NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:395
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sketsa yang hilang

Malam turun perlahan di kawasan elit Bandung utara. Di balik dinding kaca tinggi rumah keluarga Wiradiredja, suasana tampak tenang—terlalu tenang bahkan, hingga detik jam dinding terdengar jelas bergema di ruang tamu yang luas.

Mentari duduk di meja belajar sekaligus meja kerjanya, di dalam kamar yang lebih mirip studio kecil. Kertas-kertas sketsa berserakan di lantai, beberapa di antaranya berisi rancangan gaun, potongan kain, dan warna-warna lembut yang ia padu dengan pensil warna favoritnya.

Namun malam ini, ada sesuatu yang terasa janggal.

Ia baru saja selesai merapikan berkas tugas kuliahnya ketika menyadari satu hal—map hitamnya tak lengkap. Ada satu lembar sketsa yang hilang.

Mentari memicingkan mata, menelusuri setiap tumpukan kertas di meja. “Aduh… yang ini mana ya?” gumamnya gusar.

Tangannya sibuk membalik halaman demi halaman, tapi hasilnya nihil.

Sketsa itu seharusnya ada di antara tumpukan tugas tadi—gambar seorang wanita dengan gaun sederhana, senyumnya samar, hasil goresan spontan yang ia buat di café sore tadi saat menunggu dosennya.

“Jangan bilang… jatuh di café?” desahnya lemah, menepuk jidat.

Ia menengadah, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu gantung kristal. “Yah, padahal itu cuma gambar iseng, tapi aku suka banget garisnya.”

Mentari menjatuhkan tubuhnya di kursi putar, memutar pelan sambil menatap dinding penuh moodboard—kain, tone warna pastel, dan potret model dari majalah fashion. Semua itu adalah dunia yang membuatnya hidup.

Bukan laporan keuangan, bukan proposal hotel, bukan pula dokumen bisnis yang selalu jadi topik utama di meja makan keluarganya.

Matanya melirik ke meja sisi tempat sebuah foto keluarga terpajang. Ayahnya, Adikara Wiradiredja, tampak berwibawa dengan jas hitam. Di sampingnya, ibunya Ratna Nareswari Arata, tampak anggun dengan kebaya berwarna maroon. Keduanya tersenyum, tapi Mentari tahu—senyum itu sering kali hanya formalitas di depan kamera.

“Anak pengusaha besar kok mau jadi desainer,” begitu kalimat yang paling sering ia dengar.

Kadang dari karyawan ayahnya. Kadang dari keluarga besar. Bahkan kadang dari ayahnya sendiri.

Mentari memeluk lutut, menghela napas panjang.

“Tapi aku nggak bisa pura-pura suka dunia itu…” katanya lirih.

Ponselnya bergetar di atas meja. Notifikasi dari grup kampus—pesan dari Cakrawala, teman satu fakultas yang belakangan sering menemaninya di studio.

“Kamu udah pulang?”

Mentari langsung membalasnya, “Udah. Lagi ngerapiin tugas yang tadi. Capek banget 😪”

“Kayaknya kamu ninggalin sesuatu di café deh. Aku liat tadi kamu buru-buru banget.”

Seketika mentari teringat pada sketsanya yang hilang, “Sketsa aku kali ya 😭”

“Biar aku coba liat besok, mungkin masih ada. Tapi kamu kenapa sih tadi kabur kayak dikejar deadline?”

“Karena aku nabrak orang!”

“Nabrak orang???”

“Iya! Pria dewasa gitu. Ganteng, tapi judes. Bener-bener salah timing banget aku lewat 😭”

“Hahaha, kasihan banget. Semoga bukan dosen ya.”

“Kayaknya bukan deh. Tapi auranya tuh... tinggi banget. Kayak... bukan orang biasa.”

Mentari berhenti mengetik sejenak, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampakkan bayangan dirinya.

Entah kenapa, wajah pria itu muncul begitu jelas di kepalanya—rahang tegas, sorot mata dingin, dan caranya menatap yang entah kenapa membuat Mentari gugup tapi... penasaran.

Ia menggigit bibir, merasa aneh sendiri.

“Ya ampun, baru juga ketemu sebentar,” katanya sambil menepuk pipinya sendiri pelan.

Namun di hatinya, ada sesuatu yang tersisa.

Perasaan yang tidak bisa ia jelaskan—bukan kagum, bukan takut, tapi seperti... tertarik oleh sesuatu yang dalam dan tak terlihat.

Pikirannya kembali ke sketsa yang hilang.

“Kalau bener itu jatuh di café, semoga nggak diambil orang,” gumamnya pelan, padahal di saat yang sama, sketsa itu sedang berada di meja kerja pria tampan nan judes yang belum ia ketahui namanya itu.

Lampu kamar dimatikan.

Namun malam itu, bahkan dalam gelap sekalipun, Mentari tahu… pikirannya belum benar-benar bisa tenang.

*****

Sementara itu di kota lain—Rumah besar di kawasan elit Jakarta Selatan itu berdiri megah, sunyi, dan berwibawa—seperti pemiliknya.

Bangunannya bergaya modern klasik, berdinding marmer putih dengan halaman luas yang hanya diterangi lampu taman berwarna keemasan.

Mobil hitam milik Dewangga berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pengawal segera membuka pintu, sementara dua pelayan wanita berdiri memberi hormat dengan kepala sedikit menunduk.

“Selamat malam, Tuan.”

“Selamat malam,” jawabnya singkat, melepas jas hitamnya dan menyerahkannya kepada salah satu pelayan.

Langkah kakinya bergema di lantai marmer. Rumah itu begitu tenang, terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. Sejak bercerai tiga tahun lalu, tak ada suara tawa, tak ada langkah kaki lain yang menghiasi malam-malamnya selain para staf yang bekerja dalam diam.

Dewangga menuju ruang kerjanya di lantai dua—ruangan luas dengan rak buku berderet dan jendela besar yang menampakkan langit malam Jakarta. Ia meletakkan map berisi dokumen rapat di meja, bersandar di kursi kulit hitam, menatap hampa sesaat.

Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian.

“Masuk.”

Seorang pria muda berpakaian rapi masuk membawa tablet dan beberapa lembar dokumen. Radit, asisten pribadi Dewangga, selalu datang dengan ekspresi serius dan gaya bicara hati-hati.

“Laporan yang Tuan minta sore tadi sudah saya dapatkan,” ujarnya sambil menyerahkan berkas.

Dewangga mengangkat alis. “Cepat juga.”

“Nama lengkapnya sesuai yang Tuan sebutkan—Mentari Arata Wiradiredja. Mahasiswi Fakultas Seni dan Desain, Universitas Pratama Nusantara. Usia sembilan belas tahun.”

Dewangga mengambil berkas itu. Di lembar pertama tertera foto Mentari—sedang tersenyum dalam balutan kemeja putih, rambut panjangnya dibiarkan terurai natural.

Tatapan mata gadis itu... sama seperti yang ia lihat di café tadi. Lugu, tapi tajam.

“Putri tunggal dari keluarga Arata Wiradiredja,” lanjut Radit hati-hati. “Ayahnya, Adikara Wiradiredja, pengusaha besar di bidang perhotelan dan resort. Salah satu klien potensial kita, kalau Tuan ingat.”

Dewangga menatap foto itu lebih lama dari yang seharusnya.

Ia tahu nama keluarga Wiradiredja. Ia pernah bertemu dengan ayah Mentari di beberapa acara bisnis. Tapi gadis ini… tidak pernah muncul di lingkaran sosial mana pun.

“Dia tertarik di bidang desain fashion?” tanya Dewangga datar.

“Betul, Tuan. Beberapa dosen menyebut Mentari punya bakat kuat. Ia sering menolak tawaran kerja sama dari perusahaan karena ingin berdiri sendiri.”

“Berani juga,” gumam Dewangga lirih.

Radit menambahkan, “Saya juga sudah cek, Tuan. Dia cukup dikenal di kampus karena karya-karyanya. Tapi tidak suka tampil di depan publik.”

Dewangga diam. Ia menautkan jari-jarinya, bersandar ke kursi, menatap foto gadis itu dengan ekspresi sulit diterjemahkan.

Sebuah ide mulai muncul di benaknya—setengah urusan bisnis, setengah rasa penasaran pribadi.

“Radit.”

“Ya, Tuan?”

“Besok pagi atur pertemuan di D’Or Mode. Tim kreatif kumpul semua. Dan undang gadis ini… dengan alasan kerja sama magang atau proyek desain.”

Radit tampak terkejut. “Tuan ingin gadis itu bergabung?”

“Bukan bergabung,” jawab Dewangga pelan. “Hanya ingin tahu sampai sejauh mana potensinya.”

Senyum samar terlukis di bibirnya, nyaris tak terlihat.

“Kadang, seseorang yang tampak tidak sengaja hadir… justru membawa sesuatu yang belum pernah kita sadari kita butuhkan.”

Radit menunduk patuh. “Baik, Tuan. Akan saya urus dengan hati-hati.”

“Pastikan tidak ada yang tahu kalau perintah ini datang dariku,” tegas Dewangga, nadanya kembali dingin. “Termasuk orang tuanya.”

“Siap, Tuan.”

Setelah Radit pergi, Dewangga kembali menatap foto Mentari. Ia menekan ujung jarinya ke meja, seolah menimbang sesuatu yang hanya ia pahami sendiri.

“Mentari Arata Wiradiredja…”

Nada suaranya dalam, nyaris seperti bisikan. “Gadis dengan sketsa yang membuatku berhenti berpikir sejenak.”

Untuk sesaat, pria itu menatap langit malam dari balik kaca besar. Di luar, lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh. Tapi bagi Dewangga, ada satu cahaya baru yang mulai menarik perhatiannya—cahaya lembut dari seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang bahkan belum tahu bahwa hidupnya sedang diseret perlahan ke dalam dunia seorang Dewangga Danurengga.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!