Namanya Tegar, pemuda dengan pembawaan ceria tapi hatinya penuh dengan dendam.
Di depan kedua matanya, Tegar kecil harus menyaksikan kedua orang tua meregang nyawa dan kakaknya digilir di rumahnya sendiri, oleh sekelompok orang.
Yang lebih menyakitkan, para penegak hukum justru tunduk pada orang-orang tersebut, membuat dendam itu semakin dalam dan melebar.
Beruntung, Tegar mendapat keajaiban. Sebuah sistem dengan misi layaknya pesugihan, Tegar menemukan jalan yang bisa dia gunakan untuk melampiaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Itu Fakta
"Gar! Tegar! Bangun, Gar, udah siang!" teriakan seorang wanita tua yang disertai dengan ketukan pintu, mengusik telinga pria muda yang masih terlelap di atas kasurnya.
"Iya, Nek," dengan suara berat dan mata masih terpejam anak muda itu menyahut sebagai tanda kalau dia sudah bangun.
Anak muda itu menguap, lalu membuka matanya. Ketika Tegar meregangkan tubuhnya tiba-tiba dia terperanjat dan dia segera bangkit dari berbaringnya.
"Apa semalam aku mimpi?" gumam Tegar. Namun, saat dirinya memperhatikan keadaan tubuhnya saat ini, anak muda itu sadar kalau apa yang semalam dia lakukan adalah kenyataan.
Tegar lantas melempar pandangan ke arah kalender yang terpajang di dinding. Matanya menatap lekat gambar wanita cantik dengan pikiran berkelana, mengenang kejadian semalam yang penuh dengan kenikmatan.
"Hallo! Nona, Mbak, Miss, apa kamu masih di sini?" Tegar mencari sosok tak kasat mata yang semalam merenggut keperjakaannya.
"Apa dia pergi?" Tegar lalu melempar pandangan pada kotak yang tergeletak di lantai. Tangan Tegar bergerak, memungut benda tersebut. "Apa dia masuk kembali ke dalam kotak pensil ini?"
Tegar memperhatikan kotak di tangannya dengan hati bertanya-tanya. "Apa benar ucapan wanita semalam, dari kotak ini akan muncul banyak uang? Kayaknya sih nggak mungkin. Kecuali, kalau ini pesugihan."
"Gar! Nenek berangkat dulu," lagi-lagi suara Nenek mengusik telinga Tegar. "Kamu sudah bangun belum?"
"Sudah, Nek!" Tegar langsung menyahut dan dia segera meletakan kotak tersebut di atas kasur, lalu bergegas mengenakan celana kolor. "Emang Nenek sudah sembuh?" tanya Tegar dengan suara yang keras.
"Cuma demam biasa," sahut Nenek dari luar kamar. "Lagian Nenek udah makan obat semalam."
Tegar keluar hanya mengenakan kolor dan keluarnya anak muda itu disambut oleh Nenek dengan kening yang berkerut kala menatap cucunya.
"Kamu habis berkelahi?" Nenek langsung melempar pertanyaan yang membuat cucunya terperanjat.
"Biasa lah, Nek, ketemu preman," jawab Tegar agak cuek.
"Uang kamu dirampas lagi?" Terka Nenek. "Apa kamu nggak menghindar?"
"Sudah, Nek aku bahkan sengaja lewat jalan lain. Tapi ya namanya lagi apes, mau gimana lagi," balas Tegar.
Nenek menatap cucunya dengan perasaan yang berkecamuk. "Apa uangnya dirampas semua?"
"Cuma seratus lima puluh ribu sih, Nek. Untungnya, uang lain udah aku setorkan ke Bu Tatik."
"seratus lima puluh ribu bagi kita juga banyak, apa lagi itu hasil keringatmu," kesal Nenek.
"Ya udah lah, Nek, nggak apa-apa, uang kan bisa dicari lagi. Lagian, aku juga masih punya pegangan."
Si Nenek mendengus. "Ya sudah, Nenek berangkat dulu. Nenek udah beli nasi bungkus tuh di meja."
Tegar membalasnya dengan senyuman. Sebenarnya dia tidak tega membiarkan Neneknya pergi mencari uang. Namun apa daya, Nenek orangnya tidak suka diam di rumah. Apa lagi penghasilan mereka tiap hari tidak menentu, jadi dengan terpaksa Tegar mengijinkan sang Nenek untuk berjualan.
Sejak kejadian tragis yang menimpa keluarganya, Tegar juga terpaksa harus rela mengubur mimpinya. Bahkan dia tidak melanjutkan sekolah menengah atas karena tidak tega dengan sang Nenek yang mencari uang sendirian untuk kebutuhan mereka.
Awalnya Tegar, bercita-cita menjadi polisi. Dari kecil dia sangat menyukai profesi itu. Setiap kali main bersama teman-temannya, Tegar selalu memilih peran sebagai polisi yang hebat.
Namun pandangan Tegar tentang kebaikan polisi seketika runtuh, kala peristiwa pahit menimpa keluarganya. Polisi yang seharusnya membantu mengungkap kebenaran, justru malah menutup kasus tersebut dengan alasan kurangnya bukti.
Kebencian Tegar kepada polisi semakin melebar saat kesaksian Tegar diragukan. Anak itu hanya busa menahan geram karena masih terlalu kecil.
Ditambah lagi, dengan mata kepalanya sendiri, Tegar menyaksikan polisi yang menangani kasus keluarganya, ikut merayakan pesta yang diadakan para pelaku, membuat Tegar semakin muak dengan yang namanya penegak hukum.
Dari pesta itulah, dendam Tegar semakin berkobar. Setiap malam dia selalu menunggu waktu dan memikirkan cara untuk melampiaskan dendamnya, serta membongkar kejahatan yang dilakukan empat pria yang dulu hampir dibongkar oleh kakak perempuannya.
Sebelum berangkat mecari uang, Tegar menyantap nasi bungkus yang dibeli Neneknya. Setelah itu dia lantas mandi dan berangkat ke rumah seseorang yang selama ini baik kepadanya.
Namanya Bu Tatik. Wanita itu memiliki usaha, membuat aneka jajanan pasar dan beberapa jenis roti goreng. Karena belum menemukan keahlian khusus, tanpa rasa malu, Tegar meminta ijin pada wanita itu untuk ikut memasarkan jajanan hasil produksinya ke pusat kota.
Sudah tiga tahun, Tegar menjalankan usaha seperti itu. Meski kadang dia malu dan iri jika bertemu teman-temannya yang masih sekolah, tapi Tegar menepis rasa itu, demi bisa menyambung hidup.
Sedangkan Nenek, jualan bubur sumsum yang sudah ditekuni wanita itu sejak masih muda. Dulu Nenek jualan keliling, tapi sekarang, dia memilih mangkal di lapak depan area sekolah, tak jauh dari rumahnya.
Lapak jualan nenek juga disediakan oleh pemilik lahan yang baik hati. Apa lagi tempatnya memang tidak mengganggu kepentingan umum.
"Jajan-jajan! Bu, Jajan, Bu," suara Tegar nyaring tertegar kala melewati gang. Tanpa rasa malu, dia manawarkan jajanannya yang di bawa menggukan dua keranjang susun.
"Duh, bocah ganteng, akhirnya datang juga," ucap seorang Ibu, kala melihat Tegar menghampirinya.
Tegar tersenyum. Dia memang kerap sekali mendapat pujian seperti itu oleh langganannya yang kebanyakan Ibu-ibu.
"Aku beli dua puluh ribu, tapi campur lima jenis ya?"
"Apa aja, Bu?"
Wanita itu lantas menunjuk jajanan yang diinginkan. Dengan riang, Tegar langsung memasukan jajanan tersebut ke dalam kantung plastik.
Kalau lagi ramai, Tegar biasanya jam dua belas siang sudah pulang. Tapi kalau lagi sepi, kadang Tegar pulang sampai petang, karena Tegar merasa tidak enak kepada pemilik dagangan, jika Tegar pulang tapi dagangannya masih banyak.
Seperti hari ini, Tegar pulang di saat hari menjelang sore dengan sisa dagangan yang tinggal sedikit. Tegar pulang dengan membawa pulang uang sebesar seratus tujuh puluh ribu rupiah dan dipotong buat beli makanan sama dikasih ke anak jalanan yang meringis kelaparan.
"Kamu baru pulang?" tanya Nenek yang sudah pulang sejak jam sebelas.
"Iya, Nek," jawab Tegar setelah menenggak segelas air putih.
"Kamu udah makan?"
"Sudah tadi," jawab Tegar. "Aku ke kamar dulu, Nek."
Nenek mengangguk, lalu dia kembali fokus menyaksikan berita melalui siaran televisi.
Begitu masuk kamar, Tegar langsung melepas semua pakiannya kecuali celana kolor. Di saat dia melempar pandangannya ke arah kasur, Tegar tertegun menyaksikan kotak yang dia temukan mengeluarkan cahaya.
Tegar pun bergegas mendekat dan meraih kotak tersebut. Begitu kotak dibuka, mata Tegar langsung melebar kala menyaksikan isi di dalamnya.
"Uang? Ini beneran?" Tegar tak mempercayainya, dan tangannya langsung meraih uang tersebut. "Gila, ini uang beneran, wahh! Aku kaya! Hahaha..."