Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3, Jamuan para selir dan tatapan kaisar
Suara musik lembut dari alat petik mengalun di aula kecil istana timur.
Udara dipenuhi aroma melati dan teh mawar.
Di tengah ruangan, meja panjang berlapis sutra merah muda telah disiapkan untuk jamuan pagi para wanita istana.
Permaisuri Elara melangkah perlahan, langkahnya tenang namun pasti. Gaunnya berwarna putih gading, tanpa hiasan mencolok. Sederhana, tapi setiap gerakannya memancarkan wibawa.
Begitu ia muncul, semua kepala menunduk.
“Salam hormat kepada Yang Mulia Permaisuri.”
Elara hanya mengangguk kecil. “Bangun.”
Matanya menyapu sekeliling. Ada empat wanita di sana tiga selir berpakaian indah, dan satu di antaranya duduk di posisi kehormatan kedua.
Lady Serene Valen.
Wajahnya cantik sempurna, seperti porselen.
Matanya lembut, senyumnya manis tapi bagi Aira, yang bertahun-tahun membaca ekspresi orang sebelum memukul mereka di ring, keindahan itu seperti pisau yang disembunyikan di balik bunga.
Ah, jadi ini musuh utamaku, batinnya dingin.
Lady Serene berdiri dan menunduk sedikit. “Kehormatan besar bagi saya bisa makan pagi bersama Yang Mulia. Kami semua senang akhirnya Anda berkenan hadir.”
Nada suaranya manis, tapi mengandung racun halus.
Di novel, inilah awal dari keruntuhan permaisuri jamuan pertama yang membuat semua orang menertawakannya karena kebodohannya dalam berbicara.
Tapi kali ini, Elara bukan wanita yang sama.
“Senang akhirnya aku sempat datang,” jawab Elara datar. Ia duduk di kursi utama, pelan tapi mantap. “Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk memikirkan hal-hal penting. Menjaga kerajaan, misalnya.”
Senyum Serene menegang sepersekian detik, tapi cepat pulih.
“Ah, betapa mulianya hati Yang Mulia. Tapi bukankah urusan kerajaan sudah ada di tangan Kaisar Kaelith?”
Elara menatapnya lama, kemudian tersenyum.
“Benar. Tapi bukankah seorang istri seharusnya tahu apa yang dikerjakan suaminya? Agar jika sesuatu terjadi… ia tahu siapa yang harus diselamatkan lebih dulu.”
Sunyi.
Bahkan para pelayan menunduk lebih dalam, pura-pura tidak mendengar.
Serene tersenyum kaku, memutar cangkir tehnya pelan. “Tentu saja. Saya tak pernah memikirkan sejauh itu.”
“Wajar,” kata Elara lembut. “Beberapa orang hanya tahu menikmati, bukan memimpin.”
Kalimat itu jatuh seperti belati dalam keheningan.
Tiga selir lain menahan napas. Mata mereka berpindah-pindah antara dua wanita itu, takut sekaligus terpesona.
Aira meneguk tehnya perlahan, membiarkan keheningan bekerja untuknya.
Ia tak butuh teriak untuk menang diamnya sudah cukup menekan seluruh ruangan.
Setelah beberapa saat, Serene tersenyum lagi, kali ini dengan nada lebih hati-hati.
“Yang Mulia memang memiliki cara bicara yang… berbeda dari biasanya.”
Elara menatapnya tanpa berkedip. “Orang berubah, Lady Serene. Kadang, hanya butuh satu malam untuk membuka mata.”
Senyum Serene menipis. “Mungkin… tapi perubahan terlalu cepat biasanya tak bertahan lama.”
Elara meletakkan cangkirnya dengan tenang, tapi matanya berkilat.
“Kalau itu ancaman, jangan bungkus dengan kiasan. Aku tidak suka teka-teki di meja makan.”
Keheningan turun lagi. Kali ini, bahkan musik berhenti.
Pelayan di ujung ruangan menjatuhkan sendok karena gugup, suaranya menggema keras di antara ketegangan yang padat.
Elara bangkit dari kursinya, menatap satu per satu wanita di sekitarnya.
Tatapannya dingin, tapi bibirnya tersenyum.
“Mulai hari ini, jangan lagi anggap aku sekadar hiasan di istana ini.”
“Aku mungkin tampak tenang, tapi aku tidak diciptakan untuk diam.”
Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah keluar.
Langkahnya pelan, tapi setiap hentakan terasa seperti suara peringatan.
Ketika pintu besar tertutup di belakangnya, Lady Serene masih duduk dengan tangan yang menggenggam erat cangkir teh hingga jari-jarinya memutih.
“Dia… bukan Elara yang dulu,” bisiknya lirih.
Sementara itu, di paviliun utama, Kaisar Kaelith Raen baru saja mendengar laporan dari kasim pribadinya.
“Yang Mulia, Permaisuri menghadiri jamuan pagi. Tampaknya… terjadi sedikit ketegangan dengan Selir Valen.”
Kaelith tidak menatap. Ia hanya menutup dokumen di tangannya.
“Sedikit ketegangan?” katanya pelan. “Itu hal baru. Biasanya dia yang ditekan.”
Kasim itu ragu-ragu. “Menurut para pelayan, kini sebaliknya, Yang Mulia.”
Diam.
Lalu Kaelith tertawa kecil—dingin, nyaris tanpa suara.
“Jadi, singa akhirnya keluar dari kandangnya.”
Matanya menatap jauh ke luar jendela, ke arah istana timur tempat Elara berada.
“Menarik, Permaisuri,” gumamnya rendah. “Kita lihat… berapa lama kau bisa membuatku menoleh.”
Udara sore di istana utama terasa lebih dingin dari biasanya.
Langit berwarna keperakan, dan sinar matahari yang menembus jendela kaca panjang hanya menyentuh sebagian ruangan singgasana.
Permaisuri Elara berjalan perlahan melewati koridor marmer menuju aula utama. Setiap langkahnya menggema lembut, tapi ritmenya tegas tak ada tanda ragu.
Pelayan di belakangnya menunduk dalam-dalam, takut bahkan untuk bernafas terlalu keras.
Hari ini, ia diundang atau lebih tepatnya, dipanggil oleh Kaisar Kaelith Raen.
Setelah tiga tahun menikah, inilah pertama kalinya sang kaisar memintanya datang secara pribadi.
Aira menarik napas panjang.
“Jadi akhirnya, si penguasa dingin itu penasaran juga,” gumamnya dalam hati.
Dua penjaga membuka pintu besar berlapis emas.
Cahaya matahari yang memudar jatuh tepat di atas takhta, di mana Kaelith duduk dalam diam.
Ia mengenakan jubah hitam kebesaran, sederhana tapi penuh wibawa. Tubuh tegap, bahu lebar, dan mata kelam yang seolah mampu membaca isi kepala siapa pun yang berani menatapnya.
Namun Elara bukan wanita yang mudah goyah oleh pandangan siapa pun.
Ia melangkah maju.
Kain putih gaunnya bergeser di lantai batu seperti ombak tenang yang menutupi badai di bawahnya.
Ia berhenti beberapa langkah dari tangga takhta dan menundukkan kepala seperlunya. Tidak terlalu dalam, tidak terlalu sopan.
Sekadar cukup.
“Permaisuri Elara menghadap,” katanya pelan tapi jelas.
Kaelith menatapnya lama tanpa bicara.
Tatapan itu menusuk, tapi juga mengamati seperti seorang prajurit yang menilai lawannya sebelum duel.
Lalu perlahan, bibirnya bergerak.
>“Kau berubah.”
Elara mengangkat kepalanya.
“Mungkin.”
Ia tersenyum tipis. “Tapi mungkin juga Anda yang baru melihat dengan benar.”
Kaelith mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Berani sekali kau bicara begitu pada Kaisarmu.”
“Berani?” Elara menatap balik. “Saya hanya jujur, Yang Mulia. Atau mungkin, di istana ini, kejujuran dianggap bentuk keberanian?”
Suara pelayan yang berdiri di sudut ruangan terdengar tercekat.
Kaisar tak langsung menjawab. Ia turun dari takhta, langkahnya lambat tapi berwibawa.
Sepasang mata kelam itu kini sejajar dengan mata Elara.
“Aku tak ingat pernah meminta permaisuriku berbicara dengan tajam,” katanya datar.
Elara tersenyum lembut, tapi sorot matanya tak gentar.
“Saya juga tak ingat pernah dinikahi hanya untuk diam.”
Keheningan yang panjang turun.
Udara seakan berhenti bergerak. Bahkan suara burung di luar lenyap dari pendengaran.
Kaelith menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Tatapan itu bukan marah tapi penuh rasa ingin tahu.
Ada sesuatu di dalam Elara yang berbeda.
Cara berdirinya, cara ia menatap tanpa takut, dan nada suaranya yang seperti menantang namun tetap sopan.
Ia akhirnya tertawa kecil, samar, tapi nyata.
“Kau… menarik hari ini.”
“Sayangnya saya bukan hiburan, Yang Mulia.”
“Tapi kau membuatku ingin melihat lebih lama,” ujarnya tenang. “Itu sudah cukup jarang terjadi.”
Elara tidak tersenyum. Ia hanya menatap balik, dingin tapi tidak kasar.
Dalam hatinya, Aira menimbang-nimbang lelaki ini berbahaya.
Bukan hanya karena kekuasaannya, tapi karena matanya. Tatapan yang bisa membaca, tapi tak bisa ditebak.
Kaelith memutar cincin emas di jarinya, lalu berkata perlahan,
“Kau boleh pergi. Tapi lain kali, jika ingin menantangku… pastikan kau siap menerima akibatnya.”
Elara menunduk sedikit, matanya menatap tajam dari balik bulu mata panjangnya.
“Saya selalu siap, Yang Mulia. Bahkan sebelum Anda sempat memutuskan akibatnya.”
Ia berbalik, berjalan pergi tanpa menunggu izin lebih lanjut.
Langkahnya tetap tenang, tapi setiap hentakan sepatu di lantai batu terdengar seperti gema tantangan.
Kaelith berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu sampai pintu tertutup.
Beberapa detik kemudian, ia tersenyum kecil senyum yang hanya terlihat oleh dirinya sendiri.
“Dia bukan lagi Elara yang kutinggalkan tiga tahun lalu,” bisiknya pelan.
“Dan entah kenapa… aku ingin tahu apa yang membuatnya hidup kembali.”
Sementara itu, di koridor panjang menuju paviliun timur, Elara menggenggam ujung gaunnya, napasnya dalam dan teratur.
Ia tak memandang ke belakang, tapi di dalam dadanya, jantung berdetak cepat bukan karena takut, tapi karena adrenalin.
“Jadi ini kaisar yang membuatmu menangis sampai mati, Lian,” gumamnya lirih.
“Menarik… tapi belum cukup untuk membuatku berlutut.”
Ayok dukung aku agar si kaisar berlutut di kaki Elara(Aira Jung)