Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan Araksha - I
Saat Jellal masih dikelilingi oleh bawahannya yang telah kembali, keheningan tiba-tiba terpecah oleh bisikan halus yang menggema langsung ke dalam pikirannya.
"Yang Mulia."
Suara itu lembut, hampir menggoda.
Jellal menutup matanya sejenak, merasakan energi sihir yang mengalir melalui komunikasi jarak jauh ini. Selene.
"Eira melaporkan sesuatu yang menarik. Sekelompok makhluk menjijikkan terlihat di perbatasan wilayah kita."
Jellal membuka matanya, ekspresinya tetap tenang. Makhluk menjijikkan. Tidak sulit menebak siapa yang dimaksud Selene.
"Manusia?" tanyanya tanpa emosi.
Selene terkekeh kecil, seolah geli dengan pertanyaan itu.
"Tentu saja, Yang Mulia. Sepertinya, mereka berkeliaran tanpa tahu tempat mereka berada. Eira sudah mengamati mereka sejak beberapa saat lalu."
Jellal tidak segera merespons. Di sisinya, Selvhia yang juga mendengar komunikasi ini tetap berdiri tegak, menunggu keputusan tuannya.
"Ingin aku mengurus mereka?" lanjut Selene, suaranya terdengar manis namun kejam. "Eira bisa menyelesaikan mereka dalam sekejap. Aku ragu mereka bahkan bisa menyadari keberadaannya sebelum mereka terbakar dalam Cahaya Korupsi."
Jellal menutup matanya sebentar. Memang akan lebih mudah membiarkan Eira melenyapkan mereka. Malaikat jatuh itu memiliki kemampuan untuk membakar jiwa musuh hanya dengan cahaya yang ia keluarkan dan bagi manusia biasa, itu adalah kematian yang bahkan tidak bisa mereka pahami.
Namun, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.
Manusia? Di sini? Bukankah Selvhia sudah menerawang tempat ini dan sekitarnya?
Kerajaan Kegelapan telah tersegel selama berabad-abad, dan wilayah di sekitar istana ini seharusnya telah lama ditinggalkan. Mengapa ada manusia yang berkeliaran di hutan yang seharusnya menjadi tempat tidur kematian?
"Jangan lakukan apa pun."
Sejenak, Selene terdiam, lalu mendesah dramatis.
"Tsk. Benarkah? Tapi mereka begitu mengganggu. Aku hampir bisa mencium aroma darah mereka dari sini..."
"Aku akan turun tangan sendiri."
Jawaban itu membuat Selene terdiam. Beberapa detik kemudian, suara tawa pelan terdengar.
"Hoh~ Sepertinya sesuatu telah menarik perhatianmu, Yang Mulia. Baiklah, aku akan memberitahu Eira untuk tetap mengawasi mereka. Tapi hati-hati, Yang Mulia... manusia itu menjijikkan. Aku khawatir tangan sucimu akan ternoda jika menyentuh mereka."
Sambungan sihir pun terputus, meninggalkan Jellal dalam keheningan.
Selvhia menoleh sedikit ke arahnya. "Anda akan pergi sendiri, Yang Mulia?"
Jellal menoleh ke arah maid dhampir itu. "Tidak. Kau ikut denganku."
Mata merah Selvhia berkilat tipis sebelum ia menundukkan kepalanya. "Dengan senang hati, Yang Mulia."
Tanpa membuang waktu, mereka berdua segera bergerak. Di Tengah Hutan, Jellal dan Selvhia berdiri di atas salah satu cabang pohon raksasa, tersembunyi dalam bayangan lebat.
Di bawah mereka, di sebuah tanah lapang yang dipenuhi sisa-sisa reruntuhan, sekumpulan manusia tengah beristirahat.
Jumlah mereka sekitar dua lusin, sebagian besar mengenakan armor kulit dan besi ringan ala para petualang.
Mereka mendirikan kemah seadanya di antara pepohonan, sementara beberapa dari mereka terlihat mengobati luka, membersihkan senjata, atau sekadar berbincang dengan wajah waspada.
Jellal mengamati mereka dalam diam.
Dari cara mereka bergerak, jelas mereka baru saja menghadapi pertempuran. Beberapa dari mereka memiliki luka yang belum sepenuhnya sembuh, sementara ekspresi mereka menunjukkan ketegangan yang belum surut.
"Apa yang kau pikirkan, Yang Mulia?" bisik Selvhia, yang berdiri di sebelahnya dengan tenang.
Jellal tidak langsung menjawab.
Manusia di bawah itu bukan pasukan biasa. Mereka bukan tentara kerajaan, juga bukan orang-orang tak berdaya.
Petualang.
Orang-orang yang hidup di luar sistem kerajaan, berkeliaran di dunia untuk berburu, bertarung, dan mencari keuntungan.
Dan yang lebih menarik, mereka memilih untuk datang ke tempat ini.
Jellal menyipitkan matanya.
Apakah mereka hanya tersesat? Atau mereka tahu sesuatu yang tidak seharusnya mereka ketahui?
Di antara kerumunan, seorang pria yang terlihat lebih tua, mungkin pemimpin mereka, berdiri di tengah lingkaran dan berbicara dengan suara rendah.
Jellal memperkuat pendengarannya dengan sihirnya, menangkap percakapan mereka dengan jelas.
"...Jadi kau yakin ini tempatnya?" suara pria itu berat dan serak, seolah ia telah mengalami banyak pertempuran.
"Ya," jawab seseorang yang lebih muda, suaranya terdengar sedikit ragu. "Menurut catatan kuno, reruntuhan di sekitar sini dulunya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin... kastil iblis yang disebut dalam legenda."
"Sial..." pria tua itu menghela napas panjang. "Kalau memang benar, kita tidak boleh terlalu lama di sini. Gereja Cahaya sudah memperingatkan kita untuk tidak terlalu jauh ke dalam hutan ini."
Gereja Cahaya.
Mata Jellal berkilat saat mendengar kata itu.
Jadi mereka datang ke sini atas perintah Gereja Cahaya?
Jika begitu, ini lebih dari sekadar kebetulan.
Tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibir Jellal.
Menarik.
Sangat menarik.
Di sebelahnya, Selvhia melihat ekspresi tuannya dan tahu bahwa sesuatu telah menarik perhatian Jellal. Dhampir itu tidak bertanya, hanya menunggu perintah.
Jellal mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Selvhia tetap diam.
Untuk sekarang, mereka akan mengamati lebih lama.
Namun, satu hal sudah pasti.
Malam ini, manusia-manusia itu tidak akan meninggalkan hutan ini dengan mudah.