Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Seorang Anak yang Merindukan Ibu
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai melalui kaca jendela kamar Marsha. Suasana yang tenang setelah semalaman sempat turun hujan, membuat gadis itu malas meninggalkan ranjang empuk miliknya.
Marsha menggeliat, mencoba mengurai otot-otot tubuhnya yang tegang sejak memikirkan ayahnya yang sakit.
"Pagi, Marsha." Suara bariton khas pak Tama terdengar di ambang pintu kamar.
Membuat Marsha terlonjak dan langsung duduk membenarkan posisi tubuhnya.
"Pagi, Pa. Loh kenapa ke sini? Bukannya Papa harus istirahat total? Jangan turun ranjang dong, Pa." Marsha berbicara sembari menarik lengan ayahnya agar duduk di kasur empuk miliknya.
"Papa masih penasaran," ujarnya sambil menghela napas berat.
Kening Marsha berkerut. Ia benar-benar dibuat bingung di oleh sikap Ayahnya.
"Tentang apa?"
"Tentang, bagaimana pembicaraan akhir kalian. Kamu paham 'kan maksud Papa itu apa? Tentang kamu dan Gio?" Wajah Pak Tama berubah pias.
Ketakutan rupanya benar-benar sudah menyelimuti pikiran lelaki setengah baya itu.
"Ok, aku setuju deh sama Papa. Tapi cepet sembuh ya," rayu Marsha.
"Bener? Kamu gak bohong 'kan sama Papa?" Pak Tama kembali mengamati ekspresi putrinya.
Seolah mencari tahu apakah benar Marsha menerimanya, atau sekedar ingin menyenangkan dan malah menutupinya dengan kebohongan lainnya.
"Bener, terserah Papa. Sekarang istirahat ya. Papa kembali ke kamar," bujuk Marsha sambil bangkit dari tempat tidurnya dan mendorong tubuh tua yang masih kekar itu.
Raut wajah Pak Tama seketika berubah riang. Senyuman indah pun melengkung indah menghiasi wajahnya.
"Kalau begitu kapan keluarga Giorgio boleh ke sini untuk meminang kamu?" tanya Pak Tama kembali memastikan.
Mata Marsha terbelalak. Ia tidak menduga ayahnya semenggebu itu ingin dia menikah.
"Kenapa harus buru-buru sih, Pa?" tanya Marsha yang mulai menunjukkan rasa tak suka.
Ya. Ia memang tidak suka diatur hidupnya. Bagi Marsha, ia ingin semuanya mengalir seperti air. Pun begitu dengan perihal jodoh, hidup, dan rezekinya.
Pak Tama kembali menghela napas sebelum akhirnya menjawab.
"Papa ini sudah tua, sakit-sakitan. Anak satu-satunya ya cuma kamu. Terus siapa yang melanjutkan bisnis Papa? Kakak tirimu? Dia sukanya kelayapan gak jelas setiap hari," ungkap pak Tama membuat Marsha benar-benar mendengarkan.
Kini gadis itu mulai mengerti tentang keresahan ayahnya. Ternyata ia sangat takut jika ia mati cepat dan tidak ada yang mengurus atau bahkan menjaga putrinya dengan baik.
Dulu, pertama pak Tama membawa Danu dan ibunya pulang, ia berpikir jika ayahnya akan lupa dan tidak sayang lagi padanya.
Dan kenyataan berkata sebaliknya. Marsha adalah prioritas pertama bagi pak Tama.
Akhirnya, meskipun dengan berat hati, Marsha merelakan hidupnya direnggut kebebasanhya oleh tali pernikahan.
***
Perdebatan singkat dengan pak Tama baru saja selesai, Marsha juga baru selesai melakukan ritual membersihkan diri.
Tetapi ia dibuat terkejut oleh suara dering ponsel miliknya, yang sejak kemarin masih teronggok di atas nakas sebelah ranjangnya.
Ponsel yang nyaris tidak ia sentuh sejak kemarin sore, selepas acara meet and greet bersama para penggemarnya.
Nama Joseph terpampang di layarnya, membuat perempuan berparas cantik itu terlonjak riang. Ya, mereka sempat bertukar nomor ketika acara selesai.
Dan meskipun sopir pribadinya menjemput, ternyata Marsha justru memilih diantar langsung oleh Joseph kala itu.
"Halo, Pak Joseph. Lagi gak sibuk kah?" tanya sekaligus sapa Marsha pada seseorang di seberang telepon.
"Loh 'kan kemarin sudah janji. Kalau saya mau ajak kamu kenalan sama seseorang," tandasnya, membuat kening Marsha berkerut jadinya.
"Seseorang? Siapa?" tanya Marsha mendesaknya.
"Nanti kamu pasti tahu sendiri, aku sudah di halaman rumah kamu. Cepat keluar ya," terang Joseph membuat Marsha terkejut, lalu menutup sambungan telepon itu secara sepihak.
Ia langsung meraih hand bag miliknya lalu berlari. Bagaimana tidak, Marsha baru saja berjanji pada sang ayah jika ia menerima pinangan Gio, bagaimana jadinya jika ayahnya tahu ada pria lain yang sedang menjemputnya dan menunggu di halaman.
Marsha benar-benar merutuki kesalahannya sendiri yang begitu ceroboh mengambil keputusan.
Beberapa menit kemudian, Marsha sudah sampai di halaman rumahnya. Halaman super luas dengan taman bunga dan beberapa gazebo di sana.
Ia baru saja menata napasnya yang masih terengah-engah karena berlari, tapi sudah harus masuk ke dalam mobil karena Joseph sudah membukakan pintu untuknya.
Sementara itu, Danu yang merupakan kakak tirinya melihat Marsha dengan tatapan tidak suka. Memperhatikan Joseph dari ujung rambut hingga ke kaki.
Tentu saja hal itu membuat pria berpostur tegap itu tak nyaman dibuatnya.
Marsha menghela napas berat.
"Ayo, cepat masuk. Dia kakak tiriku. Gak penting merhatiin dia, orangnya suka ngadu ke Papa," cetus Marsha.
Rasa penasaran seketika melintas di benak Joseph, tapi ... ya sudahlah. Akhirnya ia memilih untuk melajukan mobilnya meninggalkan tempat.
"Mau ke mana sih, Pak Joseph?" tanya Marsha penasaran.
Gadis itu bahkan terus memandangi raut waja Joseph yang pandangannya fokus memperhatikan lalu lalang jalanan yang ramai.
"Jadi gini, tapi kamu jangan kaget ya. Aku ini sebenarnya seorang duda, punya anak satu, usia lima tahun. Dan aku janji mau temuin dia sama mamanya," jelas Joseph membuat Marsha ternganga.
"Duda? Mau temuin si anak dengan mamanya? Lah kok ajak saya, Pak?" Marsha bertanya dengan raut terkejut sekaligus bingung.
"Panggil saya Ios aja bisa engga, atau Joseph. Jangan, Pak. Saya masih usia tiga puluh, belum tua banget loh Sya." Joseph berbicara sambil memasang ekspresi kesal di wajahnya.
"Iya, sebenarnya mau aku panggil Jo. Tapi takut sama dengan sopir saya," celetuknya sambil terkekeh.
Candanya sungguh membuat candu. Ekspresi yang apa adanya tanpa dibuat-buat semakin membuat Joseph menyukainya.
"Mama ankku sudah di surga. Dia meninggal sejak kelahiran Steven. Kamu gakpapa 'kan kalau sedikit akting?"
Mendengar pengakuan Joseph, senyuman yang sempat menghiasi wajah cantik itu langsung memudar, bahkan hilang.
"Sebenarnya saya paling gak suka dengan kebohongan, tapi berbohong demi kebaikan ... entah. Saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa," ungkap Marsha.
Akhirnya, setelah mendengar langsung dari bibir Marsha Joseph bisa sedikit lega.
Ia menghela napas dalam, lalu mengembuskannya. Berulang kali ia melakukan hal yang sama, ketika mobil yang ia tumpangi telah terparkir di halaman sekolah taman kanak-kanak.
Suasana di sana sangat ramai, banyak anak kecilnya yang sedang berlarian menghampiri orang tua mereka.
Joseph berjalan mengitar, lalu membukakan pintu mobil untuk Marsha.
Untuk pertama kalinya, hati gadis cantik itu diketuk oleh kehadiran seorang anak balita. Steven namanya.
Bocah yang nyaris tak pernah senyum, tapi hari ini ia berlari riang ke arah Marsha. Gadis itu terkejut ketika Steven langsung berlari ke arahnya dan memeluk kedua kaki jenjangnya.
Marsha langsung duduk berjongkok, dan merentangkan kedua tangannya membalas pelukan anak itu.
"Mama, benarkah kau mamaku. Kau sangat cantik, lebih cantik dari foto yang ditunjukkan oleh Papaku," cetusnya dengan raut polos.
Marsha bingung, bagaimana sekarang ia harus membagi waktu dan sikap antara untuk kehidupannya sendiri, dan juga untuk bocah kecil di hadapannya yang malang karena selalu merindukan sosok ibu.
Bersambung....