Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
“Aku minta maaf atas kejadian semalam,” kata Devan kembali memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut, tetapi tidak mengurangi rasa cemas Nara. “Bolehkah aku minta nomor teleponmu?”
Nara masih terpaku, menatap Devan dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar hotel.
Di atas meja kecil dekat ranjang, Nara melihat tasnya. Dengan tangan gemetar, ia meraih tas itu untuk mencari ponselnya.
Saat menyalakan ponsel yang sengaja dimatikan itu, sebuah pesan masuk datang dari Anya. Lalu beberapa pesan lagi bermunculan, semua dari Anya, bertanya-tanya tentang keadaannya.
Rasa terkejut dan sekaligus amarah bercampur aduk dalam hati Nara. ‘Anya … dia meninggalkanku?’ Pikirannya melayang kembali pada pesta semalam.
Nara ingat, Anya dan teman-temannya yang memaksanya minum, tetapi tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamar hotel ini. Atau bagaimana ia berada di ranjang yang sama dengan Devan.
Gadis itu menoleh ke arah Devan dengan tatapannya yang tajam. Ia tidak langsung memberikan nomor teleponnya. “Semalam … apakah aku sendiri?” tanya Nara lirih, suaranya masih bergetar.
Devan terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Nara, tetapi ia segera menjawab. “Tidak,” jawabnya. “Semalam, temanmu, Anya, menitipkanmu padaku setelah aku memperkenalkan diri.” Devan melanjutkan ceritanya, “Kamu terus berteriak dan menolak pulang. Anya bilang kamu sudah mabuk berat dan dia tidak sanggup membawamu pulang. Dia memintaku untuk mengantarmu ke hotel karena menurutnya aku orang yang bisa dipercaya.”
Penjelasan Devan membuat kening Nara berkerut. “Kenapa Anya mempercayaimu?” tanya Nara, suaranya masih bergetar, tetapi nada suaranya sudah sedikit lebih tenang. “Aku tidak mengenalmu … kenapa dia bisa mempercayaimu?”
Devan tersenyum tipis, sedikit getir. “Mungkin karena Anya adalah salah satu anak buahku di kantor,” jawabnya.
Mendengar penjelasan itu, Nara terkesiap. Ia menatap Devan dengan tatapan yang sulit diartikan. Syok, kebingungan, dan sedikit ketidakpercayaan terpancar dari matanya.
‘Anya … anak buahnya Devan?!’
Setelah beberapa saat terdiam, Nara memberanikan diri untuk bertanya tentang hal yang paling membuatnya resah. Suaranya hampir tak terdengar, “Lalu … kenapa … kenapa kita … bisa berhubungan semalam?”
Pertanyaan itu keluar dengan terbata-bata. Jelas Nara merasa sangat malu menanyakannya, apalagi secuil ingatan itu masih menimbulkan keraguan. Benarkah dia seagresif seperti dalam ingatan samar itu?
Devan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kamu … kamu terpesona denganku,” jawab Devan, suaranya sedikit ragu. Wajahnya mulai memerah, tampak sedikit canggung. “Kamu mabuk berat. Kamu terus memuji ketampananku … berulang kali. Sejak kita berdua berdua di lounge sampai di sini. Kamu tidak ingat ya?”
Penjelasan Devan membuat Nara semakin malu. Ingatannya tentang semalam masih sangat kabur, hanya cuplikan-cuplikan kejadian yang tidak berurutan. Ia merasa seperti korban yang pikirannya dimanipulasi oleh pengaruh alkohol dan situasi.
Nara menggeleng pelan, tatapannya kosong, “Aku… aku tidak ingat,” jawabnya lirih, jelas dia merasa sangat malu. “Sama sekali tidak ingat.”
Devan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sedikit rasa simpati, tetapi juga sesuatu yang menyerupai ketidakpastian. “Kamu sangat mabuk. Kamu terus mengulangi kata-kata yang sama tentang Endra dan Renata. Kamu juga terus memuji ketampananku … sampai kamu menciumku, membawaku ke kasur dan ….”
“Kenapa kamu tidak melawan?” potong Nara semakin merasa malu. “Harusnya kamu ….”
“Aku juga sedikit mabuk tadi malam. Tapi, ingatanku masih sangat bagus untuk merincikan semua yang terjadi,” balas Devan.
Nara masih terpaku sambil memeluk erat selimutnya, seperti mencari perlindungan dari kebingungan yang menyergapnya.
Devan menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati. “Kita bisa mengecek CCTV di klub dan hotel semalam,” usulnya perlahan. “Mungkin itu bisa membantu menjernihkan ingatanmu.”
Namun, ia segera menambahkan, suaranya sedikit lebih rendah, “Tapi … apa pun hasilnya … pasti akan membuat kita berdua malu.”
Kata-kata Devan menghantam hati Nara dengan keras. Ia terdiam, merenungkan usul itu. Memang, mengecek CCTV mungkin bisa memberikan kejelasan, tetapi risikonya juga sangat besar. Bayangan malu dan rasa tidak percaya diri semakin menyergapnya.
Usulan untuk memeriksa CCTV bukanlah suatu jalan keluar yang mudah. Nara seperti dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya: terus hidup dalam kebingungan dan keraguan, atau menghadapi kenyataan yang mungkin akan lebih menyakitkan. Ia terjebak dalam dilema yang sangat berat.
Pikirannya kembali berputar pada masa lalu, pada hubungannya dengan Endra dan luka yang belum sempat sembuh. Kini, tercipta luka baru, luka yang lebih dalam dan lebih memilukan. Ia terbayang wajah Renata, adiknya, yang juga hamil diluar nikah.
“Pernikahan … bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan buru-buru,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, sebuah ketakutan baru muncul dalam benaknya. “Tapi, kalau … kalau sampai aku hamil karena kejadian semalam ….” Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang kian mengancam untuk jatuh. “Bukankah … bukankah tidak ada bedanya aku dan Renata?”
Bayangan masa depan yang gelap menghantui Nara. Ia takut akan masa depannya, takut akan penghakiman orang lain, dan takut akan pengulangan kisah yang menyakitkan di keluarganya. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tampaknya tak akan pernah berakhir.
Devan diam sejenak, menatap wajah Nara yang dipenuhi kekhawatiran. Ia mengangguk pelan, membenarkan pernyataan Nara tentang kemiripan nasibnya dengan Renata. “Kamu benar,” katanya, suaranya lembut, tetapi menunjukkan kepekaan. “Makanya, aku tidak melarikan diri dan masih di sini untuk bertanggung jawab.”
Pria itu berdeham sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih formal, menjelaskan tentang dirinya. “Namaku Daniel Devandra Salim. Aku bekerja sebagai CEO di perusahaan ayahku, DC Corporate. Aku lulusan Harvard Business School. Aku memiliki beberapa aset pribadi, termasuk apartemen di Jakarta dan villa di Bali.” Ia menjelaskan semuanya dengan singkat, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan status sosial dan keuangannya yang tinggi.
Devan kemudian mengulurkan tangannya lagi, “Bolehkah aku mendapatkan nomor teleponmu?”
Kali ini, Nara memberikan nomor ponselnya tanpa ragu. Ia percaya pada instingnya bahwa Devan bukanlah orang yang berbahaya. Devan mengambil ponselnya kemudian memungut pakaian Nara yang tergeletak di sofa dekat sisinya, menyerahkan pakaian itu pada Nara dengan tatapan yang penuh perhatian.
“Aku akan berusaha sekeras mungkin untuk membuatmu bahagia,” ucap Devan berjanji, suaranya penuh keyakinan.
Namun, di tengah rasa lega yang mulai menyeruak di hatinya, sebuah pertanyaan yang sangat mendalam muncul di benak Nara. Ia menatap Devan dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. “Kamu … kamu yakin … akan menikahiku? Bagaimana dengan keluargamu?”
***
Gimana, seru nggak gaess? Jangan lupa like komennya yak, oh iya kasih ulasan bintang 5 dong 😍😍😍
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar