NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kuasa Bukan Berarti Kekuatan

Setelah sunyi yang panjang, Kaisar tiba-tiba tersenyum.

Bukan senyum bangga atau ringan. Tapi... senyum yang mengandung banyak tahun, banyak ingatan.

Ia menoleh pada Xuan.

Menatap wajah yang dulu ia pilih... bukan karena kecantikan semata, tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari itu.

“Aku tidak salah... mengambilmu sebagai selir.”

Xuan tak mengubah ekspresi. Tapi matanya berkedip sekali, pelan.

Kaisar melanjutkan.

“Waktu itu... semua orang bilang aku gila.

Mengangkat pencuci pakaian jadi pendamping, apalagi di usia semuda itu.

Tapi aku... butuh seseorang sepertimu di tengah istana yang kejam ini.”

"Dan sekarang... aku butuh putra yang seperti itu. Murni tak bersyarat."

Xuan terpaku.

Kata-kata itu datang seperti angin hangat setelah musim dingin panjang.

Tapi justru saat itu... hatinya berdesir tajam.

"Putra seperti aku...? Murni tak bersyarat?

Tapi aku... baru saja mencoba memisahkan gadis seperti itu dari hidupnya.

Gadis yang bahkan tak menuntut...

Gadis yang mungkin... mencintainya tanpa syarat. Demi... kekuasaan(?)”

Hati Xuan mulai goyah.

Ia tahu... Yanyu mungkin mencintai putranya, dan untuk saat ini Yanyu tidak terlihat buruk juga hatinya. Selain itu...

Ia hendak bicara—tapi Kaisar sudah bergerak.

Dengan gerakan perlahan, ia menyentuh bahu Xuan, lalu memeluknya.

Bukan pelukan penuh hasrat. Tapi...

pelukan orang yang akhirnya berhenti bertahan.

Pelukan seorang pria, yang untuk sekali ini...

...hanya ingin tidak menjadi Kaisar.

“Beristirahatlah... di sisiku malam ini.”

Xuan tak menolak.

Tak membalas juga. Tapi tubuhnya... tidak menjauh.

Dan ketika Kaisar menyandarkan kepalanya di lehernya,

...dan membiarkan tubuh mereka rebah bersebelahan di ranjang besar itu,

Xuan menutup matanya.

Bukan karena ingin tidur.

Tapi karena...

untuk pertama kalinya dalam sekian tahun,

tak ada yang perlu dirisaukan, dalam pelukan hangat ini.

Selimut sudah tertarik separuh tubuh mereka.

Lentera tinggal satu. Api kecil bergetar karena angin lembut dari kisi jendela.

Kaisar tak memeluk Xuan dengan erat.

Tapi napasnya menyentuh pelipisnya—hangat, tapi berat.

“Xuan…”

Xuan bergumam pelan.

"Hm?”

“Aku sudah merasa... akhirku dekat.”

Xuan membuka mata.

Detak jantungnya berubah.

Pandangannya menajam ke langit-langit, lalu perlahan berbalik menatap pria di sampingnya.

“Apa maksudmu...?

Apa... kamu sakit? Ah ada yang sakit??”

Tangannya meraba pergelangan Kaisar—lalu ke pipinya.

Tak ada demam. Tapi matanya...

“Kau... kelihatan lelah. Tapi… jangan bilang seperti itu.

Kau masih kuat. Kau—”

Kaisar menggeleng pelan, menyentuh tangan Xuan.

Mengecup punggungnya singkat.

Lalu menatapnya dalam.

"Bukan sakit. Tapi aku tahu tubuhku.

Aku bisa merasa... bahwa waktu tinggal sebentar.”

“Aku mulai ragu apakah aku bisa menyelesaikan tahun ini di atas takhta.”

Xuan mulai menangis. Diam. Tapi air matanya turun.

"Jangan bicara seperti itu.

Kau... kau tidak akan kenapa-kenapa.”

Kaisar tersenyum. Tapi matanya jujur.

“Aku tidak takut mati.

Yang kutakutkan hanyalah... meninggalkan dunia ini tanpa memastikan siapa yang layak menggantikan.

Dan kini... aku tahu jawabannya.”

Xuan menahan napas.

"Kau ingin... Rui...?”

Kaisar mengangguk.

“Dia tidak sempurna. Tapi tidak ada yang lebih siap darinya.”

Kaisar masih menatap Xuan, pelan, tapi mata itu tak lagi sendu.

Kini ada bara pemikiran panjang yang akhirnya siap diucapkan.

“Xuan…

Aku tahu apa yang kau pikirkan.

Dan aku tahu... kamu tak mudah digoyahkan oleh angka dan perhitungan.

Tapi izinkan aku bicara sebagai pemimpin.

Bukan sebagai ayah, bukan sebagai kekasihmu yang dulu.”

Xuan tidak mengangguk. Tapi dia mendengar. Sepenuh hati.

Kaisar melanjutkan, tenang, tapi tegas.

“Rakyat—rakyat kecil dan pejabat daerah—mencintai Rui.

Mereka melihatnya menolak pajak tambahan saat paceklik.

Melunakkan hukuman bagi petani.

Mengirim pasokan pangan sebelum dititah.

Mereka tahu... dia tidak butuh mahkota untuk memimpin.”

“Tapi... faksi istana?”

Ia menarik napas.

“Mereka mendukung Pangeran Pertama.

Karena dia... adalah keponakan Menteri Ritus Ji Lian Sheng.

Dan pamannya itu—kakak dari ibu Cheng Yao—punya koneksi sampai ke akar istana.

Dari Kementerian Pajak, Militer, sampai Perdagangan dan Ritual.”

Xuan menggertakkan rahangnya. Ia tahu ini. Tapi ia tak suka mendengarnya.

“Mereka tak peduli adil atau tidak. Mereka ingin kestabilan yang bisa mereka kendalikan.”

Kaisar melanjutkan.

“Sampai hari ini... kekuatan keduanya nyaris seimbang.

Rui: 50 persen, berkat aku yang sering memberinya tugas dan kepercayaan.

Cheng Yao: 50 persen, terorganisir.

Sisanya abu-abu—menunggu angin.”

Kaisar menoleh padanya. Pandangannya kali ini... memohon.

“Tapi kalau Rui menikahi Nona Ji…

maka faksi-faksi oportunis akan berpindah.

Tidak karena cinta. Tapi karena naluri bertahan.

Mereka akan lihat ini:

‘Jika putra keempat bisa jadi pusat kekuasaan dan juga menantu Ji, maka itu taruhan paling aman.’

Angka itu... jadi 100 persen.”

Sunyi. Tapi sunyinya tajam.

Xuan perlahan menatap lantai.

Tangannya saling menggenggam di pangkuannya.

Ia tahu... ini bukan perintah. Tapi...

“Kau ingin aku... mendorong Rui untuk meminang Yanyu?”

Kaisar tidak menjawab segera. Tapi setelah beberapa detik, ia berkata:

“Tidak. Aku ingin kamu membantu Rui...

untuk tidak menjauh darinya."

Xuan akhirnya bicara. Suaranya pelan, tapi mengandung ketegasan wanita yang terbiasa membaca arah politik sejak muda.

“Tapi bukankah semua... kembali pada keputusanmu?”

“Kau Kaisar. Jika kau memilih Rui, maka... bukankah itu cukup?

Siapa yang bisa menolak titah Kaisar?”

Kaisar memutar kepala pelan, menatap wanita yang pernah menjadi kekuatannya—dan kadang, hatinya.

Tatapan itu penuh pahit.

“Cukup... untuk satu hari.”

“Tapi tidak cukup... untuk satu kehidupan.”

Ia berdiri dari tempat duduknya perlahan. Tidak marah. Tapi nadanya berubah. Lebih dalam.

“Xuan…

Kekuasaan tertinggi hanya bertahan... jika akar di bawahnya tidak membusuk.”

"Aku bisa menunjuk Rui. Dan besok, semua pejabat akan menunduk.

Tapi lusa, ketika mereka berkumpul di balik layar...

ketika menteri perang dan menteri ritus duduk tanpa dia…

ketika pasukan yang berutang budi pada Cheng Yao masih memegang pedang…”

Ia berhenti. Lalu membalikkan badan perlahan. Menatap Xuan seperti seorang pria biasa yang letih—bukan Kaisar.

“...apa kau yakin dia akan bertahan?”

Xuan menggigit bibir bawahnya. Tapi Kaisar belum selesai.

“Dan aku... Xuan... aku tahu dendam itu.

Kau pikir mereka akan membiarkan aku hidup setelah menunjuk pewaris yang mereka anggap melemahkan posisi mereka? Aku rasa Rui juga tak akan membiarkan tikus-tikus istana tetap di posisinya jika naik tahta. Dan itu juga alasan beberapa orang tak mau memihak Rui."

Ia menarik napas berat.

“Jika aku mati karena pilihan itu... aku tidak takut.

Tapi... aku takut Rui akan berdiri sendiri di istana yang belum siap menyambutnya.”

Langit di luar sudah pekat, dan suhu udara terasa lebih dingin.

Hanya seberkas cahaya dari lentera gantung yang tersisa, bergoyang pelan seperti napas.

Kaisar tertidur lebih cepat dari biasanya.

Untuk pertama kalinya... dalam dua malam terakhir, tak ada jeritan di dalam mimpi, tak ada keresahan di balik kelopak.

Kepalanya bersandar ringan di sisi ranjang, tangan masih menyentuh ujung selimut, seolah menahan sesuatu agar tak pergi.

Xuan memandanginya dalam diam.

Tak berani bergerak. Tak bisa memejam.

Di benaknya, suara Kaisar masih terngiang.

"Aku tahu... waktu tinggal sebentar.”

“Aku takut Rui akan berdiri sendiri di istana yang belum siap menyambutnya.”

Hatinya sesak.

Karena malam ini, Kaisar tidur dengan tenang.

Tapi ia sendiri—tak bisa.

Mata Xuan menatap tirai jendela yang bergoyang.

Bau gaharu masih samar di udara.

Tapi pikirannya terlalu gaduh untuk ditenangkan aroma.

“Jika ini pilihan yang benar…

Kenapa rasanya seperti aku sedang mengirimkan putraku... ke tempat yang tidak akan memaafkan kelembutan?”

Ia tidak menangis.

Tapi malam itu, Xuan tidak tidur.

Karena... keputusan besar tidak selalu datang dengan suara guntur.

Kadang...

ia hanya datang dengan sunyi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!