NovelToon NovelToon
LUKA YANG KEMBALI

LUKA YANG KEMBALI

Status: tamat
Genre:Teen Angst / CEO / Action / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Tamat
Popularitas:112
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 22: DI AMBANG KEMATIAN

Ruang operasi RS Premier Jakarta menyala terang jam dua pagi. Julian duduk di kursi tunggu dengan kepala di tangan, tubuhnya masih penuh darah—darahnya sendiri dan darah Laura yang udah mengering di baju dan tangannya.

Perawat udah beberapa kali coba bujuk dia untuk ke ruang perawatan, bersihin luka-lukanya yang lumayan parah. Tapi Julian gak mau gerak. Gak bisa. Kakinya seperti terpaku di lantai di luar ruang operasi dimana Laura sedang berjuang antara hidup dan mati.

"Boss, lo harus ke UGD. Luka di lengan lo butuh jahitan." Adrian berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Nanti," jawab Julian dengan suara serak. Dia gak ingat kapan terakhir dia minum. Tenggorokannya kering banget.

"Julian."

Suara itu bikin Julian mengangkat kepala. Felix—sahabatnya, dokter bedah terbaik di rumah sakit ini—berdiri di depannya dengan scrub hijau operasi, masker masih nempel di leher.

"Felix—" Julian langsung berdiri, tubuhnya goyah tapi dipaksa tegak. "Laura—gimana Laura—"

"Duduk dulu," potong Felix dengan lembut tapi tegas. "Lo mau denger kabar atau lo mau pingsan duluan?"

Julian duduk dengan paksa, napasnya tersengal. "Cerita."

Felix duduk di samping Julian, mengambil napas dalam sebelum bicara. "Laura mengalami trauma kepala berat. Ada pendarahan internal di otak yang harus kita hentiin. Operasinya—" dia berhenti sejenak, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Operasinya berhasil. Kita udah hentiin pendarahan. Tapi—"

"Tapi apa?" Jantung Julian rasanya mau copot.

"Tapi dia belum sadar. Otaknya bengkak parah karena benturan. Kita kasih obat buat kurangin bengkak, tapi sekarang semua tergantung pada tubuh Laura sendiri. Dia harus fight. Harus mau bangun."

Julian merasakan dunianya runtuh. "Maksud lo—dia koma?"

"Secara teknis, yes. Koma medis yang disebabkan trauma." Felix menatap Julian dengan tatapan yang penuh empati. "Julian, aku gak bisa kasih lo jaminan. Kondisinya kritis. Dua puluh empat sampai tujuh puluh dua jam ke depan adalah masa krusial. Kalau dia bisa melewati itu—"

"Kalau dia gak bisa?" bisik Julian, suaranya nyaris gak keluar.

Felix diam. Dan keheningan itu lebih menakutkan dari kata-kata apapun.

Julian menutup matanya, tangan mengepal dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih. Ini gak nyata. Ini pasti mimpi buruk. Laura gak mungkin—dia gak bisa—

"Aku mau lihat dia," ujarnya tiba-tiba, suaranya lebih keras sekarang. "Sekarang."

"Julian, dia baru keluar dari operasi. Dia—"

"SEKARANG, Felix!" Julian berteriak, semua emosi yang dia tahan meledak. "Aku harus lihat dia! Aku harus tau dia masih—"

Suaranya pecah. Tubuhnya mulai gemetar, bukan karena luka fisik tapi karena sesuatu di dalam dirinya yang hancur total.

Felix memeluk sahabatnya yang collapse itu, membiarkan Julian gemetar di pelukannya. "Okay. Okay, bro. Aku akan bawa lo ke dia. Tapi lo harus tenang. Laura butuh lo yang kuat sekarang, bukan lo yang hancur."

Julian menarik napas dalam, berusaha ngumpulin dirinya yang berserakan. "Aku—aku bisa. Aku harus bisa."

Felix mengantar Julian ke ICU lantai empat. Lewat koridor yang dingin dan steril, melewati pintu-pintu kamar pasien lain yang dalam kondisi kritis. Dan di ujung koridor, kamar dengan kaca besar yang memungkinkan pengawasan dari luar—

Laura.

Julian berhenti di depan kaca itu, napasnya tertahan.

Laura terbaring di ranjang rumah sakit yang dikelilingi mesin-mesin. Ventilator membantu napasnya. Monitor jantung berbunyi dengan ritme yang teratur tapi lemah. Kepala nya diperban putih besar. Wajahnya pucat—pucat banget—sampai hampir satu warna dengan bantal.

"Aku udah pasang ventilator sementara untuk bantu paru-parunya," jelas Felix pelan. "Tekanan darahnya masih rendah makanya ada beberapa selang infus buat stabilin. Monitor yang bunyi bip itu untuk track aktivitas otaknya."

Julian gak dengerin penjelasan teknis. Dia cuma natap Laura lewat kaca itu, merasakan dadanya sesak dengan cara yang gak pernah dia rasain sebelumnya—bahkan gak pas insiden lima tahun lalu.

"Aku bisa masuk?" tanyanya dengan suara parau.

"Bisa. Tapi lo harus pakai baju steril dan masker. ICU punya protokol ketat." Felix menunjuk ruang ganti di samping. "Ganti di situ. Aku akan tunggu."

Lima menit kemudian, Julian—dengan scrub biru dan masker—masuk ke kamar ICU Laura. Bunyi mesin-mesin yang berisik rasanya menghantui, tapi Julian maksa dirinya untuk fokus pada Laura.

Dia duduk di kursi samping tempat tidur, menatap wajah Laura yang damai dalam koma. Tangannya—yang tadi gemetar—perlahan mengulurkan, menyentuh jari-jari Laura yang dingin.

"Hei," bisiknya, suaranya bergetar. "Ini aku. Julian. Aku—aku ada di sini."

Gak ada respons. Cuma bunyi mesin ventilator yang teratur, bunyi monitor jantung yang lemah.

"Dokter bilang lo harus fight. Harus mau bangun." Air mata mulai jatuh dari mata Julian meski dia coba tahan. "Dan aku tau lo pasti lelah. Pasti pengen istirahat. Tapi kumohon—kumohon jangan istirahat terlalu lama. Karena aku—"

Suaranya pecah total. Dia memegang tangan Laura dengan kedua tangannya, membawa tangan itu ke dahinya yang tertunduk.

"Karena aku gak bisa kehilangan lo," bisiknya di antara isakannya yang dia coba tahan. "Gak sekarang. Gak setelah aku baru nyadar gimana pentingnya lo buat aku."

Pintu ICU terbuka sedikit. Felix ngintip masuk, lalu berbisik, "Julian, ada yang mau ketemu lo. Nia."

Julian mengusap matanya dengan cepat, tapi dia gak mau lepas tangan Laura. "Suruh dia masuk."

Nia masuk—matanya merah dan bengkak, jelas habis nangis. Begitu lihat Laura di ranjitan itu, dengan semua selang dan mesin, Nia langsung nangis lagi.

"Laura," bisiknya, berjalan ke sisi lain tempat tidur, memegang tangan Laura yang satunya. "Sahabatku—kamu—kenapa—"

Dia gak bisa nyelesain kalimat, cuma nangis diam-diam.

Julian dan Nia duduk di dua sisi Laura, masing-masing memegang tangannya, masing-masing berdoa dengan cara mereka sendiri.

"Dia orang yang paling kuat yang aku kenal," ujar Nia akhirnya, suaranya bergetar. "Dia bertahan sepuluh tahun mencintai lo dalam diam. Dia pasti bisa bertahan ini juga."

Kata-kata Nia menusuk jantung Julian. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun Laura mencintainya, dan dia terlalu bodoh untuk nyadar.

"Aku harus bilang sesuatu," bisik Julian, lebih pada dirinya sendiri. "Gak peduli dia bisa dengar atau gak. Aku harus bilang."

Nia menatapnya dengan mata yang masih berkaca-kaca, lalu mengangguk. Dia mengusap tangan Laura dengan lembut, lalu berdiri. "Aku akan tunggu di luar. Bicara aja sama dia. Siapa tau—siapa tau dia bisa dengar."

Setelah Nia keluar, Julian sendirian dengan Laura dan bunyi mesin-mesin yang mengisi keheningan.

Dia menatap wajah Laura yang damai itu, lalu mulai bicara—bukan dengan suara keras, tapi dengan bisikan yang penuh emosi.

"Lo tau gak, Laura?" bisiknya. "Aku—aku gak pernah percaya Tuhan. Setelah insiden lima tahun lalu, setelah lihat dua belas saudaraku mati di depan mata, aku berhenti percaya ada yang namanya kekuatan yang lebih besar."

Dia berhenti, menarik napas yang bergetar.

"Tapi malam ini—malam ini aku pengen percaya. Aku harus percaya. Karena kalau gak ada Tuhan, terus sama siapa aku harus minta tolong untuk selamatin lo?"

Air matanya jatuh lagi, menetes ke tangan Laura yang dia pegang.

"Jadi aku akan coba," lanjutnya, suaranya nyaris gak terdengar. "Aku akan coba berdoa. Meski aku gak tau caranya. Meski aku gak yakin ada yang dengar. Tapi demi lo—aku akan coba."

Julian menutup matanya, kepala tertunduk, tangan memegang tangan Laura dengan erat.

Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Julian Mahardika berdoa.

Gak ada kata-kata indah. Gak ada doa yang terstruktur. Cuma permintaan desperate dari pria yang udah gak punya harapan lain.

"Kalau ada yang dengar ini," bisiknya, "kumohon. Selamatin dia. Ambil apa aja dari aku—karir, kesuksesan, bahkan nyawa kalau perlu. Tapi jangan ambil dia. Jangan ambil Laura dari aku. Dia—dia orang baik. Dia gak pantas menderita karena kesalahan aku."

Dia membuka matanya, menatap wajah Laura dengan tatapan yang hancur.

"Kumohon," bisiknya sekali lagi. "Kumohon."

***

Di luar ICU, Felix dan Nia berdiri di koridor, menatap lewat jendela kaca ke Julian yang duduk menunduk di samping tempat tidur Laura.

"Aku gak pernah lihat dia seperti ini," ujar Felix pelan. "Bahkan pas insiden dulu, bahkan pas Maudy ninggalin, Julian gak pernah se-hancur ini."

"Karena Laura beda," jawab Nia, air matanya masih mengalir. "Laura bukan cuma orang yang dia cintai. Laura adalah orang yang ngajarin dia gimana caranya mencintai lagi."

Felix menatap Nia, lalu kembali ke Julian. "Lo pikir dia akan bisa survive ini? Kalau—kalau Laura gak bangun?"

Nia diam lama sebelum jawab. "Aku gak tau. Tapi aku tau satu hal—kalau Laura meninggal, Julian akan mati juga. Mungkin gak secara fisik. Tapi bagian dari dirinya yang baru Laura hidupkan lagi—bagian itu akan mati."

Mereka berdiri dalam keheningan, menyaksikan Julian yang masih menunduk, masih memegang tangan Laura, masih berdoa dengan cara yang canggung tapi tulus.

Dan di dalam ruangan itu, mesin-mesin terus berbunyi—bunyi yang menandakan Laura masih bertahan, masih berjuang, masih ada di dunia ini meski di ambang antara hidup dan mati.

---

#

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!