Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sesampainya di kantor, Vincent langsung tenggelam dalam rutinitasnya. Pria itu bergerak dengan aura tenang namun dingin, seolah setiap langkahnya telah diatur dengan presisi. Bisa dikatakan, dunia bisnis baik yang bersih maupun gelap semuanya berada di bawah kendali tangannya. Kekayaannya bukan sekadar angka, tetapi hasil dari jaringan kekuatan yang tersebar di mana-mana.
Louis, asistennya, masuk dengan langkah cepat dan wajah sedikit menegang.
“Tuan… buronan itu. Pria gila pengedar narkoba itu sudah tewas,” ucapnya formal namun terdengar lega.
Vincent bahkan tidak mengangkat wajahnya dari dokumen. “Ya. Mereka sudah menyingkirkan dia.” Suaranya datar, seolah kematian hanyalah laporan cuaca.
Sebelumnya, Vincent memang sengaja membocorkan informasi tentang si pengedar kepada negara. Begitu pria itu jadi buronan di mana-mana, kelompok lain bergerak menghabisinya. Bersih, cepat, tanpa perlu tangan Vincent ikut kotor langsung.
* * * *
Di tengah keramaian sebuah pusat kota, seorang pria tua berjalan perlahan sambil mencari makanan yang ingin ia beli. Gerakannya santai, namun matanya sesekali meneliti sekitar.
Tanpa disadari, seseorang mengikuti langkahnya dari belakang. Seorang pria misterius berpakaian kusut dan bermata liar bergerak cepat mengambil dompet dari saku celana pria tua itu.
Namun sang pria tua cukup peka. Hampir seketika ia menahan tangan pencopet itu. Pria misterius itu terkejut, lalu memberontak keras.
“Lepaskan, tua bangka!” geramnya.
“Kau mengambil dompetku,” jawab pria tua itu dengan suara tenang, walau cengkeramannya kuat.
Ketika pisau tampak di tangan si pencopet, para pejalan kaki langsung menjauh, enggan ikut campur. Situasi berubah menegangkan.
“Aku akan membunuhmu!” teriak pria itu sebelum mengayunkan pisau.
Pria tua itu sempat menghindar, namun tetap terkena sayatan panjang di lengannya.
“Argh!” desisnya menahan sakit.
Pisau itu kembali terangkat, lebih cepat. Namun sebelum mengenai tubuh rapuh pria tua
Bughh!
Sebuah tendangan keras menghantam tubuh pencopet itu hingga terpental cukup jauh.
Olivia muncul, napasnya sedikit memburu, mata membara penuh kemarahan dan kepanikan.
“Kakek! Apa kakek tidak apa-apa?!” serunya. “Kenapa kalian diam saja?! Cepat panggil ambulans!”
Para pejalan kaki yang tadi takut kini langsung bergerak mencari bantuan.
“Tidak apa-apa, Nak… terima kasih sudah membantu kakek,” ucap pria tua itu dengan senyuman kecil, meski darah mengalir dari lengannya.
Pencopet itu bangkit dan hendak kabur. Olivia hampir mengejarnya, tapi tangan keriput pria tua itu menahan lengan gadis itu.
“Tidak… biarkan saja,” ucapnya. “Bisakah kamu menemani kakek ke rumah sakit?”
“Tapi kek…” Olivia ragu, namun melihat luka itu, ia akhirnya mengangguk. “Baiklah. Aku akan menemani kakek.”
Ambulans datang, dan Olivia masuk untuk menemani pria tua itu yang rupanya berjalan sendirian.
Sesampainya di rumah sakit, serangkaian pemeriksaan dilakukan. Luka itu perlu dijahit, tetapi tidak parah sampai mengancam nyawa. Olivia tetap setia menemani dari awal hingga selesai.
“Bagaimana, Dok? Apakah kakek baik-baik saja?” tanya Olivia.
“Apakah Anda keluarganya?” tanya sang dokter.
“Benar, saya walinya,” jawab Olivia spontan tanpa ragu sedikit pun.
Pria tua itu tersenyum kecil… puas.
‘Akhirnya aku menemukannya,’ batinnya.
Ia memang sengaja berjalan di keramaian tadi, mengamati manusia mencari sosok yang layak untuk cucunya.
“Semua normal, nona,” jelas dokter. “Kakek hanya perlu menjaga luka jahitan dan banyak istirahat.”
“Syukurlah…” Olivia tersenyum lega.
“Ini berkat kamu,” ucap pria tua itu.
“Tidak, kek. Olivia hanya menolong karena kakek butuh bantuan.”
“Kalau kamu tidak muncul, mungkin kakek sudah dimakamkan tadi…” gumamnya.
“Kakek… jangan bicara begitu.” Olivia tampak tersentuh, bahkan sedikit sedih.
Pria tua itu menatapnya lama wajah cantik, penuh kepedulian, jujur, dan keberanian. Semakin kuat keyakinannya bahwa gadis ini sangat cocok untuk cucunya.
“Maaf, kek… kalau boleh tahu, apakah kakek tidak punya yang menjaga?” tanya Olivia pelan.
“Kenapa? Kamu mau pergi?” pria tua itu balik bertanya.
“Hehe iya kek. Aku mendapat panggilan dari kantor. Olivia sudah lama di luar. Apa kakek punya kerabat yang bisa menjemput?”
“Baiklah, kamu pergilah. Tapi boleh kakek tahu… kamu kerja di mana?”
“Oh, itu… Olivia bekerja di kantor pajak di pusat kota,” jawabnya sambil tersenyum manis.
“Baiklah. Terima kasih, Nak. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
“Apakah kakek yakin tidak masalah sendirian? Aku bisa tunggu sampai kerabat kakek datang.”
“Tidak, tidak. Kamu pergi saja. Kakek akan menelepon cucu kakek.”
Akhirnya Olivia berpamitan dan berlari keluar untuk mencari taksi. Setelah ia hilang dari pandangan
Pria tua itu tersenyum puas.
“Tidak sia-sia juga perjalananku tadi,” gumamnya.
Natan, asistennya, yang sedari tadi mengawasi, mendekat.
“Tuan, apa Anda benar-benar baik-baik saja?” tanya Natan cemas.
“Aku baik. Tapi katakan pada Vincent kalau aku masuk rumah sakit karena ditusuk pisau.”
Natan terkejut. “Tuan… apakah itu tidak masalah?”
“Katakan saja begitu. Dan bilang padanya kalau dia tidak datang… akan kuhajar dia.”
Natan hanya bisa mengangguk pasrah sebelum memindahkan tuannya ke ruang VVIP.
* * * *
Di kantor, Vincent sedang meneliti dokumen satu per satu. Kacamata bertengger di hidung mancungnya memberi kesan intelektual sekaligus mengintimidasi.
Tok… tok… tok…
“Maaf, Tuan,” Louis masuk terburu-buru. “Tuan besar… masuk rumah sakit.”
Vincent mendongak, tatapannya tajam. “Kenapa.”
“Kata Natan… beliau ditusuk pisau oleh copet.”
“Ck.” Vincent memutar bola mata. “Mana mungkin dia tidak bisa menghindar.”
Benar di masa mudanya, kakeknya adalah atlet bela diri yang sangat disegani. Fisiknya masih jauh dari kata lemah.
“Mungkin saja beliau sedang tidak enak badan sehingga lengah… Tuan besar bilang Anda harus datang sekarang.”
Vincent mendesah pelan, geli sendiri. “Siapkan mobil.”
Sesampainya di rumah sakit, Natan membawa Vincent ke ruang VIP.
“Ck!! Datang juga kamu!” marah kakeknya.
Vincent duduk santai. “Parah?” tanyanya dingin.
“Kamu lihat sendiri!” pria tua itu menunjukkan perban.
Vincent menyipitkan mata. “Tidak mungkin kakek tidak bisa menghindari hal sekecil ini.”
“Apa kau kira aku sehat terus?! Aku sudah tua, sialan!” bantah pria tua itu. Padahal sebenarnya dia masih cukup kuat.
“Oh baiklah. Aku lupa kakek sudah sangat tua,” sahut Vincent datar.
“Sialan kau! Kalau bukan karena wanita itu, mungkin aku sudah mati!”
Vincent lagi-lagi memutar mata.
“Kau harus berterima kasih padanya. Kenali dia lebih dalam. Itu perintah.”
Vincent langsung curiga. “Apa ini rencana kakek?”
“Apa kau gila?! Tidak ada rencana apa pun!”
“Louis, cari wanita itu dan kirim sejumlah uang,” ucap Vincent.
Kakeknya langsung naik pitam. “Hei! Aku mau kau sendiri yang menemui dia! Kenali dia! Ajak dia menikah kalau bisa!”
“Astaga, kek… aku sibuk. Tidak bisakah topik ini”
“Kau akan menyesal kalau tidak. Dan umurku tidak panjang!”
“Kakek jangan bicara mati,” balas Vincent tanpa ekspresi.
“Keluarkan dia dari sini!” teriak pria tua itu. “Dan ingat! Kalau kau tidak menuruti perintahku, kutarik semua saham dan warisanmu!”
Vincent terdiam. Ia tahu ancaman itu bukan omong kosong.
“…Baiklah. Akan kulakukan,” ujarnya dingin.
Mereka keluar menuju mobil.
“Cari wanita yang dimaksud kakek,” ucap Vincent.
Louis terkekeh. “Takut warisan hilang?”
“Aku tahu kakek tidak bercanda,” jawab Vincent datar.