Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Pergi Dari Sini
"Hai..., boleh aku bantu?"
Refleks Sari menoleh. "Argh! Kamu itu ngagetin aja! Ngapain ke sini! Cepat pergi!"
Tidak ada niatan untuk mengusir, ia hanya tidak nyaman saat pria itu mendekatinya. Perlu dimaklumi saja, dari kecil ia tak pernah dekat dengan seorang pria, meskipun banyak pria di kampungnya yang suka padanya tapi tak membuatnya jatuh hati. Perasaannya sudah mati kala semua yang ia miliki pergi.
Kedatangan pria asing di dapur membuatnya benar-benar terkejut. Betapa tidak, pria itu tiba-tiba muncul di sebelahnya. Ia yang tengah mencuci piring sambil melamun terkejut saat pria itu menyapanya.
"Kamu mengusirku? Kakek loh, udah kasih izin buat menginap di sini. Lagian aku lupa ingatan, bagaimana kalau nanti nyasar? Siapa yang bakalan nolongin aku?"
Sari mendelik, rupanya pria itu sudah salah paham padanya, bukan maksudnya ingin mengusir dari kediamannya, dia hanya tidak ingin diganggu di saat beraktivitas, dia lebih senang mengerjakan pekerjaan rumah sendiri daripada ada yang menemaninya. Berhubung pria itu sudah salah paham padanya, dia pun menanggapinya dengan sengit.
"Bodoamat kalau nyasar! Memang apa hubungannya denganku? Mau kamu hilang ingatan mau kamu pura-pura aku nggak peduli!"
"Ya ampun neng! Tega amat sih! Niatku baik ingin membantumu, kenapa tanggapanmu begitu buruk? Aku sadar keberadaanku di sini hanya numpang! Aku janji setelah sembuh dan bisa bekerja aku bakalan balas kebaikan kamu dan kakekmu! Masa nggak ada simpati sama sekali!"
Sari mencebik tak peduli dengan ocehannya. Ia tersenyum tipis sembari bergumam, 'ternyata pria ini mudah baperan. Dia sudah salah paham padaku, padahal aku cuma ingin mengusirnya dari dapur, tapi dia mikirnya ke mana-mana. Tapi ya sudahlah, dia juga udah salah paham, kalaupun pergi aku juga lebih tenang.'
Rahmat masuk ke dapur dan bertemu dengan mereka berdua. Dilihatnya dua anak manusia itu nampak tak akur. Khawatir cucunya membuat ulah dengan pria asing itu, dia pun mengajak pria itu untuk berlalu dari dalam dapur.
"Kamu ngapain ada di sini? Mau makan?"
"Ah, enggak kakek. Aku sudah makan bubur. Niatku ingin bantuin dia tapi ~~
"Dia sudah terbiasa mengerjakan tugas rumah sendirian, lebih baik kamu istirahat biar kondisimu lekas pulih. Kondisimu lagi nggak baik kok udah mau beraktivitas. Ayo ikut bersamaku!"
Sari memutar bola matanya. Sejak kedatangan pria itu kakeknya lebih memihak padanya dibandingkan dengan dirinya yang jelas-jelas cucunya sendiri. Ia tak cemburu, hanya saja merasa kurang senang.
"Kakek, keberadaanku di sini sudah menyusahkan hidup kalian ya?"
"Aku memang orang susah cah bagus," jawab Rahmat dengan jujur. Apa yang perlu ditutup-tutupi, orang kondisinya memang susah. Kalau saja ia bilang orang berada itu sama halnya bohong, karena pada dasarnya ia tak memiliki banyak harta. Bukannya ia tak memiliki harta, hanya saja ia tinggalkan masa lalunya demi hidup lebih tenang tinggal di pedalaman.
"Maaf kek, kalau saja aku mengingat identitasku, aku nggak bakalan nyusahin kakek. Mungkin secepatnya aku akan pergi dari sini. Kasih aku sedikit waktu untuk mengingat ya kek?"
Rahmat terkekeh. Sudah jelas Sari menyinggung perasaannya hingga dia kembali terusik dan merasa tidak nyaman tinggal bersamanya. Haruskah ia tega membiarkan pria itu pergi tanpa tujuan yang jelas? Ia memang belum mengenalinya, ia juga tidak tahu asal-usulnya, tapi ia tak tega membiarkannya pergi dengan kondisinya yang kurang baik, kalau sampai terjadi sesuatu padanya di luar tentu ia akan merasa bersalah.
"Cah bagus, kamu tenang saja, kakek nggak ada niatan untuk mengusirmu. Pulihkan dulu kondisimu. Lihatlah..., sekujur tubuhmu banyak luka, kau pikir tinggal di luar baik untukmu? Tinggalah di sini sesuka hatimu, kalau suatu saat nanti keluargamu datang untuk menjemput, baru kamu bisa kembali pada mereka, tapi kalau kondisimu masih seperti ini, akan lebih baik kalau kamu tetap di sini, kakek nggak keberatan kok!"
Pria itu mengulas senyuman tipis. Akhirnya ia lega masih mendapatkan kesempatan untuk tetap tinggal di tempatnya. "Terimakasih banyak kakek, kakek sangat baik padaku, tapi~~
"Tapi apa? Ada apa? Ayo ngomong sama kakek!"
"Itu cucunya kakek nggak suka sama aku. Dia ngusir aku dari sini."
"Oh..., si Sari mengusirmu?"
'oh...., ternyata namanya Sari?' dalam hati pria itu bergumam. Beberapa jam tinggal bersama masih belum mengetahui nama orang yang sudah menampungnya, bahkan untuk mengingat namanya sendiri saja kesusahan.
"Sudah, abaikan saja. Sebenarnya dia itu baik, hanya saja dia takut hujatan orang-orang di sekitar sini. Mereka pada julid, cucuku itu sering di-bully, jadi dia takut kembali di-bully oleh mereka gara-gara ada orang asing tinggal di sini, apalagi kamu laki-laki, dan cucuku perempuan. Tidak apa-apa, biar kakek yang akan memberinya pengertian."
"Jadi dia sering di-bully ya kek, kasihan sekali. Kalau boleh tahu cucu kakek itu berapa bersaudara? Terus ayah ibunya tinggal di mana?"
Raut wajah Rahmat langsung berubah murung. Sedih setiap mengingat kehidupan cucu dan juga anaknya. Tapi ia juga tidak bisa terus-terusan menutupi kesedihannya, ada kalanya mencurahkan isi hati pada seseorang untuk mengurangi kesedihannya. Rahmat yakin pria muda itu masih memiliki kepedulian padanya, buktinya dia selalu bersikap sopan padanya.
"Sebenarnya anak cucuku itu banyak cah bagus, tapi mereka nggak tinggal di sini," jawab Rahmat. "Kalau Sari ini hanya anak tunggal, dia putri dari anak bungsuku. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, kalau ayahnya aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Sejak dilahirkan Sari sudah tinggal di sini bersamaku dan juga ibunya, kalau ayahnya pergi ke kota karena asalnya juga dari kota, bahkan sampai sekarang tidak pernah datang untuk menjenguk anaknya, saat ibunya sari meninggal saja dia juga tidak tahu. Malang nasib cucuku itu, aku suka sedih melihatnya, sampai sebesar ini dia belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya. Dia sudah banyak menderita hidup bersamaku, yang aku khawatirkan..., bagaimana jika suatu saat nanti aku mati, siapa yang sudi menemaninya? Bahkan orang-orang di sini nggak ada kepedulian padanya."
Rahmat bercerita dengan matanya berkaca-kaca. Ia masih belum ikhlas jika tidak bisa melihat cucunya hidup bahagia, tapi ia sadar, umurnya sudah menginjak kepala delapan, mungkinkah ia masih memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama lagi?
Pria itu mengusap punggung Rahmat. Dia belum terlalu mengenal Rahmat, tapi bisa merasakan apa yang tengah dirasakan olehnya. Rahmat sudah banyak membantunya, haruskah tega membiarkannya hidup dalam kepedihan?
"Kakek, kakek jangan terlalu banyak pikiran yang hanya akan membuatmu bertambah sedih. Aku yakin suatu saat nanti Sari akan menemukan kebahagiaannya. Selama kakek izinkan aku tinggal di sini aku janji akan menjaga kalian dengan baik. Aku memang belum mengingat identitasku, mungkin lebih baik seperti ini agar aku tetap bisa bersama dengan kalian."
Rahmat mengulas senyuman tipis, seketika perasaan sedikit lebih lega. Ia pikir pria itu tak peduli akan kisah hidupnya, ternyata dia paham dan menaruh kepedulian padanya. "Terimakasih cah bagus, ternyata kamu anak baik, kamu memiliki kepedulian terhadap kami. Terimakasih kamu bersedia untuk tinggal di tempat kami. Berhubung kamu belum mengingat namamu, bagaimana kalau kakek memberimu nama Jaka. Apa kamu setuju?"