan seragam abu-abu perak menyambutnya dengan senyuman standar yang dingin, persis seperti yang diharapkan Darren. Dia tidak meminta ID atau janji temu; mereka sudah tahu siapa dia.
“Nona Winter menunggu di lantai eksekutif, Tuan Reigar. Pengacara beliau, Tuan Vellion, akan mengantar Anda.”
Lift yang dinaikinya bukan lift biasa. Itu adalah lift kaca pribadi yang meluncur tanpa suara. Saat lift naik, Darren melihat kota korporat Jakarta menyusut. Di lantai bawah, ia adalah pemain yang disegani. Di sini, ia adalah seseorang yang dipanggil untuk diadili.
Pukul 10.02, pintu lift terbuka langsung ke lantai penthouse Winter.
Lantainya terasa sangat luas, lapang, dengan dekorasi minimalis yang hanya terdiri dari seni kontemporer mahal dan satu dinding yang seluruhnya adalah kaca, menyajikan pemandangan kota tanpa penghalang. Tidak ada keramaian, tidak ada kertas berserakan. Hanya keheningan yang mahal.
Adrian Vellion, pengacara Winter yang elegan dan berwajah cool itu, menyambutnya. Adrian adalah tipe pria yang selalu tampak mengenakan setelan yang harganya sepadan dengan gaji satu tahun seorang eksekutif junior, tanpa cela dan protective.
“Tuan Reigar,” sapa Adrian, nadanya sopan tapi berjarak. “Silakan masuk. Nona Winter akan segera bergabung.”
Adrian mengantar Darren ke sebuah ruang rapat kecil yang terpisah dari kantor utama. Ruangan itu hanya berisi meja kaca bundar tipis dan tiga kursi baja yang dilapisi kulit putih gading. Di atas meja, sudah tersedia dua gelas air es, dan satu amplop cokelat tebal berlogo Alzona Group.
“Dia suka membuat orang menunggu,” kata Darren pelan, suaranya sedikit serak karena kurang tidur, tapi terselubung pesona lama yang mematikan.
Adrian hanya menyandarkan diri di ambang pintu, menyilangkan tangan, tidak terpengaruh. “Nona Winter punya jadwal yang padat, Tuan. Anda bisa lihat sendiri.”
Darren tersenyum tipis, tetapi matanya menajam. Ia menyadari Adrian tidak pergi. Kehadiran pengacara itu adalah pengingat bahwa percakapan ini bukan pertemuan pribadi, melainkan duel bisnis yang sah.
Ia duduk, merasakan dinginnya kulit kursi yang mahal itu merayap ke pori-porinya. Ia mengambil salah satu gelas air, membiarkan esnya bergesekan di giginya. Dia melihat amplop cokelat itu. Pasti dokumen penawaran.
Lima menit. Waktu terasa melambat. Darren menggunakan waktu itu untuk mengamati. Dia mencari celah, kelemahan, petunjuk. Tetapi Alzona Group tidak memberikan apa-apa selain kemewahan dan kesombongan yang membisu.
Tepat pukul 10.08, pintu ruangan geser itu terbuka tanpa suara. Winter masuk.
Dia tidak mengenakan setelan formal yang kaku. Dia memakai blus sutra berwarna burgundy gelap, celana panjang hitam, dan sepatu hak tinggi yang suaranya nyaris tidak terdengar di lantai marmer. Winter Alzona bergerak seperti predator yang sangat yakin pada langkahnya.
Darren berdiri, bukan karena rasa hormat, melainkan karena kebiasaan dan untuk menyamai ketinggian.
Jeda itu terasa abadi. Sepuluh tahun, berjarak hanya tiga meter, di antara meja kaca yang memisahkan mereka.
Winter Alzona tidak lagi sama dengan gadis sederhana yang ditinggalkannya di tepi kolam renang. Wajahnya adalah ukiran yang lebih tajam, lebih dingin, lebih sempurna. Namun, di matanya—mata hazel yang mematikan—Darren melihat kilatan yang ia kenal: kemarahan yang terkunci, yang kini bersinar terang di bawah cahaya lampu mewah.
“Darren,” sapa Winter. Namanya terasa asing di lidahnya. Bukan sapaan, melainkan pernyataan.
“Winter,” balas Darren, suaranya lebih rendah dan lebih dalam dari biasanya. Ia mencoba tersenyum, senyuman menawan yang biasa meluluhkan para investor, tetapi itu terasa sia-sia di hadapan Winter. “Aku tidak menyangka kantor Alzona Group seindah ini. Atau mungkin… sesepi ini.”
Winter berjalan perlahan, tidak duduk. Dia berdiri di sisi meja, memiringkan kepalanya sedikit, menatap Darren dari atas. Dominasi yang halus.
“Kesunyian itu mahal, Darren. Itu adalah harga yang harus dibayar untuk menjaga fokus. Sesuatu yang tampaknya tidak kau miliki akhir-akhir ini.”
Pipi Darren sedikit menegang. Adrian tersenyum tipis di belakangnya. Winter tidak membuang waktu.
“Duduklah,” katanya, akhirnya duduk di kursi seberang, memberikan jeda singkat yang terasa seperti perintah.
Darren duduk kembali. Mereka berhadapan. Ini terasa seperti adegan film, di mana setiap kata memiliki bobot ganda.
“Mari kita luruskan, Darren,” Winter memulai, mengambil amplop cokelat di atas meja. Jemarinya yang ramping, dengan kutek warna nude, menyentuh kertas tebal itu. “Perusahaanmu sekarat. Wray Group akan menelannya dalam dua minggu, dan kau tidak punya modal likuiditas untuk bertahan dari serangan ini.”
“Analismu selalu akurat, Winter,” ujar Darren. Ia bersandar di kursinya, mencoba menampilkan ketenangan palsu. Ia membiarkan Winter memegang kendali. “Apa yang kau tawarkan? Aku tahu kau tidak mengundangku ke ketinggian ini hanya untuk menyajikan kopi.”
Winter mengangkat amplop itu. “Ini adalah penawaran. Alzona Group akan mengakuisisi 60% saham Reigar Technologies. Kami akan menutupi semua kewajiban, memblokir Wray, dan menstabilkan perusahaanku. Kau tetap menjadi CEO, tetapi keputusan operasional strategis akan diambil alih oleh direksi yang kutunjuk.”
Darren diam. 60%. Itu berarti dia kehilangan kendali. Itu berarti perusahaan yang dia bangun dengan susah payah kini akan tunduk pada Winter. Itu adalah harga yang pantas untuk balas dendamnya. Tapi…
“Itu terlalu lunak untuk Alzona Group,” kata Darren, menggeleng pelan. Ia menatap Winter lurus-lurus. “Kau tidak repot-repot menyusun dokumen setebal ini hanya untuk aset digital yang sedang jatuh, Winter. Katakan padaku, apa harga yang sebenarnya? Apa yang kau inginkan dariku, secara pribadi?”
Udara di ruangan itu terasa tebal. Adrian di ambang pintu tampak seperti patung, tetapi Darren tahu dia mendengarkan setiap nada.
Winter akhirnya tersenyum. Senyum itu dingin, mengundang, dan mematikan. Itu adalah senyum yang ia gunakan untuk menghancurkan pesaing di pasar. Namun, saat senyum itu diarahkan padanya, Darren merasakan getaran yang aneh.
“Aku menyukai kejujuranmu, Darren. Tapi kau salah. Aku tidak menginginkan apa pun darimu. Aku menginginkan Reigar.”
Dia membuka amplop cokelat itu, mengeluarkan satu lembar kertas tipis yang berbeda dari tumpukan tebal di dalamnya. Kertas itu adalah kontrak pribadi.
Winter mendorongnya perlahan di atas meja kaca, hingga berhenti tepat di depan Darren.
“Syaratku sederhana,” kata Winter, suaranya merendah, nyaris berbisik, tetapi menguasai ruangan. “Aku akan menyelamatkan perusahaanmu, dan bahkan mengembalikannya ke puncak. Tapi sebagai gantinya…”
Dia menjeda. Darren membungkuk ke depan, merasakan ketegangan erotis yang terpendam, permainan psikologis yang jauh lebih menarik daripada perang bisnis. Dia melihat Winter menikmati momen ini, menikmati setiap detik di mana Darren, sang mantan pacar yang sombong, kini harus menanti vonisnya.
“…kau harus menikahiku, Darren. Secara hukum, di depan mata publik. Kontrak pernikahan enam bulan.”
Darren membeku. Tawa kecil nyaris lolos dari tenggorokannya, tawa yang dingin dan gila.
“Pernikahan?” tanyanya, memastikan, nadanya masih tenang, tapi matanya mulai bersinar dengan obsesi yang tidak sehat. “Kau ingin aku menjadi suamimu—sebagai balas dendam?”
“Anggap saja itu sebagai klausul asuransi,” jawab Winter, suaranya sedingin es. Dia akhirnya menatapnya dengan intensitas penuh, membiarkan kemarahan, luka, dan tarikan yang ia rasakan terpancar. “Kau bilang sepuluh tahun lalu aku tidak berada di level yang sama denganmu. Sekarang, kau akan membuktikan bahwa kau berada di level yang sama denganku—di bawah nama keluargaku. Kau akan menjadi CEO Alzona Winter Reigar. Itu adalah harga untuk nafas Reigar Technologies yang selanjutnya.”
Winter meraih gelasnya, menyesap air dinginnya dengan tenang, ekspresi wajahnya tidak berubah.
“Kau punya waktu dua puluh empat jam untuk memikirkannya, Darren. Tapi ingat, Wray Group tidak akan memberimu waktu yang sama. Keputusanmu sudah tertulis. Kau akan menikahiku. Kau hanya perlu mengakui fakta itu.”
Dia berdiri. Duel usai. Darren tahu, dalam setiap gerak-gerik dan tatapan Winter, wanita ini sedang menikmati setiap inci dari kemenangannya. Dia telah mengalahkan Darren bukan di pasar saham, tetapi di arena yang paling menyakitkan: harga diri.
Namun, saat Darren melihat kertas kontrak itu, sebaris kalimat di benaknya justru berbisik: Akhirnya. Aku mendapatkannya kembali.
Ia tidak merasa kalah. Ia merasa ditemukan.
“Menarik, Winter,” kata Darren, perlahan. Dia tidak mengambil kontrak itu. Dia hanya menatap Winter. “Aku tidak tahu kau suka bermain-main dengan komitmen. Dulu, aku pikir kau terlalu serius.”
Winter tidak membalas provokasi itu. Dia hanya menatapnya dengan pandangan dingin.
“Aku tidak pernah bermain-main, Darren. Aku hanya memastikan semua orang tahu tempatnya. Termasuk kau. Aku akan menunggu di Tokyo besok malam. Kau bisa mengirimkan jawabanmu melalui Adrian.”
Tanpa basa-basi lain, Winter berbalik dan meninggalkan ruangan itu, menyisakan aroma parfumnya yang mahal—aroma dominasi dan burgundy gelap—dan Adrian yang kini berjalan masuk untuk mengambil berkas-berkas di meja.
Darren tetap duduk, membiarkan keheningan itu melingkupinya. Ia mengambil kontrak tipis itu, memegangnya. Bukan kontrak bisnis, melainkan tiket untuk kembali ke wanita yang telah lama ia obsesi, terbungkus rapi dalam nama balas dendam.
“Kontrak enam bulan,” Darren bergumam pada dirinya sendiri, menyeringai. “Kita lihat saja, Winter. Siapa yang akan kecanduan duluan.”