Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 03
Hagia membawa Hasya jalan-jalan pagi di sekitar perumahan, wanita cantik dengan wajah polos tanpa riasan itu sesekali menyapa para tetangga saat berpapasan. Tangan kirinya menuntun tangan mungil Hasya yang antusias menyusuri jalan.
"Ehh Hagia, assalamualaikum." sapa salah seorang tetangganya. "Umi liat, kamu udah lama disini." tanyanya. Beliau adalah Umi Salma, istri dari seorang Kyai yang mempunyai pondok pesantren di kampung itu.
"Walaikumsalam iya Umi, Hagia sekarang tinggal sama bapak." sahut Hagia dengan senyum ramahnya.
"Lho, terus suami kamu gimana kalau kamu tinggal sama Pak Malik?" tanyanya sudah mulai kepo.
Hagia terdiam, ia tahu jika suatu saat orang-orang pasti akan menanyakan hal ini. Karena mereka tidak tahu jika Hagia dan Heru sudah bercerai, mau tak mau Hagia harus siap menjadi bahan omongan tetangga karena kegagalan nya membina rumah tangga.
"Sebenarnya saya sudah berpisah, Umi." kata Hagia sambil kedua tangannya menutup telinga Hasya.
Perkataan Hagia tak ayal membuat Umi Salma terkejut. Pasalnya, Hagia menikah di usia yang cukup matang bagi seorang wanita, yaitu 27 tahun. Sedangkan Heru sendiri juga pria dewasa, namun ternyata mereka tidak mampu mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
"Maksudnya, kamu dan Heru bercerai?" Umi Salma memperjelas status Hagia. Hagia hanya mengangguk pelan.
"Saya pulang dulu, Umi. Assalamualaikum," ucap Hagia segera pergi sebelum Umi Salma mengajukan banyak pertanyaan.
"Iya, walaikumsalam." sahut Umi Salma, menatap punggung Hagia yang semakin menjauh.
Meskipun Umi Salma istri dari seorang Kyai yang lumayan di segani masyarakat sekitar, namun wanita paruh baya itu masih suka membicarakan aib orang lain. Hagia yakin, jika setelah ini orang-orang akan tahu jika statusnya adalah seorang janda.
"Abi! Abi! Abi!" seru Umi Salma memanggil suaminya.
"Ada apa sih umi? Suka banget teriak-teriak begitu. Malu kalau sampai di dengar para santri," tegur Mail. Pria dengan sarung dan kaos putih itu duduk di ruang tamu membawa secangkir kopi di tangannya.
"Ehh Abi tahu gak?" kata Umi Salma mengabaikan peringatan sang suami. Wanita itu langsung duduk disamping suaminya.
"Gak tahu, jangan ajak Abi ghibah pagi-pagi." selanya membuat sang istri cemberut.
"Ini bukan ghibah, Abi! Tapi kenyataan, berita terbaru." kata Salma mencari pembenaran. "Ternyata Hagia itu sudah bercerai sama suaminya, anaknya Pak Malik itu janda." ujarnya dengan nada sinis. Mail yang mendengar itu mengucapkan istighfar berkali-kali.
"Umi tahu dari mana? Jangan sampai apa yang Umi katakan ini menjadi fitnah kejam." kata Ismail mengingat istrinya.
"Abi ini sembarangan banget, siapa juga yang fitnah? Orang tadi Hagia sendiri yang bilang sama umi, kalau dia sudah berpisah sama suaminya." Salma tidak terima jika dikatakan sedang menebar fitnah.
"Padahal ya, Bi. Hagia itu udah tua, masa gak bisa sih mempertahankan rumah tangganya, mana anaknya masih kecil." Mail menggelengkan kepalanya. Sungguh sulit bagi Mail menasehati istrinya untuk tidak membicarakan aib orang lain.
"Umi, jangan membicarakan aib orang lain. Berapa kali Abi ingatkan?" tegurnya lagi sambil meraih secangkir kopi yang ada di meja. "Abi yakin jika Hagia tidak bercita-cita menjadi janda, kita doakan yang terbaik untuk mereka. Lagian, Hagia itu masih muda," ujar Mail bijaksana sesuai dengan padangan masyarakat.
"Ihh, Abi ini gak asik." Salma memberengut karena suaminya tidak bisa diajak ghibah.
"Ini anak-anak pada kemana sih?" rumah besar itu terasa sepi. Putranya sulung sudah dewasa, namun belum berencana menikah. Membuat Salma sedikit kesal pada putranya, padahal Salma sudah memberi kode keras agar putranya menikah.
"Biru kan di pesantren," sahut Ismail sambil menyeruput kopinya. "Bilal baru aja keluar tadi," Mail kembali meletakkan cangkir kopi itu diatas meja.
"Menurut Abi, gimana kalau kita melamar Hilya?" usulnya. Salma sangat tahu jika Hilya menyukai Biru.
"Melamar Hilya untuk siapa? Untuk Abi?" Mail langsung mendapat lemparan bantal kecil dari Salma, jangan lupa tatapan tajamnya.
"Jangan macam-macam Bi! Abi ini sudah tua! Bukannya banyak tobat malah mikirin daun muda!" ucap Salma ketus. Sedangkan Ismail hanya terkekeh pelan.
"Yang seharusnya banyak tobat itu Umi. Karena Umi masih sering ghibah," balas Ismail. "Lagi pula kenapa kita harus melamar Hilya?" bukan Mail tidak tahu maksud istrinya. Hanya saja, Biru sama sekali tidak pernah membicarakan tentang Hilya dan saat di tanya, kapan mau menikah? Biru hanya menjawab saat waktunya tiba.
"Abi ini selalu saja begitu. Memangnya Abi tidak tahu kalau Hilya itu suka sama Biru? Hilya itu calon menantu yang cocok untuk keluarga kita." Salma tersenyum mengingat sosok Hilya.
"Cantik, baik, sholehah, pinter, sopan, santun pokoknya paket komplit." puji Salma. "Dan yang pasti, Hilya itu sangat jelas bibit bebet dan bobotnya." sambung Salma, Mail hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Abi ihh!" kesal Salma karena Mail seolah tidak menanggapinya.
"Ya, Abi harus gimana? Umi tahu sendiri kalau Biru tidak pernah membicarakan tentang Hilya." kata Mail santai. Pria itu kembali menyeruput kopinya.
"Abi desak Biru dong. Bilal aja udah pingin nikah, masa iya Biru belum kepingin menikah?"
"Mungkin Biru belum menemukan tulang rusuknya," sahut Mail. "Pernikahan itu ibadah paling lama dan ujiannya datang dari berbagai arah secara tiba-tiba. Jadi, kita jangan mendesak Biru untuk segera menikah." ucap Mail menasehati istrinya.
"Jadi tahun ini Umi belum bisa punya menantu, dong. Padahal kan enak kalau punya menantu, bisa jadi teman ngobrol Umi." kata Salma lesu.
"Maksud Umi teman nge-ghibah?" tebak Mail sangat tahu bagaimana sifat istrinya.
"Ihhh... Abi gak seru!" Salma beranjak dari duduknya dan meninggalkan Mail.
"Mendidik anak mertua memang tidak mudah." gumam Mail melihat Salma masuk dalam kamar.
...
"Mas, aku mau nikah." ucap Bilal pada Biru. Dua bersaudara itu tengah duduk di halaman pesantren, di bawah pohon jambu.
"Udah ada calonnya?" tanya Biru. Bilal dan Biru hanya selisih satu tahun saja, karena dulu Salma termasuk kebobolan dan jadilah Bilal.
"Udah dong," sahut Bilal percaya diri.
"Ya udah, kalau gitu bilang sama Abi dan Umi." kata Biru sambil memperhatikan para santri yang sedang bersih-bersih, ada juga yang bermain dan belajar.
"Udah,"
"Lalu?"
Biru melirik Bilal karena adiknya itu tidak menjawab pertanyaannya. Pria berusia 25 tahun itu malah menatap lekat-lekat pada Biru.
"Ada masalah?" tanya Biru. Bilal mengangguk.
"Apa?
"Mas,"
"Aku?" Biru menunjuk dirinya sendiri, Bilal mengangguk cepat. "Kenapa aku jadi masalah?" bingung Biru.
"Umi melarang keras aku menikah, kalau Mas belum menikah. Jadi aku gak akan bisa menikah kalau Mas belum menikah," jelas Bilal. Biru tertawa pelan.
"Gak ada kayak gitu ya. Nanti Mas yang bilang sama Umi kalau kamu bisa menikah tanpa menunggu Mas menikah lebih dulu." kata Biru yakin. Namun Bilal menghela nafas berat. "Kanapa lagi?" tanya Biru.
"Mas gak akan bisa bujuk Umi. Bahkan Abi aja gak bisa bujuk, Umi." ucap Bilal.
Salma memang melarang keras Ismail untuk memberikan restu pada Bilal. Keputusannya sudah mutlak dan tidak bisa ditawar. Ismail sudah berusaha membujuk Salma, namun berujung perang dingin bahkan sampai pisah ranjang selama dua hari.
*
*
*
*
*
TBC
'Sekali lagi author ingatkan, kalau novel ini hanya bergenre religi, ya. Bukan murni novel religi, mohon maaf jika banyak kata atau konteks yang kurang tepat🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Bantu koreksi dari kolom komentar ✍🏻 salam hangat dan semoga menikmati alur ceritanya'