NovelToon NovelToon
World Imagination

World Imagination

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Epik Petualangan / Akademi Sihir / Kehidupan Tentara / Perperangan / Barat
Popularitas:580
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!

Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selidik

"Kau sudah sadar?" tanya seseorang berhasil mengembalikan kesadaran Sean sepenuhnya. "Guru.." gumam Sean terkejut ketika mendapati Marito duduk di kursi sebelah tempat tidurnya, sambil membaca buku.

"Apa masih ada yang sakit?" tanya Marito masih fokus membaca buku. "Tidak ada... yang terasa sakit" gumam Sean mengubah posisinya menjadi duduk. "Guru, kau tidak... bekerja?" tanya Sean terheran mengetahui Marito di sana.

"Cuti" jawab Marito menutup bukunya. "Kau lapar bukan? Akan kuambilkan sarapan" ujar Marito beranjak dan meninggalkan Sean di sana.

"Kau mau ke mana?" tanya Daisuke berpapasan dengan rekannya itu. "Sarapan" jawab Marito dengan pandangan lurus ke depan.

Daisuke menggeleng-geleng pelan. Ia akhirnya masuk ke ruangan Sean.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau sudah baikan?" tanya Daisuke pada Sean yang melamun memperhatikan keramaian ibu kota dari jendela.

"Ahk, sudah. Oniisan tidak bekerja?" tanya Sean balik terheran. "Aku masih dapat hari istirahat setelah perjalanan panjangku selama sebulan" jawab Daisuke duduk di dekat jendela.

Sean mengangguk paham. "Mungkin siang ini kau sudah bisa beristirahat di rumah" ujar Daisuke meletakkan sekotak roti yang ia beli di toko.

"Syukurlah, aku tidak suka aroma rumah sakit" jawab Sean terkekeh. "Pastinya semua akan mengatakan hal yang sama sepertimu" gumam Daisuke tertawa kecil.

"Oniisan, sepertinya guru tidak tidur semalaman" lapor Sean berhasil membuat Daisuke terbelalak tidak percaya.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Daisuke terheran. "Arie bilang, orang yang sering tidak tidur sampai pagi atau begadang punya kantong mata yang gelap" jawab Sean dengan polos.

Daisuke tertawa kecil mendengarnya. Memang benar, Marito sering sekali tidak tidur sampai pagi karena pekerjaan dan tugas yang diterimanya.

Namun, ia tidak pernah berjaga malam untuk seseorang. Itu bukan hal biasa.

"Kenapa oniisan terkejut?" tanya Sean terheran. "Dia jarang begadang" jawab Daisuke berdalih.

Sean mengangguk-angguk paham.

"Guru bilang, dia juga cuti hari ini. Memangnya apa yang terjadi padaku tadi malam? Wajah guru tampaknya sangat serius"

Daisuke terdiam bingung. Namun setelahnya ia tahu mengapa Marito memilih untuk cuti.

"Justru aku yang ingin bertanya, apa kau merasakan sesuatu saat kau tidur?" tanya Daisuke balik sambil tersenyum simpul.

Sean berpikir mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. "Ahk iya, ada sesuatu seakan mencekikku. Aku sampai tidak bisa bernafas karena itu" jawab Sean akhirnya ingat.

"Marito mungkin akan menyelidiki apa yang terjadi secara mandiri" kata Daisuke memakan roti yang dibelinya lalu menyuapi Sean.

"Oniisan tidak membantunya?" tanya Sean terheran. "Saat aku menawarinya bantuan, yang dikatakan olehnya justru menusuk hatiku" jawab Daisuke terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Guru tampaknya orang yang keras dan tidak lemah lembut. Marry kekasih Arie yang super galak saja pasti tunduk padanya" gerutu bocah itu.

"Hahaha, kau ada-ada saja. Tampangnya saja datar tidak berperasaan, tapi hatinya lembut seperti sutra terbaik di dunia" jawab Daisuke.

"Oniisan melebih-lebihkan saja"

"Hahaha. Kau sendiri justru mengira yang tidak-tidak pada gurumu"

"Bukan begitu!"

Tanpa mereka tahu, Marito mendengar percakapan mereka dari luar ruangan.

Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya memilih masuk. "Ini sarapan untukmu. Jika ada sesuatu hubungi aku, pagi ini aku akan berangkat ke desa"

Marito meletakkan sebungkus makanan yang ia beli dan ia kembali berjalan keluar dari ruangan itu.

"Sepagi ini? Tidakkah bisa kau tunda nanti siang?" tanya Daisuke terheran.

Marito menghentikan langkahnya. "Aku titip dia padamu, aku tidak akan lama" jawab Marito tanpa menoleh dan ia kembali berjalan.

Daisuke menghela nafas setelah perempuan itu benar-benar pergi.

"Apa guru tidak menyukaiku? Mengapa ia menjaga jarak sekali?" tanya Sean menunduk ragu.

"Hey, Leon itu kaku. Maklumi saja" jawab Daisuke tertawa kecil. Wajar saja pertanyaan itu muncul di benak seorang bocah seperti Sean sekalipun.

"Sudahlah jangan dipikirkan. Lihat, dia saja sudah melihatku membawakanmu roti. Tapi tetap saja ia membawakan sarapan lagi untukmu" ujar Daisuke membuka bungkusan dari Marito.

Sean tertawa kecil melupakan kesedihannya.

Di sisi lain,

"Oh ayolah, dia saja sepertinya tenang sekali berada di Panzer. Berhentilah terlihat seperti orang putus cinta" ujar seorang pria pada Earnest.

"Hey, kau tidak tahu betapa menyedihkannya hidupku ketika ia meninggalkanku" jawab Earnest penuh drama.

David Hale, sahabat Earnest sejak 50 tahun lalu itu geram melihat tingkah pria tua di hadapannya. Arie hanya bisa menghela nafas memaklumi hal itu.

"Kau tidak tahu bagaimana muridku yang satu itu. Dia benar-benar keras dan tidak tahu ampun, mengapa mendiang putriku begitu menyukainya?" gumam Earnest super ekspresif.

"Marito pasti memperlakukannya dengan baik, komandan" saran Arie dengan tenang.

"Bagaimana mungkin? Cucu malangku yang patuh dan tidak tahu dunia luar itu harus berperang demi masa depannya" jawab Earnest penuh emosional dan dramatis.

"Jika kau tadinya tidak tega membiarkan dia berkelana sendirian, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?" tanya David terheran.

Suasana berubah. Earnest terdiam. "Ada apa? Benar bukan?" tanya David lagi.

Arie menatap Earnest ragu. "Aku tidak bisa kembali ke sana, David. Sean yang kulepas bahkan kuminta untuk mengganti namaku" jawab Earnest terkekeh. "Aneh" gumam David beranjak.

Arie masih diam di tempat dan menatap Earnest ragu. "Seharusnya ia terlahir bukan dengan nama belakang Colbert. Tapi aku melakukannya, agar mereka tidak tahu jika Sean anak dari mereka"

Arie menghela nafas memaklumi. "Kenapa komandan tidak pernah mengatakan nama ayah dan ibu Sean?" tanya Arie terheran.

Menurutnya, akan lebih baik jika Sean tahu identitas kedua orang tuanya.

"Dia terlalu polos. Bisa saja dia menyebut nama ayah dan ibunya pada orang asing. Orang tuanya sangat dikenal luas"

Earnet mengatakan itu seraya tertawa menutupi rasa sedihnya. Arie tahu, pria tua ini pasti masih mengharapkan adanya kehidupan yang dijalani oleh orang tua Sean.

"Apalagi jika dunia tahu aku masih hidup, tidak hanya Sean yang terancam, tapi juga Panzer dan negara ini" gumam Earnest merebahkan tubuhnya seraya memejamkan mata.

"Para kriminal sangat benci mendengar namaku, dan namanya"

Arie menghela nafas untuk kesekian kali memaklumi penjelasan itu.

Siapa sebenarnya orang tua Sean? Sampai Earnest menyembunyikan identitas asli mereka dan dirinya sendiri, lalu mengubah nama Sean. Apakah mereka, orang yang sangat berpengaruh?

................

"Tadaima" gumam Daisuke memasuki rumah dengan Sean yang mengekori dirinya.

"Selamat datang" sahut Jiali muncul dari dapur. "Harum sekali. Apa yang sedang kau masak?" tanya Daisuke penasaran.

"Sup biasa. Aku pikir ini adalah menu yang cocok untuk orang yang baru saja selesai dirawat dari rumah sakit" jawab Jiali terkekeh.

"Tidak perlu repot begitu, kak. Aku hanya tiba-tiba tidak sadar, bukan koma berbulan-bulan" ujar Sean mengerti maksud itu.

"Hahaha. Anggap saja ini rumahmu juga, Sean. Kau tidak sendirian di sini" tutur Jiali tertawa kecil.

"Di mana Marito?" tanya Chloe terheran. "Dia pergi ke desa. Aku sudah memintanya menunda keberangkatan, tapi dia tetap pergi dan mengoper tugasnya" jawab Daisuke menghela nafas lelah.

"Aku sudah selesai, tidak perlu takut aku akan kembali terlalu lama" ujar seseorang di pintu.

Daisuke dan Sean berbalik. Sean terbelalak kaget ketika Marito yang baru saja tiba, kembali dengan darah segar mengalir di pelipis kanannya.

"Kau habis bertengkar dengan siapa?" tanya Chloe terheran. "Joe" jawab Marito singkat.

Daisuke menggeleng-geleng tidak habis pikir. "Kenapa kau bisa sampai bertengkar dengan dia? Kau tidak kapok dikasari oleh pria gila itu?" tanya Jiali menarik Marito duduk di sofa dan mengambil peralatan untuk pembersih luka.

"Aku hanya mengatakan fakta saja, tapi dia memukulku. Ini bukan sesuatu yang sakit" jawab Marito santai.

"Apa kau merasa pusing?" tanya James di sana. "Tidak" jawab Marito. James menghela nafas lega.

Sean yang masih terdiam di tempat menatap Marito tidak percaya. "Masuklah ke kamarmu, Sean. Aku akan menyusul" perintah Marito tanpa menoleh pada bocah itu.

Sean menurut dan berjalan menuju kamarnya. Daisuke menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya, menghadapi kegilaan Marito.

"Ubahlah sifat keras kepalamu. Sampai kapanpun, kau dan Joe akan terus berbeda pendapat" saran Daisuke dengan sabar luar biasa yang sudah ia siapkan. "Aku pergi menyelidiki orang itu, dan aku menemukan informasi dia sering bernegosiasi sesuatu dengan Joe. Saat aku menjumpainya, dan mempertanyakan itu, dia memukulku"

Daisuke tidak terkejut mendengar itu.

Siapa Joe?

"Lalu sekarang apa yang kau mau? Joe punya banyak koneksi, bahkan jika kau menuntutnya kau akan kalah" ujar Daisuke mencoba menyadarkan rekannya itu.

Marito tidak menjawab. "Kenapa tanganmu, ikut terluka?" tanya Jiali yang teliti. Marito menatap luka itu. "Aku membunuh orang yang mencoba membunuh bocah itu karena tidak menemukan solusi" Daisuke tentu terbelalak kaget.

"Apa maksudmu?" tanya Daisuke mendekat. "Penyihir kriminal, jadi aku meminta surat izin penangkapan" jawab Marito santai.

Daisuke menghela nafas dan memijit pelipisnya. "Terserahmu saja, menasehatimu memang menyulitkan" gumam Daisuke memilih pergi ke halaman belakang untuk melampiaskan kekesalan dan beban pikirannya.

"Dai, ajari aku karate"

"Tidak mau!"

"Oh, ayolah. Kau menyebalkan sekali jika sedang merajuk begitu"

Chloe mengekori Daisuke.

"Aku harus ke rumah sakit, mungkin anak-anak yang baru selesai menjalankan misi ada yang terluka" ujar James yang sudah menyiapkan makan siangnya dan akan berangkat.

"Berhati-hatilah" pesan Jiali. Dan kini di ruang bersantai itu, tersisa Jiali dan Marito.

"Marito-"

"Aku tahu, Jia"

Jialin diam beberapa saat. "Ini demi keselamatanmu juga. Mengingat kau seorang pasukan khusus. Kau bisa saja diberikan tugas berat yang tidak sesuai kapasitasmu"

Marito tidak menjawab. "Aku menjalankan apa yang diamanahkan padaku" gumam Marito menatap lurus.

"Apa kau masih merokok?" tanya Jiali bangkit lalu menyimpan kembali perlengkapan.

"Hanya beberapa kali" jawab Marito berjalan menuju dapur. Ia hendak membuat kopi.

"Dari apa yang sudah kupelajari-"

"Perempuan tidak boleh merokok karena dia akan hamil dan memiliki anak. Tapi aku tidak punya pikiran untuk hal romantis"

Jiali menghela nafas lelah. Sama seperti Daisuke, kini ia memijit pelipisnya.

"Akibatnya tidak hanya itu, Marito" gumam Jiali.

"Jika aku tidak menyentuh rokok, kau tidak akan menemukan aku yang berbicara normal"

Jiali memilih duduk seraya membuka buku catatannya.

"Apa yang kau buat?" tanya Jiali tanpa menoleh.

"Kopi dan teh, kau mau?" tawar Marito masih sibuk mengaduk kopi dengan air hangat.

"Tidak perlu. Sebentar lagi aku juga harus ke penjara bawah tanah. Ada seorang napi yang mengeluh sakit pada dadanya" jawab Jiali menolak tawaran itu.

"Bisa saja itu hanya akal-akalannya untuk kabur dari penjara" ujar Marito menata minuman itu pada nampan.

"Tidak bisa kukatakan demikian" jawab Jiali terkekeh menanggapi jawaban itu.

Marito membawa minuman itu ke lantai dua. Ia tiba di depan kamar Sean. "Sean" panggil Marito segera. Sean membuka pintu kamarnya.

"Guru.." gumam Sean mendapati gurunya membawa dua buah cangkir.

Beberapa saat,

"Jadi kakekmu bilang kau bisa menjadi orang hebat dengan datang ke sini?" tanya Marito mendengar alasan apa yang membuat Sean mau datang jauh-jauh dari De Oranje ke Panzer.

"Uhm, kakek bilang begitu" jawab Sean seraya menikmati sandwich yang dibuat Marito.

Marito menatap keluar jendela. "Belajarlah dengan giat, jangan permalukan kakekmu" pesan Marito menatap Sean dengan tenang.

"Baik, guru" jawab Sean tersenyum antusias. "Guru, bisakah aku bertanya?" tanya Sean penasaran. "Mengenai?"

Sejenak bocah itu terdiam ragu. "Kenapa guru jutek sekali? Bukankah tersenyum itu sehat?" tanya Sean terheran. Marito terkejut menerima pertanyaan aneh itu.

"Lebih baik kau belajar, nak. Malam ini aku akan mengajarimu beberapa pelajaran dasar akademi" pesan Marito bangkit berdiri.

Sean memasang wajah masam. Mata Marito teralih pada sebuah cahaya biru di leher bocah itu.

Matanya terkejut melihat kalung yang tidak asing. "Siapa yang memberikan kalungmu?" tanya Marito terheran. Ia merasa mengenali kalung itu.

"Ini? Kakek memberikannya sebelum aku belayar" jawab Sean tersenyum senang.

Marito terdiam dengan kening berkerut. "Fredrick, huh ?" batin Marito dalam diam.

"Baca buku yang kusediakan. Kemungkinannya minggu depan kau akan tes masuk akademi"

"Siap, guru"

Marito akhirnya pergi meninggalkan bocah itu. Ia bersiap menuju suatu tempat.

......................

"Ya? Sebentar" sahut seorang pemuda, ketika ia mendengar suara ketukan pintu rumahnya.

Namanya, Jacob Mark. Usianya sekitar 30 tahun, perawakannya berwibawa dan tinggi. Ia bekerja sebagai pasukan intelijen di negara itu.

"Hi, Jake" sapa seorang gadis padanya. Marito datang jauh-jauh dari ibu kota ke tempat terpencil di negara Panzer, untuk menemui dia.

Beberapa saat,

"Keluarga Fredrick?" tanya Jacob terheran dan merasa asing dengan nama itu.

"Ya, entah pensiunan atau semacamnya. Apa kau kenal?" tanya Marito membenarkan.

Jacob diam beberapa saat sambil berpikir. "Ada beberapa orang yang kukenal bernama Fredrick. Jadi aku tidak bisa memastikan Fredrick yang kau maksud" jawab Jacob ragu.

Marito menghela nafas. "Memangnya ada apa?" tanya Jacob terheran. "Aku sudah terbiasa menerima anak titipan dari beberapa keluarga. Tapi beberapa minggu yang lalu, aku menerima surat dari seorang pria bernama Fredrick dan mengirimku beberapa uang dengan jumlah besar untuk mendidik cucunya"

Jacob menatap Marito terkejut. "Terakhir kali anak kaya raya itu bukan? Kau beruntung sekali" ujar Jacob terkesan.

"Lupakan saja bocah itu. Aku hanya bingung sekaligus penasaran" gumam Marito dengan wajah masam. "Jika orang itu mengirimu surat, seharusnya dia mengenalmu. Kenapa kau justru menanyaiku soal pria itu?" tanya Jacob terheran.

"Itu dia, Jake. Dia bisa tahu alamatku, instansi tempat aku bekerja, dan nama depanku yang kusamarkan. Itu aneh, tapi aku tetap menerima bocah yang ia titip" jawab Marito memijit pelipisnya. Sejujurnya ia pusing.

"Kau menerimanya karena uang?" tanya Jacob meledek. "Tidak, tapi nama belakang bocah itu" jawab Marito menggeleng.

"Nama belakang?" gumam Jacob terheran. "Nama bocah itu, Sean Colbert" Jacob yang mendengarnya terdiam. "Colbert? Kau salah baca mungkin" ujar Jacob tidak percaya.

Marito mengeluarkan sebuah map berisi berkas lalu menunjukkan biodata Sean.

"Colbert.. bukankah itu nama-"

"Ya"

Jacob membaca biodata Sean. "Dan, matanya sama seperti milikku" Jacob menatap Marito terkejut. "Berapa umur bocah itu?" tanya Jacob memastikan kembali.

"11 tahun" Jacob menghela nafas lelah. "Sekarang apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Jacob mengerti maksud kedatangan Marito.

"Cari tahu latar belakang bocah ini, pria tua bernama Fredrick.. dan satu lagi, Arie"

Jacob memiringkan kepalanya terheran. "Arie? Hah? Bukankah dia gugur dalam perang 11 tahun lalu?" tanya Jacob terheran.

"Sama seperti asumsimu. Jika nama Fredrick saja ada banyak, nama Arie juga bisa jadi. Sean sering menceritakan Arie dan kakeknya pada, Dai" jawab Marito menyandarkan tubuhnya.

"Rumit sekali. Lalu jika kau tahu semua tentang bocah itu apa yang akan kau lakukan?" tanya Jacob penasaran dengan tujuan rekannya.

"Menyembunyikannya dari pemerintah. Dia bocah jenius" jawab Marito menatap tajam Jacob.

"Sungguh? Bagaimana kau tahu?" tanya Jacob penasaran. Ini adalah kelebihan Marito. Dia tahu apa kelebihan dan kelemahan seseorang.

"Membuat kue" Jacob yang mendengarnya tertawa puas. "Yang benar saja, adonan kue bisa ditakar" jawab Jacob meledek.

"Dia tidak, Jake. Dia punya daya ingat yang kuat dan teliti. Cekatan adalah sebutan yang cocok untuknya. Dan dia, sepertinya ahli sains"

Jacob menatap Marito tidak percaya. "Aku di pihakmu jika bocah itu memang jenius. Pemerintah suka memanfaatkan hak orang lain" ujar Jacob tertawa kecil memaklumi.

"Kau salah satunya bukan?" tanya Marito meledek. "Hahaha. Aku lebih memilih diasingkan kemari dibandingkan bersanding dengan putri pria tua bangka itu" jawab Jacob tertawa menerima nasib buruk yang diterimanya.

"Hey, Marito. Gadis-gadis seusiamu sudah menikah. Kenapa kau tidak menikah saja?" tanya Jacob terheran.

Di antara semua teman sekaligus rekan Marito, Jacob adalah orang yang paling bisa diajak bergosip soal siapapun. Pemuda yang menarik.

"Aku perokok" jawab Marito dengan santai menyalakan rokok yang dibawanya.

Ia mulai menikmati asap rokok itu setelah membakarnya. "Cobalah untuk menahan diri" saran Jacob seraya menghela nafas.

"Ini sudah jadi kebiasaan burukku sejak usiaku 15 tahun, tapi dalam sebulan aku hanya menghirup 3 batang asap rokok" jawab Marito santai.

"Tetap saja" gumam Jacob hanya bisa memaklumi kebiasaan buruk yang menjadi bahan pelampiasan Marito selama ini.

"Apa yang terjadi dengan pelipismu? Aku baru memperhatikannya" tanya Jacob terheran.

"Ah, iya satu lagi.. selidiki transaksi gelap, prostitusi, lalu perdagangan manusia yang dilakukan Joe" Jacob memijit pelipisnya yang lelah dengan beban tugas baru.

"Kau ini, benar-benar menyusahkan. Kenapa kau suka sekali memberiku tugas?"

Di sisi lain,

"Tadaima" gumam Daisuke memasuki rumah. Tidak ada sahutan.

Ia bergegas masuk ke dalam dan memperhatikan sekitar. "Selamat datang" sambut Sean yang asik membaca buku di sofa.

"Kau belum tidur? Ini sudah larut malam" tanya Daisuke terheran. "10 menit lagi aku akan tidur" jawab Sean tanpa menoleh.

"Apa yang kau baca?" tanya Daisuke penasaran seraya melepas jaketnya lalu menggantungnya.

"Buku yang diberikan guru. Mungkin besok dia akan mengajariku beberapa hal" jawab Sean tampak antusias.

"Belajarlah dengan giat, minggu depan adalah ujian pertama akademi. 3 hari berturut-turut kau akan mengikuti tes" pesan Daisuke mengingatkan Sean agar lebih gigih.

"Astaga, berat sekali" gumam Sean menjadi lesuh mengetahui seberapa berat ujian masuk akademi.

"Jika aku tidak lulus apa yang akan terjadi?" tanya Sean penasaran. "Kau akan dikirim ke tempat terpencil untuk belajar khusus. Maka berusahalah, agar kau bisa langsung lulus masuk akademi" jawab Daisuke tertawa kecil.

Sean menghela nafas lelah. Sejujurnya itu adalah hal yang terlalu berat untuknya.

"Mungkin Leon akan mengajarimu sebuah seni pertahanan diri nantinya" ujar Daisuke membuat Sean memiringkan kepalanya bingung.

"Seni pertahanan? Bela diri?" tanya Sean memastikan maksud pemuda itu. "Ya. Dia menguasai dua jenis seni bela diri dari negerinya. Jujur saja, dia perempuan.. namun mengalahkannya adalah kesulitan di level tinggi"

Sean terdiam kaget. Marito yang cuek itu? Yang tampaknya seperti perempuan biasa.

"Oniisan tidak mengada-ngada bukan?" tanya Sean tidak yakin.

"Hahaha. Kalau denganku, pasti seri"

"Mari buktikan"

Daisuke terdiam mendengar tantangan itu. Ia berbalik badan, dan mendapati Marito di sana.

"Baiklah, kali ini akan seri seperti biasa"

......................

"Pagi-pagi begini? Lebih baik kalian sarapan lebih dulu" saran Jiali ketika melihat Marito dan Daisuke saling menyiapkan pertahanan terkuat mereka.

"Aku masih kenyang"

"Baiklah, aku tidak akan memasak untukmu"

Marito menatap Jiali dengan masam. "Jika kepala tahu kalian merusak rumput rumah dinas, kalian akan diberi sanksi tahu" ujar James memperhatikan mereka seraya duduk santai menikmati kopi buatan Jiali.

"Harimau biru, dan ular putih akan bertarung" gumam James terkekeh di samping Sean yang dengan serius memperhatikan mereka.

"Harimau biru dan ular putih?" tanya Sean penasaran. "Itu adalah julukan gaya bertarung mereka. Marito si harimau biru, dan Daisuke si ular putih" tutur Chloe menjelaskan.

Sean terbelalak kagum mendengarnya. "Baiklah, bersiap.. dan, mulai!"

Keduanya maju saling menyerang satu sama lain. "Cepat sekali, gerakan apa itu" gumam Sean bingung. "Aku sangat benci ketika kepala membuat pelatihan, dan menempatkanku berhadapan dengan mereka berdua" ujar Chloe tertawa sinis.

"Curang sekali jika kau menggunakan mata itu" ketus Daisuke tersenyum sinis. Matanya berubah menjadi putih. Urat-urat timbul di sekitar pipinya, "Putih?!" gumam Sean terkejut.

"Kekuatan mata milik Marito itu namanya Omba' Kilat, dan mata milik Daisuke itu Shiroi Hikari" Chloe kembali menjelaskan kekuatan dua rekannya.

"Apakah itu sihir?" tanya Sean lagi. "Ya, sihir mata. Ketika seseorang menerima sebuah kemampuan mata, maka energi yang digunakannya harus dalam jumlah besar" jawab Chloe membenarkan.

Sean semakin teliti memperhatikan setiap gerakan dari teknik bertarung dari Marito dan Daisuke.

"Merepotkan" ketus Daisuke tersenyum sinis. "Kau membuatnya lama, menyerah saja!" perintah Marito dengan tatapan tajam.

"Hahaha. Kita lihat saja"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!