“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. DIKASIH TAS MAHAL
APARTEMEN RENZO, ALVERIO LUX RESIDENCE
Suasana di apartemen mewah Renzo itu sunyi, hanya diisi oleh desis mesin pembuat kopi premium. Dari lantai tinggi ini, gemerlap lampu kota tampak seperti hamparan permata yang dingin, mencerminkan suasana hati Renzo.
Alaric, dengan mudahnya memasuki unit adik sepupunya ini, seolah itu adalah rumahnya sendiri. Dia berdiri di balik pulau dapur, serius menyeduh dua gelas kopi. Renzo duduk di bar stool, menatapnya dengan perasaan campur aduk.
“Lo nggak harus selalu datang setiap malam, Bang,” ucap Renzo, memecah kesunyian. Suaranya datar, tapi ada getar luka di dalamnya. “Lo udah punya istri, punya keluarga. Gue nggak mau jadi orang ketiga yang mengganggu.”
Alaric tidak langsung menjawab. Tangannya yang biasanya mantap memegang pena kontrak miliaran, kini terlihat menegang. Dia meletakkan kedua gelas kopi dengan agak keras hingga suaranya memecah kesunyian.
“Kenapa tiba-tiba?” ujar Alaric rendah, berbahaya. “Setelah semua ini? Kenapa sekarang lo memutuskan untuk ‘merelakan’ gue?”
Renzo menunduk, menatap pola marmer di meja dapur. Dia tidak bisa menjawab.
Tiba-tiba, Alaric beringsut mendekat. Gerakannya cepat dan penuh intensitas. Tangannya yang kokoh meraih kerah bathrobe putih yang dikenakan Renzo, menariknya hingga wajah mereka hampir bertemu. Nafasnya hangat menyentuh kulit Renzo.
“Ini karena Nadhifa, ya?” desis Alaric, matanya menyala dengan emosi yang tertahan lama. “Karena sekarang lo tahu ada ‘keluarga’ lain yang bisa lo jadikan tempat berlari? Karena lo merasa nggak sendirian lagi?”
Sekali lagi, Renzo diam. Diamnya seperti pengakuan.
Merasa diabaikan, amarah Alaric meledak. Tangannya yang lain meraih gelas kopi panas yang baru saja dia buat untuk Renzo. Dengan gerakan kasar, dia meremas gelas keramik itu di tangannya.
Crack!
Gelas itu pecah berantakan. Cairan kopi panas bercampur dengan pecahan keramik dan darah, mengalir deras dari telapak tangan Alaric. Luka lama di tangannya yang mungkin dari insiden sebelumnya, kini terbuka kembali, diperparah oleh tusukan pecahan gelas.
“Alaric!” teriak Renzo, melompat dari kursinya. Panik dan rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Dia buru-buru mengambil kotak P3K.
Dia mencoba meraih tangan Alaric yang berlumuran darah, tapi dengan kasar ditepis.
“Jangan sentuh gue!” geram Alaric, mendorong tangan Renzo.
Wajahnya yang biasanya dingin dan terkendali, kini memerah oleh rasa sakit dan kemarahan yang tak tertahankan. Dia memandang Renzo dengan tatapan yang menghakimi dan penuh luka.
“Lo yang memutuskan, Ren. Tapi jangan berlagak korban seolah gue yang ninggalin lo. Gue yang terikat, gue yang harus hidup dalam kebohongan, dan sekarang ... lo yang mundur.”
Dengan langkah goyah, dia berbalik dan meninggalkan apartemen Renzo, meninggalkan pintu terbuka lebar dan jejak tetesan darah di lantai yang mengkilap.
Renzo terjatuh berlutut di tengah kekacauan itu. Tangannya yang bersih secara fisik, merasa kotor. Dia yang seharusnya merasa kecewa karena ditinggalkan, justru merasa seperti pendosa yang telah menyakiti orang yang paling dia sayangi.
Dengan tangan gemetar, dia mulai membersihkan genangan kopi dan kaca yang pecah, sementara rasanya luka di hatinya jauh lebih dalam dan lebih perih dari luka di tangan Alaric.
***
Renzo berjalan santai di mal eksklusif, menikmati hari liburnya yang jarang didapat. Matanya tertarik pada sebuah tas kulit putih dengan gagang perak dengan desain elegan yang dipajak di etalase toko brand ternama. Saat ia hendak mendekat, dari sudut matanya, ia melihat sosok yang familiar.
Nadhifa Azzahra.
Dia berdiri persis di depan toko yang sama, terpana menatap tas yang sama, dengan ekspresi takjub bercampur ngeri. Mungkin sudah melirik label harganya.
“Nadhifa?” sapa Renzo, membuat gadis itu menoleh kaget.
“Mas Renzo! Selamat siang,” sahutnya cepat, sedikit kikuk.
“Siang. Lagi lihat-lihat?” tanya Renzo ramah.
“I-iya. Cuma lihat aja,” jawab Nadhifa malu-malu.
“Kebetulan, gue lagi bingung mau cari hadiah buat Mommy. Mau bantu pilih?” tawar Renzo, mencoba mencairkan suasana. “Gue butuh second opinion.”
Nadhifa ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Dia mengikuti Renzo masuk ke dalam toko yang lantainya dari marmer mengilap dan berbau leather mewah itu. Nadhifa sendiri hampir tercekat melihat bandrol harga yang terpajang. Angka-angkanya membuatnya pusing.
Renzo dengan santai langsung menuju koleksi tas wanita.
“Jadi, kamu sebut ‘Mama’ untuk ibu kandungmu, ya, Mas? Aku denger dari teman kerja soalnya," ujar Nadhifa penasaran, mencoba memahami dinamika keluarga Renzo.
Renzo mengangguk sambil mengamati sebuah tas. “Iya. ‘Mama’ itu Vivianne, ibu kandung. Kalo ‘Mommy’ itu Adelina, ibu tiri yang udah anggap gue kaya anak kandungnya sendiri. Gue lebih dekat sama Mommy.”
Penjelasannya sederhana, tapi Nadhifa bisa merasakan kompleksitas di baliknya.
Matanya kemudian tertuju pada sebuah tas berwarna coklat tua dengan jahitan rapi. “Itu bagus, Mas. Klasik, elegan. Cocok buat ... ‘Mommy’,” ucap Nadhifa, sudah bisa menebak mana yang lebih disayangi Renzo.
Renzo tersenyum. “Deal.” Dia langsung meminta sales untuk mengambilkannya.
Sambil menunggu, Renzo berjalan ke sisi lain. Pandangannya tertumbuk pada sepasang sepatu Brogue yang sangar. Rasanya sangat cocok untuk Alaric. Tapi dia menghela napas, mengusik pikiran itu, dan memalingkan muka. Dia harus menjaga jarak.
Di dekat kaca, sebuah tas berwarna putih dengan gagang perak menarik perhatiannya. Simple, cantik, dan terlihat kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengambilnya.
Setelah membayar semua barang—tas coklat untuk Adelina, tas coklat model lain untuk Vivianne atas saran Nadhifa, dan tas putih itu—mereka pun keluar dari toko.
Nadhifa masih terlihat agak pucat. “Mas Renzo, tadi ... tadi kamu nggak lihat harganya dulu?” gumamnya merasa bersalah karena dia memilihkan dan Renzo langsung mengambil.
Renzo hanya tersenyum. “Hadiah itu soal niat, bukan angka, Dhifa. Yang penting tulus.”
Lalu, dengan gerakan tak terduga, dia menyodorkan tas mewah berisi tas putih itu kepada Nadhifa. “Ini buat lo.”
Nadhifa membelalak. “A-Apa? Nggak, Mas! Aku nggak bisa menerima ini!” tolaknya hampir panik. Dia bahkan sempat melihat harga tas itu, 55 juta rupiah. Lebih mahal dari tas yang dibeli untuk ibunya!
“Kenapa nggak? Ini hadiah karena lo udah bantu milih.”
“Tapi … itu terlalu mahal! Aku nggak pantas!”
Renzo tidak mendengarkan. Dengan lembut tapi pasti, dia mengambil tas itu dan mengalungkan tali tas itu ke pundak Nadhifa yang kaku.
“Cocok,” katanya, dengan senyum manisnya yang khas, mata yang berbinar.
Sebelum Nadhifa bisa protes lebih lanjut, Renzo sudah berbalik dan berjalan menyusuri koridor mal, meninggalkannya begitu saja.
“Mas Renzo! Tunggu!” teriak Nadhifa, tapi pria itu hanya melambai tanpa menoleh, senyumnya masih tergambar jelas.
Nadhifa berdiri terpaku, dengan tas seharga mobil bekas tergantung di pundaknya, merasa seperti dalam mimpi yang sama sekali tidak nyata.
Degup jantungnya berdebar kencang, campur aduk antara rasa bersalah, kaget, dan sebuah kehangatan aneh yang mulai merayap di hatinya.
“Ingat Nadhifa, dia itu punya darah Alverio juga kaya kamu,” gumam Nadhifa yang tadinya senang jadi sesak.