NovelToon NovelToon
Rissing Sun

Rissing Sun

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Epik Petualangan / Dunia Lain / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:493
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

“Yuki, senang melihatmu sudah sadar.”

Suara lembut dokter itu terdengar akrab, tetapi bagi Yuki, seolah datang dari orang asing. Dia menatap pria itu dengan penuh kebingungan, tidak mampu mengenali wajah yang seharusnya dia kenal.

Dokter itu tidak menunjukkan ekspresi kecewa. Dengan tenang, dia mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam map yang dibawanya dan menyerahkannya pada Yuki.

Yuki menerimanya dengan takut-takut, jemarinya gemetar saat menyentuh kertas foto itu. Matanya perlahan menyusuri gambar-gambar di tangannya.

Di dalam foto itu, ada dirinya—tersenyum bersama beberapa orang lain dalam balutan pakaian medis. Ada pria berambut coklat muda di sampingnya, tersenyum cerah sambil mengenakan jas dokter.

“Aku Aurelian,” kata pria itu dengan lembut, melihat ekspresi Yuki yang masih bingung. “Mentormu di sekolah kedokteran.”

Yuki menggeleng pelan, kepalanya terasa semakin pusing. Kata-kata dokter Aurelian seperti dentuman yang menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan di pikirannya yang sudah cukup kalut.

“Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku baru dibawa ke dunia ini… Bagaimana mungkin aku bisa sekolah kedokteran?”

Dokter Aurelian berkedip sesaat, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Senyum itu bukan sekadar keramahan, tetapi juga mengandung kesabaran seorang dokter yang terbiasa menghadapi pasien dengan kondisi yang sulit.

“Ah, aku mengerti sekarang,” katanya dengan nada lembut. “Tampaknya setelah kecelakaan itu, ingatanmu terhapus sebagian.”

“Kecelakaan…?” Yuki mengulang kata itu dengan suara lemah, seolah lidahnya sendiri asing dengan kata tersebut.

Dokter Aurelian mengangguk. “Ya. Kau hanya mengingat saat pertama kali dibawa ke dunia ini, ketika usiamu masih lima belas tahun. Tapi Putri Yuki…” Aurelian menatapnya penuh kelembutan. “Sekarang kau sudah berumur dua puluh tiga tahun. Kau sudah menikah…”

Yuki menahan napas.

“…dan kau memiliki dua orang anak.”

Dunia seakan berhenti berputar. Mata Yuki melebar, napasnya tercekat di tenggorokan. Tangannya yang menggenggam foto-foto itu bergetar.

“Apa…?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan. “Aku… punya anak…?”

“Ya, Namanya Leon dan Xavier”

Yuki menatap Dokter Aurelian dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan dan keterkejutan. Kata-kata itu terasa asing, seperti kepingan-kepingan puzzle yang tak bisa ia susun dalam kepalanya.

“Leon… Xavier…?” Yuki mengulang nama-nama itu dengan suara bergetar.

Dokter Aurelian mengangguk. “Ya, mereka anak-anakmu.”

Yuki menoleh ke arah pria berambut hitam dengan semburat biru-keabu-abuan yang berdiri di dekatnya. Sejak tadi, pria itu hanya diam, mengamati setiap reaksi Yuki tanpa ekspresi yang jelas terbaca.

“Dan pria ini…” Dokter Aurelian melanjutkan dengan tenang. “Dia adalah Pangeran negeri Garduete. Pangeran Riana. Dia suamimu.”

Suami?

Yuki menggeleng cepat. “Tidak… Tidak mungkin…” Ia mundur sedikit, punggungnya menabrak tepi tempat tidur. “Aku tidak ingat… Aku tidak tahu…”

Pangeran Riana tetap diam, hanya menatapnya dengan mata gelap yang sulit ditebak. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sebuah emosi yang tertahan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran.

Yuki meremas kain selimut yang menutupi tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Semua ini terdengar seperti lelucon kejam.

Bagaimana mungkin dia menikah? Bagaimana mungkin dia memiliki dua anak?

Dan mengapa… mengapa hatinya terasa sakit saat mendengar nama itu?

Dokter Aurelian memberi kode halus pada Bangsawan Voldermon, yang segera memahami isyarat itu. Dengan langkah tenang, Bangsawan Voldermon berjalan menuju jendela besar di ruangan itu dan menarik tirai ke samping. Cahaya matahari masuk, menerangi kamar yang sebelumnya terasa suram.

Namun, bukan hanya cahaya yang masuk—pemandangan di luar jendela juga terlihat dengan jelas. Dari kejauhan, bekas-bekas pertempuran masih tampak nyata. Puing-puing berserakan, tanah hangus menghitam, dan bangunan yang runtuh menjadi saksi bisu dari peristiwa dahsyat yang baru saja terjadi.

Yuki menajamkan pandangannya, tubuhnya menegang saat menyadari betapa luasnya kehancuran di bawah sana. Matanya membelalak penuh keterkejutan. “Apa yang terjadi?” suaranya bergetar, refleks berdiri dari tempatnya.

Dokter Aurelian tetap tenang, seolah telah menyiapkan jawaban ini sejak awal. “Umat manusia baru saja melawan iblis yang mencoba menghancurkan dunia,” katanya, suaranya terdengar lembut namun mantap.

Yuki mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata itu, tetapi kepalanya terasa kosong.

Dokter Aurelian melanjutkan, “Kau juga ada di sana saat pertempuran berlangsung. Kau bertarung di garis depan bersama yang lain. Namun, saat menghadapi musuh, kepalamu terbentur cukup keras, dan kau pingsan selama beberapa hari.”

Yuki terdiam. Kata-kata itu terdengar begitu nyata, tetapi tidak ada satu pun dari ingatan yang disebutkan Dokter Aurelian yang terasa familiar baginya.

Dokter itu menatapnya penuh perhatian sebelum menambahkan dengan hati-hati, “Saat sadar… tampaknya kau melupakan sebagian ingatanmu.”

Bangsawan Voldermon melangkah mendekat, menatap Yuki dengan sorot mata yang lembut namun menyimpan kegelisahan. Senyumnya tetap terukir di wajahnya, seolah mencoba menenangkan gadis di depannya.

“Kucing kecil,” panggilnya pelan, suaranya sarat dengan kenangan yang tak terjangkau oleh Yuki saat ini. “Kau tidak ingat aku? Aku Voldermon. Sahabatmu.”

Yuki terdiam. Panggilan itu… terasa begitu familier. Seperti bisikan dari masa lalu yang samar.

Ah…

Tangannya perlahan naik, menekan sisi kepalanya yang mulai terasa berdenyut. Ada sesuatu yang hampir bisa ia tangkap—bayangan seseorang yang pernah memanggilnya dengan suara penuh kehangatan. Namun, wajah orang itu tetap kabur, tidak bisa ia ingat dengan jelas.

Dia mengerutkan kening, frustrasi dengan pikirannya yang kosong. “Aku…”

Dokter Aurelian tersenyum lembut, mencoba menenangkan Yuki yang masih tampak kebingungan. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu berusaha keras mengingatnya. Setelah kondisimu cukup stabil, aku akan melanjutkan pemeriksaan lanjutan untuk menemukan diagnosis yang tepat.”

Dia meletakkan foto-foto yang dibawanya ke atas nakas di samping tempat tidur Yuki. Selembar di antaranya sedikit miring, memperlihatkan wajah Yuki yang tersenyum bersama orang-orang yang tampak akrab dengannya—orang-orang yang kini terasa asing di matanya.

Dokter Aurelian menoleh ke arah Pangeran Riana dan memberi hormat singkat. “Pangeran, kami pergi dulu.”

Pangeran Riana hanya menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tetap terfokus pada Yuki, yang masih berdiri di tempatnya dengan ekspresi bingung dan cemas.

Saat Yuki melangkah hendak mengikuti Dokter Aurelian keluar, tiba-tiba tangan Pangeran Riana mencengkeram pergelangan tangannya.

Yuki tersentak. “Eh?”

Dalam sekejap, tubuhnya terangkat dari lantai. Pangeran Riana menggendongnya dengan mudah, mengabaikan perlawanan yang Yuki lakukan dalam keterkejutannya.

“Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?” seru Yuki panik, tangannya berusaha mendorong bahu pria itu.

Namun, Pangeran Riana tetap tak tergoyahkan. Dengan langkah tegap, dia membawa Yuki menuju tempat tidur, lalu dengan hati-hati membaringkannya di atas kasur yang empuk.

“Kau baru saja sadar,” ucapnya dengan nada tegas, “jangan terlalu banyak bergerak.”

Yuki masih terengah-engah, matanya membulat menatap pria di hadapannya. Napasnya bergetar, campuran antara ketakutan dan kebingungan.

Pangeran Riana mengambil kain yang telah dibasahi air hangat. Mengusap lembut wajah Yuki. Saat Dia akan membuka pakaian Yuki. Yuki berjengit dan menahannya. “Apa yang kau lakukan ?” Tanya Yuki panik.

“Apa yang kulakukan ?. Aku membantumu membersihkan badanmu”

Yuki membeku seketika. Matanya membesar, menatap pria di hadapannya dengan ketakutan dan keterkejutan yang bercampur jadi satu. Jari-jarinya mencengkeram erat kain selimut, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa untuknya.

Pangeran Riana tetap tenang. Sorot matanya tajam, namun tidak ada niat jahat di sana—hanya keyakinan yang tak tergoyahkan. Dengan sabar, dia meremas kain hangat di tangannya, mengusapkannya kembali ke pipi Yuki yang masih tampak pucat.

“Aku hanya ingin membersihkan tubuhmu,” ulangnya dengan nada lebih lembut.

Yuki menggeleng cepat, napasnya memburu. “Tidak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri.”

Riana menatapnya dalam diam, mengamati setiap ekspresi di wajah Yuki. Dia bisa melihat kepanikan itu, ketidakpercayaan, juga… ketakutan.

Ketakutan terhadapnya.

Matanya yang gelap menyorot tajam, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. Tanpa membuang waktu, dia kembali meraih kain hangat yang telah dibasahi, mengangkatnya, dan mengusap lembut wajah Yuki.

Saat tangannya bergerak ke leher, lalu turun ke bahunya, Yuki tersentak. Kedua tangannya buru-buru menahan pakaian yang menempel di tubuhnya, napasnya memburu. “Apa yang kau lakukan?” suaranya bergetar, ada ketakutan yang jelas di sana.

Pangeran Riana tidak menghentikan gerakannya. Dengan satu tangan, dia meraih pergelangan Yuki, menyingkirkannya dengan mudah, lalu mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka semakin menipis. Suaranya dalam dan dingin saat berbicara.

“Apa yang kulakukan? Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan,” katanya tegas. “Aku suamimu. Aku yang bertanggung jawab atas dirimu. Jangan bersikap seolah aku orang asing, Yuki.”

Yuki menggigit bibirnya, ketakutan semakin mencengkeramnya, tetapi dia tahu dia tidak punya pilihan. Tatapan Pangeran Riana begitu kuat, mendominasi, dan membuatnya merasa seakan tidak ada jalan keluar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!