berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Shintia tertunduk, ia ragu mengatakan yang sebenarnya. Hingga akhirnya ia memilih mengalihkan topik pembicaraan.
"Entahlah, aku tak bisa mengatakannya. Dan mengenai Jessica, apa kau tahu bahwa ia dan Satya sudah saling mengenal?"
"Apa?" Raska tampak terkejut mendengarnya. Dan ia bisa menebak, pasti ada sesuatu yang tengah Jessica sembunyikan.
"Ayo, Kak. Makanlah." Olivia berniat menyuapi Jessica namun wanita itu justru mengalihkan pandangan darinya, menoleh menatap jendela kamar. Sudah satu hari sejak kecelakaan itu dan saat ini Jessica masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Olivia tertunduk lesu hingga akhirnya memberanikan diri bertanya. Rasanya ia tak bisa jika hubungan mereka terus dingin seperti ini. Diletakkannya semangkuk bubur milik kakaknya di atas pangkuan kemudian suaranya yang pelan terdengar.
"Kakak, sampai kapan kakak akan bersikap dingin padaku seperti ini? Aku ... merindukan kakak yang dulu saat ibu masih ada."
Jessica hanya diam, bahkan menoleh pun tidak.
Tak!
Dengan sedikit kasar Olivia meletakkan mangkuk bubur ke atas meja kemudian berdiri dari duduknya menimbulkan derit kursi yang ia duduki terdengar.
"Jika kakak sudah mau bicara, panggil aku saja. Aku tidak bisa terus bertanya sementara kakak tak sudi membuka suara."
Setelah mengatakan itu Olivia segera melangkah keluar dari sana meninggalkan Jessica yang tak mengalihkan pandangan. Namun, saat mendengar pintu tertutup, ia menoleh, mengarah pandangan ke arah pintu dan bergumam, "Karena kau bukan adikku."
Beberapa saat kemudian pintu kamar kembali terbuka menunjukkan Satya yang membawa sebuket bunga krisan di tangan dan melangkah menghampiri Jessica.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Satya seraya meletakkan bunga yang ia bawa ke atas meja samping ranjang.
"Seperti yang kau lihat," jawab Jessica dengan mengarah pandangan pada kakinya yang terbalut perban.
"Ibuku menitipkan salam untukmu," ucap Satya kembali. Harusnya ia bersama Shintia namun ibunya itu memintanya mengantar menjenguk Yoga sebelumnya berharap hari ini bisa mendapat hasil yang berbeda. Berharap Yoga mau menemuinya.
"Terima kasih," ucap Jessica kemudian suasana hening pun tercipta. Tak ada lagi yang terucap dari keduanya. Jessica sendiri tak tahu kenapa tak bisa bersandiwara menjadi orang lain, menjadi wanita manja yang bisa menarik perhatian. Padahal rencananya ingin mendekati Satya agar ayahnya tak bisa bersama Shintia. Bahkan kecelakaan yang dialaminya pun sebenarnya telah ia rencanakan.
Waktu itu tanpa sengaja Jessica melihat Satya dan Shintia memasuki sebuah restoran saat ia baru saja memasuki mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Dirinya pun berniat mengawasi sekaligus mencari alibi atau alasan yang dapat digunakannya mendekati keduanya. Sampai akhirnya ia melihat Shintia berlari keluar restoran membuatnya mengambil tindakan cepat. Menemukan sebuah ide yang sebenarnya bisa membahayakan dirinya tapi sepadan dengan keuntungan yang akan ia dapatkan. Karena ia sadar, dirinya tidak bisa bersikap agresif menggoda Satya agar tertarik padanya. Bahkan apa yang dilakukannya kemarin saat menemui Satya di kampusnya pun terasa sia-sia. Bukan karena sifatnya yang memang tak sama dengan wanita lain pada umumnya namun juga ia tahu bahwa Satya bukan lelaki yang dengan mudah takluk oleh rayuan wanita. Dan karena kecelakaan yang dialaminya ini, ia yakin Satya akan bersimpati padanya walau hanya karena rasa bersalah.
"Maaf kau harus melihatnya kemarin," ucap Jessica tiba-tiba. Walau tak bisa menggoda Satya, ia tak bisa diam begitu saja. Setidaknya langkah pertama adalah menjadi teman.
Satya tak mengerti apa maksud Jessica. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Kau harus melihat hubungan kami yang tidak harmonis. Seperti yang kau tahu, adikku mendukung ibumu dan ayahku bersatu tapi tidak denganku," jelas Jessica disertai senyum kecut yang tak dapat Satya lihat karena posisinya yang berdiri di sisi ranjang sementara Jessica duduk di ranjang dengan setengah menunduk.
Mendengar itu, akhirnya Satya mengerti. Jadi itu yang membuat interaksi mereka terasa dingin? batinnya. "Harusnya itu bukan alasan membuat kalian menjadi musuh," ucapnya seakan memberi wejangan.
Jessica yang sebelumnya mengarah pandangan ke arah lain, perlahan mengangkat kepala menatap Satya dan kembali membuka suara, "Jadi, bagaimana denganmu sendiri?" tanyanya.
"Aku mengikuti ibuku. Dan kupastikan ibuku tidak akan bersama ayahmu," jawab Satya tanpa ragu.
Sebelah alis Jessica tampak berkerut. " Bagaimana bisa kau seyakin itu? Walau kemarin adalah kali pertama aku melihat tepat di depan mataku interaksi antara ayah dan ibumu, aku yakin di antara mereka ada sesuatu."
Satya menghela nafas. "Terserah padamu jika kau memang lebih mengenal ibuku."
Mendengar itu Jessica hanya diam sampai akhirnya ia memiliki cara menahan Satya di sana. Selama ia sakit, ia tak akan menyiakan kesempatan. Meski Satya mengatakan Shintia dan ayahnya tak akan bersama, ia tak percaya begitu saja.
"Aku bosan, boleh aku minta tolong padamu?"
Satya yang sebelumnya hendak pergi, pada akhirnya menahan diri. "Apa," tanyanya.
"Bawa aku jalan-jalan ke luar. Sudah satu hari aku terus di sini dan aku butuh udara segar," ujar Jessica sebagai alasan.
Selama beberapa detik Satya tak mengalihkan pandangan dari Jessica yang juga menatapnya. Sampai akhirnya ia berbalik dan melangkah ke luar. dari sana Jessica yang melihatnya sempat kecewa berpikir cara yang dilakukannya sia-sia. Tapi saat Satya kembali dengan membawa kursi roda, senyum tipis pun tersungging di bibirnya.
"Kuharap ini bukan salah satu bagian dari rencanamu," ucap Satya setelah kembali dan berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangan memegang dorongan kursi roda.
"A- apa maksudmu? Rencana apa?" sahut Jessica dengan gugup dan mengalihkan pandangan dari Satya.
"Mungkin kau sengaja karena secara tidak langsung, aku yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpamu."
"Te- tentu saja tidak! Sudah, sebaiknya segera bawa aku ke luar. Setelah mendapat sinar matahari, aku pasti sembuh sepenuhnya dan boleh pulang." Jessica semakin gugup mengira Satya tahu rencananya.
Setelahnya tak ada lagi perdebatan antara keduanya. Satya membantu Jessica duduk ke kursi roda dan degupan aneh Jessica rasakan kala Satya menggendongnya ala bridal style walau seakan hanya sekejap.
Di tempat lain, terlihat Shintia yang lagi-lagi harus menelan kekecewaan karena Yoga tak ingin bertemu. Bahkan meski ia mengiba dan memohon, polisi itu tetap tak membawa Yoga menemui dirinya.
"Apa aku telah membuat kesalahan?" gumam Shintia yang terus mengingat pertemuan terakhir mereka di hari itu berpikir mungkin ada salah kata yang ia ucapkan atau apapun itu hingga membuat Yoga enggan menemuinya. Tapi semakin ia berpikir, semakin ia tak menemukan jawabannya.
Deg!
Jantung Shintia seakan berhenti berdetak sesaat dengan mata melebar kala ia teringat sesuatu. Tubuhnya gemetar, degup jantungnya menggila. Dan saat ia membalikkan badan perlahan, deru nafasnya tampak tak beraturan. Dadanya terlihat naik turun tak terkendali dengan tangan terkepal kuat di depan dada. Hingga di detik berikutnya ia pun berlari kembali menuju gedung tahanan.
"Tidak, itu tidak mungkin! Tidak mungkin!" jeritanya dalam hati di sela langkah kaki yang cepat.
Bagaimana bisa dirinya lupa? Bagaimana bisa dirinya sama sekali tak mengingatnya? Sudah beberapa kali Yoga mengalami percobaan pembunuhan. Mungkinkah