Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Setelah cuaca kembali cerah, Jade langsung menuju bandara. Ia berulang kali mencoba menghubungi keluarganya, tetapi tak satu pun panggilannya dijawab.
"Kenapa tidak ada yang menjawab? Papa ke mana? Mama juga tidak mau mengangkat teleponku?" gumam Jade sambil menarik kopernya, berjalan menuju resepsionis.
Los Angeles
Sebuah penemuan mayat menggemparkan warga. Lokasi kejadian telah dipasangi garis polisi, dan orang-orang berkerumun di sekitar area tersebut. Tim forensik dan polisi tampak sibuk memeriksa jasad seorang wanita yang sudah kaku dan pucat.
"Korbannya bernama Jane Valencia, usia 26 tahun. Diperkirakan kematiannya sudah lebih dari tujuh jam," ucap salah satu petugas kepolisian.
"Segera cari pihak keluarganya. Bawa jasadnya untuk diautopsi!" perintah seorang perwira polisi.
Tak lama kemudian, berita tentang penemuan mayat itu tersebar luas, mengungkap identitas korban.
---
Di sebuah kantor yang luas dan rapi, seorang pria bernama Leon duduk sambil menatap layar laptopnya. Berita siang itu terpampang jelas di hadapannya.
"Jane? Bagaimana bisa ini terjadi?" Leon bergumam dengan ekspresi tak percaya.
Seorang pemuda tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa.
"Tuan, apakah Anda sudah melihat berita siang ini?" tanyanya.
"Jane Valencia menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan… Berita buruk bagi mereka," jawab Leon seraya menutup laptopnya.
"Apakah Nona Jade sudah tahu? Dia pasti tidak bisa menerimanya… Mereka adalah saudara kembar," ucap pemuda itu dengan raut cemas.
Leon menghela napas panjang. "Jacob, awasi keluarga Valencia. Cari tahu sejauh mana kasus ini berkembang. Aku ingin tahu hasil autopsinya. Dan pastikan tidak ada yang tahu bahwa kita menyelidikinya," perintahnya tegas.
"Baik, Tuan," jawab Jacob sebelum pergi.
Leon kembali memejamkan matanya sejenak. Jade… Kakakmu meninggal dengan mengenaskan.
Tak lama kemudian, Leon meninggalkan kantornya.
---
Di lokasi kejadian, Leon berdiri di tengah area yang masih dipenuhi garis polisi. Matanya menyapu setiap sudut gang sempit itu, memperhatikan setiap detail yang mungkin menjadi petunjuk.
"Semalam hujan deras. Gang ini jarang dilewati warga… Tidak ada rekaman CCTV… Pelaku bisa bebas melakukan kejahatan. Tapi tidak mungkin tidak ada petunjuk sama sekali… Hujan bisa saja menghilangkan bukti, tapi pasti ada sesuatu yang tertinggal," pikirnya dalam hati.
Sementara itu, di tempat lain, Marcus dan Sammy duduk santai di ruang tamu sebuah rumah.
"Kenapa Jade terus menghubungi kita? Apa kau tidak bilang padanya agar berhenti menelepon?" tanya Marcus.
"Dia mengira Jane tidak ada di rumah," jawab Sammy santai.
Marcus mengernyit. "Kenapa Jane belum bangun? Apa dia masih tidur?"
"Iya. Biarkan saja dia tidur lebih lama. Jane sangat penurut, berbeda jauh dengan Jade yang keras kepala dan bertindak sesuka hati," jawab Sammy dengan nada meremehkan.
Tak lama kemudian, ponsel Marcus berdering. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut.
"Nomor siapa ini? Apa Jade sengaja menggunakan nomor lain?" tanyanya kesal.
"Tidak perlu menjawab panggilan itu. Biarkan saja!" kata Sammy tegas.
Namun, panggilan itu terus berdering tanpa henti, baik di ponsel Marcus maupun Sammy. Meski merasa terganggu, mereka tetap mengabaikannya.
Satu jam kemudian, suara bel rumah mereka berbunyi nyaring. Saat Marcus membuka pintu, ia dikejutkan oleh kedatangan pihak kepolisian. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk langsung menyergap benaknya.
Begitu mendengar kabar yang menimpa putri kesayangan mereka, tubuh Sammy melemas. Wajahnya pucat, napasnya memburu, lalu dalam sekejap ia jatuh pingsan. Marcus dengan sigap menangkap tubuh istrinya sebelum ia terjatuh ke lantai.
***
Setelah menempuh penerbangan selama enam jam, Jade akhirnya tiba di Bandara Los Angeles.
Matanya menelusuri keramaian bandara, mencari seseorang atau sekadar petunjuk arah. Suasana hiruk-pikuk khas LAX menyambutnya—suara pengumuman, langkah tergesa para penumpang, serta deretan koper yang meluncur di ban berjalan.
Jade merapatkan jaketnya, lalu melangkah mantap menuju pintu keluar. Hatinya gelisah karena kakaknya tidak bisa dihubungi.
Saat tiba di luar bandara, Jade baru saja menarik koper dari bagasi ketika ponselnya bergetar. Nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Dahinya berkerut, tetapi ia tetap menjawab.
"Halo," sahutnya dengan nada sedikit ragu.
Hening sejenak sebelum suara seorang wanita terdengar dari seberang. "Apakah Anda Nona Jade Valencia, adik dari korban, Nona Jane?"
"Korban? Ada apa dengan kakakku?" suaranya mulai bergetar, napasnya tercekat di tenggorokan.
Beberapa detik berikutnya terasa begitu panjang. Saat wanita di ujung telepon menjelaskan situasi sebenarnya, tubuh Jade mendadak terasa lemas. Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya.
"Jane... kenapa kau pergi begitu cepat?" suaranya lirih, hampir tak terdengar, bibirnya bergetar hebat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya sebelum jatuh membasahi pipinya.
Ruang Autopsi
Marcus dan Sammy berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah berat. Mata mereka masih sembab akibat tangisan yang terus mengalir sejak mendengar kabar buruk itu. Udara dingin di ruangan itu semakin menambah rasa nyeri di dada mereka.
Di hadapan mereka terbujur sebuah tubuh yang tertutup kain putih. Sammy menatap lekat-lekat, menolak kenyataan yang ada di depannya. Ia menggelengkan kepala keras, air mata kembali tumpah.
"Tidak... aku tidak mau lihat. Jane ada di rumah. Dia tidak mungkin ada di sini!" suaranya penuh kepanikan, seolah berharap ada kesalahan.
Marcus menelan ludah, berusaha menguatkan diri meskipun kedua tangannya gemetar hebat. Dengan perlahan, ia meraih kain putih itu dan menariknya ke bawah.
Saat wajah pucat Jane terlihat, napas Marcus tertahan. Tubuhnya membeku. Seketika, tangisan pecah di ruangan itu.
"Jane... tidak...!" suara mereka bergema, dipenuhi kesedihan dan ketidakpercayaan.
Di saat yang sama, Jade berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan memilukan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya mengepal erat, jemarinya bergetar menahan emosi.
Dalam hatinya, ia bersumpah.
"Jane, siapa pelakunya? Aku akan mencarinya sampai dapat."
Ia melangkah pergi dengan tatapan penuh tekad. Air mata masih mengalir, tetapi kini bukan hanya kesedihan yang memenuhi hatinya—melainkan dendam yang membara.
"Siapa pun kalian, aku tidak akan membiarkan kalian lolos," gumamnya penuh kemarahan.
Di kantor polisi, Jade dan kedua orang tuanya duduk di ruangan yang berbeda, memberikan keterangan. Mata mereka sembab, wajah mereka dipenuhi kesedihan. Ruangan itu terasa begitu dingin dan mencekam.
Seorang petugas polisi yang duduk di hadapan Jade membuka berkasnya, lalu menatapnya dengan ekspresi serius. "Korban mengalami kekerasan seksual sehingga kehilangan banyak darah. Selain itu, ada luka cukup parah pada bagian vitalnya. Diperkirakan, korban meninggal tak lama setelah kejadian."
Jade membeku di tempat. Tangannya mencengkeram lengan kursinya, kukunya hampir menembus kulitnya sendiri. Dadanya sesak. Ia tidak sanggup membayangkan penderitaan yang dialami Jane di saat-saat terakhirnya.
Sebuah foto diletakkan di atas meja. Foto Jane—pucat, penuh luka lebam, dan terbujur kaku.
Air mata kembali mengalir di wajah Jade. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang hampir pecah.
"Apakah tersangka telah ditemukan? Atau ada seseorang yang dicurigai?" suaranya terdengar serak, tetapi nada tegas dalam suaranya tidak bisa disembunyikan.
Polisi itu menghela napas. "Kami masih menunggu hasil autopsi. Sampel darah dan sperma sedang kami periksa untuk mengidentifikasi pelaku."
Di saat yang sama, Leon sedang berdiri di ruangan sebelah memperhatikan Jade yang sedang menunduk sedih.
"Tuan, apakah ingin bertemu dengan keluarga korban?" tanya seorang polisi yang berdiri di sampingnya.
"Tidak perlu! Kedatangan saya hanya ingin mendengar bagaimana pihak kepolisian menangani kasus ini," jawab Leon." Saya berharap kalian bisa berusaha semaksimal mungkin!" ucapnya tegas.
ayo katakan yg sebenarnya