Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Sepanjang sisa pesta, aura di sekitar Renzi dan Karmel berubah menjadi medan magnet yang tegang. Setelah insiden dengan Bima, sikap Renzi berubah halus namun signifikan. Dia tidak lagi meninggalkan Karmel sendirian. Setiap kali Karmel bergerak, Renzi ada di dalam radius satu meter. Posturnya lebih membungkuk ke arahnya, bahunya yang lebar seringkali menghalangi pandangan orang lain yang mengarah padanya. Itu bukan perlindungan yang hangat, melainkan pengawasan yang dingin dan posesif.
Tindakannya menjadi lebih berani, lebih klaim. Saat berdiri di dekat meja minuman, tangannya tidak hanya di pinggang Karmel. Jari-jarinya naik turun dengan santai di sisi tubuhnya yang ramping, terkadang menyentuh tulang rusuknya yang terasa di balik sutra tipis, terkadang berhenti di lekuk pinggang. Saat seorang kolega tua menyapa, Renzi menyambut dengan jabat tangan, sementara tangan kirinya dengan tenang meraih pundak Karmel, jempolnya menggosok lembut kulit terbuka di dekat tali halter neck gaunnya. Sentuhan-sentuhan itu terlihat intim di mata orang lain, namun bagi Karmel, setiap sentuhan terasa seperti cap bakar—ditandai sebagai milik.
Beberapa wanita yang mengamati dari kejauhan memperlihatkan ekspresi tak suka yang nyaris tak tersamarkan. Mereka melihat bagaimana mata Renzi, yang biasanya mengembara bebas dan penuh penilaian, kini seolah tertambat hanya pada satu wanita. Cara tubuhnya secara naluriah membelakangi mereka, membentuk ruang privat di tengah keramaian, adalah bahasa tubuh yang mereka pahami: Dia sedang menjaganya. Dengan ketat.
Karmel berusaha keras menahan emosi. Pipinya terus memerah, bukan karena malu, tetapi karena amarah yang mendidih dan rasa terperangkap. Dia tersenyum kaku pada setiap orang yang Renzi perkenalkan, merasakan tangan pria itu yang tak pernah benar-benar lepas darinya. Napasnya semakin berat, bola lampu kristal di atas kepala mulai terasa berputar. Suara musik, tawa, dan gemerincing gelas menyatu menjadi dengungan yang memekakkan telinga.
Akhirnya, setelah satu jam berjalan dalam siksaan ini, saat Renzi sedang sibuk membenarkan dasinya yang sudah sempurna di cermin dinding, Karmel menarik napas dalam-dalam.
"Aku mau pulang!" tegasnya, suaranya tegas meski sedikit bergetar.
Renzi tidak segera menoleh. Dia menyelesaikan penyesuaian dasinya di bayangan cermin, lalu baru memandang Karmel melalui pantulan. "Acaranya belum selesai," ujarnya santai, seperti membicarakan cuaca.
"Kalau gitu, aku pulang sendiri."
Tanpa menunggu jawaban, Karmel berbalik dan berjalan cepat menyusuri tepi ballroom. Gaun hitamnya berdesir, belahan sampingnya membuka kilasan kulit pucat yang menarik beberapa pandangan. Tapi dia tidak peduli.
Renzi tidak berlari mengejarnya. Dengan tenang, dia mengangguk pada seorang kenalan, lalu dengan langkah panjang yang tenang namun cepat, dia mengikuti Karmel dari belakang, menjaga jarak beberapa langkah. Seperti pemburu yang yakin mangsanya tidak akan kemana-mana.
Di lobi depan lift, Karmel menekan tombol turun berulang kali dengan jari yang gemetar. Renzi berdiri di sampingnya, diam. Lift yang kosong akhirnya tiba. Mereka masuk. Udara dingin di dalam kabin baja yang mengkilap terasa menusuk setelah kehangatan (atau kepanasan) ballroom.
Saat pintu tertutup, Renzi mencoba meraih tangan Karmel. Sentuhannya ringan, hampir seperti rekonsiliasi.
Karmel bereaksi secepat kilat. "Jangan!" dia menepis tangan Renzi dengan keras, suaranya menggema di ruang sempit. "Kamu pikir aku apa, hah?! Apa kamu berhak nyentuh aku seenak hati kamu?!" Matanya menyala, hijau hazelnya seperti pecahan kaca.
Renzi bersandar ke dinding lift, tangan di saku. Wajahnya tenang, tapi matanya mengamati setiap helaan napas Karmel yang memburu. "Itu cuma sentuhan biasa, Mel. Nggak usah mendramatisir."
"Sentuhan biasa?" Karmel terkekah, suaranya penuh sarkasme. "Sebiasa kamu nidurin banyak perempuan?" Sindiran itu keluar tajam, beracun.
Renzi menghela napas, sedikit kesal tapi tetap terkendali. "Aku udah nggak begitu."
"Siapa yang percaya omongan playboy kayak kamu," sergah Karmel, melipat tangannya di dada, berusaha terlihat lebih besar dari yang dia rasakan.
"Itu kan cuma anggapan kamu aja, Mel."
"Kayak kamu nganggep aku cuma teman tidur kamu aja?" seru Karmel, suaranya tiba-tiba pecah, meledakkan kata-kata yang selama ini menjadi duri di hatinya.
Renzi terdiam. Pandangannya sedikit goyah. Dia memang pernah menganggapnya begitu, di masa awal hubungan mereka yang penuh dengan permainan kekuasaan dan kesombongan. Tapi itu dulu. Sekarang... perasaannya berantakan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengganggu logikanya, yang membuatnya bertindak irasional, posesif, dan cemburu. Tapi dia tidak bisa mengatakannya. Mengakui itu terasa seperti kalah.
Ding.
Pintu lift terbuka ke basement parkir yang sepi dan terang benderang oleh lampu neon. Udara dingin yang berbau bensin dan pelitur lantai menyergap mereka. Karmel melangkah keluar pertama, heelsnya berderak keras di lantai epoksi yang mengkilat, gema suaranya menggema di ruang luas yang dipenuhi mobil mewah. Dia berjalan cepat tanpa arah yang jelas, hanya ingin menjauh.
Renzi mengikuti Karmel yabg keluar lebih dulu dari lift dengan langkah panjang dan tenang, seperti predator yang yakin mangsanya tidak akan bisa lari jauh. Suara sepatu Oxford-nya berirama stabil, kontras dengan langkah terburu-buru Karmel.
Diamnya Renzi diartikan Karmel sebagai pengakuan. Rasa sakit itu menusuk lebih dalam. "Dan kamu! Jangan ganggu aku lagi. Jangan ganggu hubungan aku sama Mas Bima!" tegasnya, mencoba mengukuhkan pilihannya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa pelarian ke Bima adalah jalan yang lebih baik.
Nama 'Bima' itu seperti pemicu.
Semua ketenangan Renzi runtuh. Mata hitamnya yang dingin tiba-tiba menyala dengan api amarah dan kecemburuan primitif. Semua logika, semua permainan, lenyap.
Dia tidak peduli dengan ocahan Karmel lagi. Dengan gerakan cepat dan kuat yang tak terbendung, dia merengsek maju. Tangannya yang besar meraih kedua lengan Karmel, mendorongnya mundur hingga punggungnya menempel ke dinding yang dingin. "Ren—!" protes Karmel terpotong.
Renzi menutup mulutnya dengan ciuman.
Ini bukan ciuman lembut atau romantis. Ini adalah ciuman yang penuh paksaan, amarah, dan klaim liar. Bibirnya menindas bibir Karmel, keras, tak memberikan ruang untuk menolak. Tangannya mengurung tubuh Karmel yang kaku, salah satunya merangkul pinggangnya erat-erat, menariknya hingga tak ada celah di antara mereka. Karmel membeku sejenak sebelum perlawanan sengit dimulai.
"Mmmpf—! Lepas!" teriaknya yang tertahan di antara ciuman paksa itu.
Tangannya menekan dada Renzi, mencoba mendorong. Kepalanya berusaha memalingkan wajah ke samping, tetapi Renzi dengan mudah mengikutinya, tak mau melepaskan. Suara desahan dan perlawanan yang tertahan memenuhi kabin lift. Karmel mendorong, menggigit, tapi Renzi tak bergeming. Rasanya seperti pertarungan, sebuah perang kecil di ruang terkurung ini.
Tapi perlahan, sangat perlahan, sesuatu berubah. Amarah dalam ciuman Renzi itu mulai bercampur dengan sesuatu yang lain—rasa putus asa, kerinduan, dan gairah yang begitu dalam dan kacau. Tekanan di bibirnya berubah, dari menindas menjadi mencari. Dan tubuh Karmel, yang tadinya kaku bagai papan, mulai kehilangan kekuatannya. Perlawanannya melemah. Tangannya yang menekan dada Renzi, kepal tangannya terbuka, jari-jarinya tanpa sadar mencengkeram lipatan jasnya. Sebuah rintihan tercekik keluar dari tenggorokannya—rintihan yang penuh dengan penyerahan dan rasa sakit.
Dia menyerah. Membiarkan Renzi menciumnya dalam-dalam. Membiarkan lidahnya mengeksplorasi, mengklaim kembali setiap bagian dirinya yang selama ini memberontak. Air mata panas mengalir tanpa suara dari sudut matanya, membasahi pipinya yang memerah. Dia membenci dirinya sendiri karena menyerah. Membenci dirinya karena, di tengah segala rasa sakit dan amarah ini, tubuh dan hatinya masih mengenali, masih merespons, masih… mencintai pria licik dan kejam yang sedang menghancurkannya ini.
Mereka terlepas hanya untuk bernapas, dahi mereka saling bersentuhan. Napas mereka tersengal-sengal, berbaur di udara dingin basement.
"Jangan pernah," Renzi berbisik, suaranya serak dan dingin, "katakan kamu akan milih dia. Jangan pernah."
Karmel tidak bisa menjawab. Dia lelah. Lelah melawan, lelah membenci, lelah mencintai pria di depannya yang begitu licik dan kejam, namun satu-satunya yang bisa membuatnya merasa hidup sekaligus sekarat. Di kegelapan basement yang terisolasi, dengan bau bensin dan dinginnya beton, sebuah gencatan senjata yang rapuh tercipta, dibangun di atas fondasi gairah yang membara dan rasa sakit yang tak kunjung sembuh.