Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11.
Zavier menghentikan mobilnya saat sudah tiba di lokasi yang dikirim Kim. Pria itu segera turun dan bergegas menghampiri adiknya yang juga berlari ke arahnya.
Zavier langsung memeluk adik kesayangannya itu singkat.
“Kenapa bisa ban mobilmu bocor, Dek?” tanyanya cemas.
“Tadi kayaknya keinjek paku,” jawab Kim sambil menghela napas.
“Ya udah, nanti Bang Sarif yang ambil mobilmu. Kita pulang sekarang,” kata Zavier, lalu menggiring adiknya masuk ke mobil.
Setibanya di rumah. Kim memang berniat membicarakan hal penting. Denada, sang mama, langsung menyambut putrinya dengan senyum hangat.
“Gimana liburan kamu di sana, sayang? Apa Nathan jagain kamu dengan baik?” tanyanya lembut.
“Seru kok, Ma. Tapi… ternyata aku ketemu seseorang yang nggak disangka-sangka. Dan yang lebih mengejutkan lagi, orang itu ternyata punya anak selama ini,” kata Kim, nadanya serius.
Zavier, Denada, dan Hero sontak saling pandang. Raut wajah mereka berubah penuh tanda tanya.
“Apa maksud kamu, Dek?” tanya Zavier, kali ini wajahnya tampak tegang.
Kim menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku sedih banget waktu tahu. Selama ini dia hidup kekurangan, bahkan sempat pendarahan dan hampir keguguran. Kata Nathan, dia nyaris kehilangan nyawanya.”
“Apa yang kamu bicarakan, Nak? Siapa yang kamu maksud?”
Kim menarik napas dalam sebelum menjawab, “Selina. Mantan istri Bang Zavi dan menantu rumah ini. Aku ketemu dia di kota Jersey. Selama ini dia bekerja sebagai pegawainya Nathan.”
Mereka bertiga terbelalak kaget.
“Apa?!” Zavier hampir tak percaya, nadanya meninggi. “Selina!?”
Kim mengangguk, suaranya lirih. “Ya. Abang tahu nggak… ternyata Selina selama ini menyembunyikan pewaris keluarga kita. Namanya Ian. Saat bercerai sama Abang, dia sedang hamil. Dan sekarang usia putranya enam tahun. Abang cerai sama dia tujuh tahun lalu… semuanya pas. Dan yang lebih bikin aku kaget—wajah anak itu mirip banget sama wajah Abang waktu kecil.”
Jantung Zavier berdegup kencang. Dadanya seketika seperti dihantam palu besar, membuat napasnya sesak.
“A..apa? Ka..kamu… kamu nggak becanda kan, sayang?” suara Denada bergetar.
“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ma,” jawab Kim mantap. “Aku sudah bicara langsung dengan Selina. Tapi dia terus menyangkal. Dia bilang kalau Ian hanya miliknya, dan dia tidak ingin mengenalkan Ian pada keluarga kita… terutama pada ayah kandungnya sendiri.” Kim melirik ke arah kakaknya yang terdiam dengan wajah tegang.
“Ba..bagaimana mungkin… ak..aku…” suara Zavier tercekat. Ia menunduk, matanya kini berkaca-kaca, tak sanggup merangkai kata.
“Tanpa tes DNA pun aku sudah tahu kalau Ian itu putra Abang. Wajahnya… persis banget sama Abang waktu kecil.”
“Pa…” ucap Denada sembari menatap suaminya yang duduk di sampingnya.
Hero yang dari tadi diam hanya bisa menghela napas panjang. Ia juga terkejut dengan fakta ini.
Kim menunduk, berusaha mengatur napasnya. “Aku sebenarnya nggak ingin mengatakan ini secepat ini. Rencananya aku mau cerita setelah pernikahan Abang. Tapi… aku rasa Abang sama Kak Eliza harus tahu kebenaran ini sekarang.”
Zavier menekan dadanya dengan tangan, matanya terpejam rapat. Air matanya jatuh. Pantas saja… selama ini dia sering bermimpi. Ada seorang anak kecil yang memanggilnya Papa. Ternyata… itu bukan sekadar mimpi.
“Kimi…” lirih Denada, ia mengusap air matanya dengan kasar. “Bawa Mama sama Papa ke sana. Mama harus ketemu Selina dan putranya. Apa pun yang terjadi, Mama harus lihat cucu Mama sendiri”
“Ma, tapi…” Kim menggeleng pelan. “Aku pikir Selina nggak akan menyambut baik kedatangan kalian. Aku aja dia usir. Dia natap aku penuh kebencian, Ma.”
“Mama nggak peduli!” seru Denada dengan suara parau. “Mama harus ketemu Selina, harus ketemu cucu Mama!"
•
•
•
Setelah mengantar Ian ke sekolah pagi ini, Selina langsung menuju kafe. Langkahnya berat, matanya masih sembab karena semalaman ia menangis. Untung saja Ian tidak bertanya macam-macam, meski Selina tahu anak itu pasti menyadari ada yang tidak beres.
Sesampainya di kafe, Selina segera menuju ruangan Nathan setelah dipanggil sebelumnya. Ia mengetuk pelan pintu, lalu masuk dengan ragu.
“Duduk,” suara Nathan terdengar tegas.
Kini Selina sudah berhadapan dengan bosnya. Nathan melepas kacamata beningnya, lalu menatapnya.
“Saya sudah dapat kabar dari Pak Jayden,” ujarnya langsung ke inti masalah. “Katanya kamu kembali berulah saat mengantarkan orderan dessert ke sana.”
Selina menunduk, jemarinya saling meremas. “Saya akui itu, Pak… tapi sungguh saya nggak sengaja. Saya terburu-buru waktu itu.”
“Ya, apapun itu alasannya. Pak Jayden sudah menyampaikan pada saya kalau sebagai gantinya, kamu harus dipekerjakan di sana untuk membersihkan toilet. Itu berarti waktumu di kafe ini akan berkurang.”
Wajah Selina semakin pucat. Ia menelan ludah kasar.
“Tapi tenang saja. Gajimu di sini akan tetap saya berikan penuh.”
Selina mengangkat kepalanya, rasa lega sedikit merasuk hatinya. “Terima kasih banyak, Pak…” ucapnya lirih.
Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu tersenyum tipis. “Saya tahu kamu juga harus menghidupi Ian. Kekasih saya sudah menceritakan yang sebenarnya pada saya. Dan saya tidak ingin ikut campur dalam urusan pribadimu dengan keluarga mantan suamimu itu. Tapi…” Nathan menarik nafas pelan. “Saya pikir saya juga punya tanggung jawab. Bagaimanapun, Ian adalah keponakan kekasih saya. Yang artinya… dia juga bagian dari keluarga saya.”
“Terima kasih banyak, Pak.” Kata Selina lirih sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Nathan hanya mengangguk singkat. “Lain kali… bawa saja Ian ke sini. Kasihan dia sendirian di rumah. Dia masih kecil, Selina. Takut terjadi sesuatu padanya.”
Selina hanya bisa mengangguk pelan.
Selina akan bekerja di kafe dari pagi hingga siang, lalu lanjut ke perusahaan Aetherworks milik Jayden. Tapi sebelum ke sana, tentu saja ia harus menjemput Ian terlebih dahulu.
Namun baru saja ia masuk ke gerbang sekolah, suara ribut-ribut langsung terdengar dari arah taman.
“Anak nakal ini yang dorong duluan! Anak saya nggak mungkin dorong orang!”
“Ian nggak dorong. Tadi dia jatuh sendiri”
“Dia bohong, Papa! Tadi dia yang dorong Azil!”
Selina terkejut, jantungnya berdegup kencang. Ia segera berlari menghampiri kerumunan itu. “Ada apa ini?” suaranya panik.
Selina menarik Ian ke pelukannya. “Ian, kenapa sayang?” tanyanya cepat, khawatir melihat wajah anaknya pucat.
“Tanyakan saja pada putramu yang nakal itu!”
Bu Fina, guru kelas Ian, segera maju. “Begini, Bu Selina,” ucapnya. “Kata Azil Ian mendorong Azil hingga terjatuh dari kursi. Akibatnya, kepala Azil benjol.”
“Mama… Ian nggak ngelakuin itu. Ta..tadi Azil datang terus ejek Ian. Dia bilang Ian nggak punya papa, nggak punya rumah, sama mainan bagus. Ian diam aja, Mama. Ian nggak nyahut. Tapi Azil marah, dia mau pukul Ian. Terus… terus dia jatuh sendiri. Ian nggak ngapa-ngapain, Mama.” kata Ian dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca.
Selina memeluk putranya erat, berusaha menyalurkan ketenangan. “Ssshh… Mama percaya sama kamu, ssyang,” bisiknya sambil mengusap kepala Ian.
Ia menatap lurus pada Bu Fina dan Pak Tian dengan tatapan tegas. “Bu Fina, Pak Tian, kalian dengar sendiri kan? Putra saya tidak melakukan apapun.”
Pak Tian, ayah Azil, langsung menggeleng cepat dengan wajah merah padam. “Kalau kamu berpikir anakmu tidak berbohong, maka aku juga berpikir begitu kalau anakku tidak berbohong! Azil tidak mungkin jatuh sendiri!” katanya tegas.
“Sudah… sudah… tenang dulu, Pak Tian.” Bu Fina mencoba menengahi. “Namanya juga anak-anak, kadang suka salah paham, mungkin tadi—”
“Tidak bisa begitu, Bu Fina!” potong Pak Tian cepat, nadanya keras. “Tetap saja saya tidak terima! Bagaimana kalau lain waktu anak itu melakukan yang lebih buruk lagi? Bukan hanya pada anak saya, tapi mungkin pada anak-anak lain juga!”
Ian semakin gemetar mendengar suara lantang itu. “Mama…” katanya sambil memeluk Selina makin erat.
“Mungkin anak itu begitu karena nggak ada bapaknya.” Sahut salah satu ibu siswa yang menonton.
“Ya, jadinya kurang terdidik,” timpal yang lain. “Ditambah lagi mungkin ibunya sibuk kerja, jadi anaknya nggak keurus. Pantes suka bikin masalah.”
Ucapan-ucapan itu menusuk hati Selina seperti pisau. Dadanya sesak, matanya memanas, dia tak sanggup menyahut karena lidahnya kelu.
“Saya pikir cukup mereka saling minta maaf, maka masalah ini selesai, Pak.” kata Bu Fina lagi.
Tian hanya menghembuskan napas kasar.
Bu Fina lalu berjongkok, menatap Ian dengan lembut. “Ian, Nak, kamu minta maaf sama Azil ya? Supaya semuanya selesai.”
Selina segera menukas, “Tapi… Ian nggak salah, Bu.”
Bu Fina melirik Selina sekilas, lalu memberi kode halus agar menuruti saja, Selina menghela napas panjang dan mengusap bahu Ian pelan.
Dengan ragu, Ian pun melangkah mendekati Azil. Tangannya terulur. “Maafin Ian… meskipun sebenarnya kamu yang salah… tapi nggak apa-apa.” katanya pelan.
Azil hanya menatap uluran tangan itu tanpa niat membalas. Ia malah berpaling sambil mencebik. “Papa, ayo pulang. Azil nggak mau salaman sama dia.”
Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menggendong putranya dan berlalu dari sana dengan langkah lebar.
padahal lembek