NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 29: KEGUGURAN

**[HOOK PEMBUKA - CHAOS DAN KEPANIKAN]**

"NONA BERTAHAN! AMBULANS SUDAH DALAM PERJALANAN!"

Suara Bi Sari bergema di mansion tapi terdengar jauh—seperti berada di ujung terowongan panjang—sementara Alviona melayang di antara sadar dan tidak sadar.

Dia merasakan tangan-tangan yang menyentuhnya—mencoba mengangkatnya, mencoba menghentikan pendarahan—tapi semua sentuhan itu terasa seperti mimpi buruk yang tidak bisa dia bangunkan.

Yang dia bisa fokus cuma satu hal:

Rasa sakit di perut.

Dan darah yang terus mengalir.

"Bayiku..." bisiknya lemah, hampir tidak terdengar. "Selamatkan... bayiku..."

"Ambulans masih 15 menit lagi! Ini terlalu lama!" teriak salah satu pelayan dengan panik.

Bi Sari menatap Alviona yang tergeletak dengan wajah pucat seperti mayat, darah yang terus mengalir membuat genangan yang makin besar. Setiap detik yang lewat adalah detik yang mendekatkan Alviona—dan bayinya—pada kematian.

"SAYA TELEPON TUAN DARYON!" Bi Sari berlari ke telepon lagi dengan tangan gemetar.

---

**[MEANWHILE - DI KANTOR DARYON]**

Di kantor Mandira Global lantai 25, Daryon duduk di ruang meeting dengan beberapa klien penting—presentasi proposal investasi yang sudah dijadwalkan berbulan-bulan lalu.

Ponselnya bergetar di meja—tapi dia ignore. Ini meeting penting. Gangguan tidak diterima.

Tapi ponsel bergetar lagi.

Dan lagi.

Dan lagi.

Velindra yang duduk di belakang sebagai notulen meeting melirik ponsel Daryon dengan was-was. Dia bisa lihat layar dari sudutnya—*"Bi Sari (Rumah)" calling... "Bi Sari (Rumah)" calling...*

Sesuatu tidak beres.

Bi Sari tidak akan telepon berkali-kali kalau bukan emergency.

Velindra berdiri pelan, membungkuk mendekati Daryon, berbisik sangat pelan: "Tuan, ada telepon urgent dari rumah..."

Daryon melirik dengan tatapan annoyed—jelas dia tidak suka diganggu—tapi melihat ekspresi khawatir di wajah Velindra, dia mengangkat ponsel.

"Permisi sebentar," ucapnya pada klien dengan senyum profesional, lalu berdiri dan keluar meeting room.

Begitu di luar, dia jawab dengan nada kesal: "Ada apa? Aku sedang meeting penting—"

"TUAN! NONA ALVIONA JATUH DARI TANGGA! PENDARAHAN HEBAT! DIA HAMIL, TUAN! BAYINYA—"

Dunia Daryon berhenti sedetik.

"Apa?"

"AMBULANS MASIH 15 MENIT! TAPI NONA ALVIONA TIDAK BISA TUNGGU LAMA! DARAHNYA TERLALU BANYAK! KUMOHON TUAN CEPAT PULANG—"

"Aku... aku di tengah meeting..." Jawaban itu keluar otomatis—karena otak Daryon masih belum fully process apa yang baru dia dengar.

*Alviona jatuh. Pendarahan. Bayi.*

"TUAN, INI EMERGENCY! NYAWA NONA ALVIONA DAN BAYI DALAM BAHAYA!"

Sesuatu di dada Daryon mencengkeram—sesuatu yang asing, yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Ketakutan?

Tidak. Bukan ketakutan.

Atau... iya?

"Telepon ambulans lagi! Suruh mereka cepat! Aku... aku akan—"

Sebelum dia selesai bicara, elevator di ujung koridor terbuka dan seseorang berlari keluar dengan napas tersengal.

Javindra.

Dengan kemeja kerja yang berantakan, dasi miring, wajah panik yang Daryon tidak pernah lihat sebelumnya di wajah sahabatnya yang biasanya tenang itu.

"DARYON!" teriak Javindra sambil berlari mendekati. "ALVIONA! ADA YANG TERJADI SAMA ALVIONA!"

Daryon membeku. "Kau... kau dari mana tau—"

"VELINDRA TELEPON AKU!" Javindra sudah sampai di depan Daryon, mencengkeram lengan Daryon dengan kuat. "Dia bilang Alviona jatuh dari tangga! Kita harus ke sana SEKARANG!"

"Tapi meeting—"

"MEETING BISA DITUNDA!" Javindra berteriak—untuk pertama kalinya Daryon melihat Javindra benar-benar marah. "INI NYAWA, DARYON! NYAWA ISTRIMU DAN ANAKMU!"

Kata-kata itu seperti tamparan keras.

Daryon menatap Javindra—melihat kepanikan yang genuine, yang berbeda dari kepanikan bisnis biasa.

Dan sesuatu di dalam Daryon... bergeser.

"Velindra!" teriaknya ke arah ruang meeting. Velindra langsung keluar. "Batalkan meeting! Bilang ada emergency keluarga!"

"Baik, Tuan!"

Daryon dan Javindra langsung berlari ke elevator.

---

**[DI MANSION - DETIK-DETIK KRITIS]**

Lima belas menit terasa seperti lima jam.

Bi Sari berlutut di samping Alviona, menekan handuk ke area pendarahan dengan tangan gemetar—tapi darah terus merembes, terus mengalir.

"Nona, bertahanlah... kumohon bertahanlah..." Bi Sari menangis sambil terus menekan.

Alviona sudah tidak sadarkan diri sepenuhnya—mata terbuka tapi tidak fokus, napas pendek dan lemah, bibir mulai membiru.

Tanda-tanda shock.

Tanda-tanda tubuh mulai menyerah.

Dan kemudian—suara mobil yang berhenti mendadak di depan mansion.

Bukan ambulans.

Mobil Javindra.

Pintu mobil dibanting terbuka, Javindra berlari masuk dengan Daryon di belakangnya.

Begitu Javindra melihat Alviona tergeletak di lantai dengan genangan darah, wajahnya menjadi putih pucat.

"Ya Tuhan..." bisiknya, langsung berlutut di samping Alviona.

Daryon berdiri terpaku beberapa meter di belakang—matanya menatap pemandangan di depannya dengan ekspresi yang... sulit dibaca.

Shock? Takut? Atau... mati rasa?

"KITA TIDAK BISA TUNGGU AMBULANS!" Javindra mengambil keputusan cepat. "Aku bawa dia ke rumah sakit SEKARANG!"

"Tapi pendarahannya—"

"TIDAK ADA WAKTU!" Javindra memotong Bi Sari, lalu dengan sangat hati-hati, dia mengangkat tubuh Alviona—satu tangan di bawah lutut, satu tangan di bawah punggung.

Alviona mengerang lemah—suara kesakitan yang memilukan.

"Maaf... maaf..." bisik Javindra sambil bergegas keluar.

Daryon masih berdiri di situ—seperti patung—sampai Javindra berteriak dari pintu:

"DARYON! MOBIL! SEKARANG!"

Daryon tersadar, ikut berlari.

---

**[PERJALANAN KE RUMAH SAKIT - RACE AGAINST TIME]**

Javindra menyetir dengan kecepatan gila—melanggar lampu merah, memotong jalur, klakson berbunyi di mana-mana—tapi dia tidak peduli.

Yang dia peduli cuma satu: sampai ke rumah sakit sebelum terlambat.

Di kursi belakang, Alviona tergeletak dengan kepala di pangkuan Daryon—posisi yang ironis, mengingat ini pertama kalinya Daryon "memeluk" istrinya dengan cara yang protective.

Tapi Alviona tidak sadar untuk menyadari ironi itu.

Dia hanya... melayang di antara sadar dan tidak sadar, dengan darah yang terus mengalir, membuat kursi belakang mobil Javindra basah.

"Bertahanlah... bertahanlah..." Daryon berbisik—dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu di suaranya yang berbeda.

Sesuatu yang terdengar seperti... ketakutan.

Tangannya—tanpa disadari—mengelus rambut Alviona yang basah karena keringat dingin, gerakan yang sangat gentle, sangat berbeda dari semua sentuhan sebelumnya.

"Aku tidak... aku tidak akan biarkan kau mati..." bisiknya lagi, suaranya bergetar.

Kenapa dia bilang itu?

Kenapa sekarang dia peduli?

Dia sendiri tidak tahu.

Yang dia tahu cuma... melihat Alviona seperti ini—tergeletak dengan darah dimana-mana—membuat sesuatu di dadanya terasa... sakit.

---

**[DI RUMAH SAKIT - PERJUANGAN MEDIS]**

"IGD! PASIEN IBU HAMIL 16 MINGGU! JATUH DARI TANGGA! PENDARAHAN HEBAT! SHOCK!"

Javindra berteriak begitu sampai di pintu IGD, dengan Alviona digendong di tangannya yang basah oleh darah.

Tim medis langsung bergerak—brankar didorong keluar, perawat berlari, dokter jaga langsung assess situasi dengan wajah serius.

"CEPAT MASUKKAN KE RUANG TRAUMA! PANGGIL DOKTER OBGYN! SIAPKAN TRANSFUSI DARAH!"

Alviona dipindahkan ke brankar—tubuhnya lemas seperti boneka.

"BP 80/50! Turun terus! PASANG INFUS SEKARANG!"

"Hitung detak jantung janin—"

"Dokter, saya tidak mendeteksi—"

"COBA LAGI!"

Chaos terorganisir terjadi—perawat memasang infus, dokter memeriksa pendarahan, mesin monitor berbunyi dengan alarm yang menusuk telinga.

Javindra dan Daryon berdiri di luar ruang trauma—keduanya dengan kemeja berlumuran darah Alviona—watching through the glass window dengan ekspresi yang berbeda.

Javindra: wajah penuh kekhawatiran yang genuine, tangan mengepal erat, bibir bergetar seperti menahan emosi.

Daryon: wajah... blank. Tapi mata tidak bisa lepas dari pemandangan di dalam. Dan tangannya gemetar.

---

**[DI RUANG OPERASI - MOMENT YANG MENGHANCURKAN]**

Tiga puluh menit kemudian, Alviona dipindahkan ke ruang operasi darurat.

Dokter Obgyn—Dr. Maya, wanita 40-an dengan pengalaman puluhan tahun—masuk dengan wajah yang sudah mengatakan segalanya bahkan sebelum dia mulai bicara.

"Keluarga pasien Alviona Prasetya?"

Javindra dan Daryon langsung berdiri.

"Kondisi pasien kritis. Pendarahan karena placental abruption—plasenta lepas dari dinding rahim akibat trauma benturan keras. Kami akan berusaha menyelamatkan bayi, tapi dengan kondisi ini..."

Dr. Maya tidak menyelesaikan kalimat, tapi implikasinya jelas.

Chances sangat kecil.

"Lakukan apapun!" Javindra langsung bersuara. "Apapun untuk selamatkan keduanya!"

Dr. Maya mengangguk dan masuk ke ruang operasi.

---

Satu jam berlalu.

Satu jam yang terasa seperti satu tahun.

Javindra berjalan bolak-balik dengan gelisah. Daryon duduk dengan kepala di tangan, tidak bergerak, seperti patung.

Dan kemudian—

Pintu ruang operasi terbuka.

Dr. Maya keluar dengan masker bedah masih terpasang, mata berkaca-kaca.

Javindra dan Daryon langsung berdiri.

Dr. Maya melepas maskernya pelan, mengambil napas dalam, dan menatap mereka dengan tatapan yang penuh empati tapi juga... kesedihan yang dalam.

"Pasien Alviona... kondisinya stabil. Pendarahan sudah dihentikan. Dia akan survive."

Relief mulai muncul di wajah Javindra—

"Tapi..." Dr. Maya melanjutkan, suaranya bergetar sedikit.

Dan kata "tapi" itu membuat relief itu langsung menguap.

"Bayinya..."

Dr. Maya menutup mata sebentar, mengambil napas lagi.

"Maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi trauma terlalu besar. Detak jantung janin sudah berhenti sejak pasien sampai di rumah sakit. Kami tidak bisa menyelamatkannya."

Keheningan.

Keheningan yang mencekik.

"Bayi Anda tidak tertolong. Saya... turut berduka."

Kata-kata itu jatuh seperti bom.

Javindra menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar—entah menahan tangis atau amarah atau keduanya.

Daryon...

Daryon tidak bergerak.

Hanya menatap Dr. Maya dengan tatapan kosong.

"Bayi... tidak tertolong?" ulangnya pelan, seperti otaknya tidak bisa process informasi itu.

"Ya, Tuan. Saya turut berduka. Ini... ini kehilangan yang sangat berat."

Daryon duduk kembali perlahan—gerakan mechanical, tanpa emosi yang terlihat di wajah.

Tapi tangannya... tangannya mengepal sangat erat. Kuku menancap di telapak tangan sampai berdarah.

---

**[ALVIONA TERBANGUN - MOMENT PALING MENGHANCURKAN]**

Beberapa jam kemudian, Alviona perlahan membuka mata.

Pandangan blur. Cahaya putih yang menyilaukan. Bau antiseptik yang menyengat.

*Rumah sakit.*

Dia mencoba bergerak—tapi tubuhnya terasa berat, sakit di mana-mana.

Dan kemudian... dia ingat.

Tangga.

Jatuh.

Darah.

"BAYIKU!"

Tangannya langsung melayang ke perut dengan gerakan panik—

Dan merasakan...

Kosong.

Perut yang datar.

Terlalu datar.

Tidak ada lagi bump kecil yang kemarin masih ada.

"Tidak... tidak..." Suaranya keluar parau, panik.

Dia meraba-raba perutnya dengan desperate—mencari bump yang seharusnya ada, mencari tanda bahwa bayinya masih di sana—

Tapi tidak ada.

"TIDAK! BAYIKU MANA?! BAYIKU—"

Pintu kamar terbuka, seorang perawat masuk dengan cepat.

"Nyonya, tenang... Nyonya baru selesai operasi—"

"BAYIKU! DIMANA BAYIKU?!" Alviona berteriak histeris, air mata langsung mengalir deras.

Perawat menatapnya dengan tatapan yang penuh empati tapi juga... kesedihan.

"Nyonya... Dokter akan menjelaskan—"

"TIDAK! KATAKAN SEKARANG! BAYIKU BAIK-BAIK SAJA KAN?! KATAKAN DIA BAIK-BAIK SAJA!"

Perawat menutup mata sebentar, mengambil napas.

"Nyonya... saya turut berduka... bayi Nyonya... tidak tertolong."

Waktu berhenti.

Dunia Alviona runtuh.

Tidak ada suara.

Tidak ada napas.

Tidak ada... apa-apa.

Hanya kata-kata itu yang bergema di kepalanya:

*Bayi Nyonya tidak tertolong.*

*Tidak tertolong.*

*Tidak tertolong.*

"Tidak..." Bisikan yang hampir tidak terdengar keluar dari bibirnya.

"Nyonya, saya mengerti ini sangat berat—"

"TIDAK! TIDAK! TIDAK!"

Alviona berteriak—jeritan yang memilukan, yang mencabik jiwa siapapun yang mendengar.

"AKU TIDAK PERCAYA! BOHONG! KAU BOHONG! BAYIKU MASIH HIDUP! DIA MASIH HIDUP! AKU BISA MERASAKAN DIA TADI! DIA BERGERAK! DIA—"

Tubuhnya mencoba bangun—mencoba turun dari ranjang—tapi infus dan kabel monitor membuatnya terjerat, dan rasa sakit dari operasi membuat dia jatuh kembali.

"BAWA AKU KE BAYIKU! KUMOHON! AKU MAU LIHAT DIA! AKU MAU GENDONG DIA! KUMOHON!"

Perawat mencoba menenangkan tapi Alviona tidak bisa ditenangkan.

Dia terus berteriak, terus menangis, terus menolak realitas yang menghancurkan ini.

Sampai dokter datang dengan syringe sedative.

"Ini akan membantunya tenang..."

Jarum masuk ke infus.

Alviona masih berteriak—tapi suaranya mulai melemah.

"Bayi... ku... bayi... ku..."

Matanya mulai berat.

Tapi sebelum gelap total mengambil alih, air mata terakhir jatuh dari sudut matanya, dan bibirnya bergetar mengucapkan satu kalimat:

"Maafkan... ibu..."

Dan dia kehilangan kesadaran lagi.

Tapi kali ini bukan karena shock atau pendarahan.

Kali ini karena sedative yang memaksanya tidur.

Karena realitas terlalu menyakitkan untuk dihadapi dalam keadaan sadar.

---

**Ketika Alviona terbangun lagi nanti... dia akan merasakan kekosongan yang tidak hanya di perutnya. Tapi kekosongan di seluruh hidupnya. Kekosongan yang tidak akan pernah bisa diisi lagi. Dan pertanyaannya: Apakah dia masih bisa bertahan setelah kehilangan satu-satunya alasan dia bertahan selama ini?**

---

**[ END OF BAB 29 ]**

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!