Menjahit Luka Dengan Benang Khianat

Bab 35: Strategi Senyap

Kantor Luka-Lana kini terkunci rapat bagi dunia luar. Di balik pintu kayu jati yang tebal, Arini tidak terlihat seperti wanita yang sedang berada di ambang kehancuran. Sebalik nya, ia tampak seperti seorang jenderal yang sedang menata bidak catur terakhir nya. Di atas meja kerja, ia menyusun surat-surat korespondensi ayah nya dari tahun 1990-an yang telah di verifikasi oleh tim ahli forensik dokumen.

"Baskara, perhatikan tanggal di surat ini," Arini menunjuk sebuah stempel pos dari Paris. "Ayah ku mengirimkan sketsa konsep 'Resilience' ini enam bulan sebelum rumah mode Prancis itu mematenkan nya. Mereka mencuri ide asisten magang dari Indonesia karena menganggap dia tidak punya suara. Sekarang, Maharani menggunakan barang curian itu untuk menyerang ku. Ini bukan sekadar plagiarisme, ini adalah pemulihan sejarah."

Baskara mengangguk, kekaguman terpancar di mata nya. "Jika kita bisa membuktikan ini di depan publik, bukan hanya gugatan Maharani yang gugur, tapi reputasi keluarga nya sebagai penguasa tekstil akan hancur karena skandal pencurian intelektual selama puluhan tahun."

"Tapi itu saja tidak cukup," potong Arini. Ia berdiri dan berjalan menuju papan tulis kaca di sudut ruangan. "Aku butuh mereka merasa di atas angin sedikit lebih lama. Maya, sudah kau kirimkan 'umpan' itu?"

Maya mengangguk cepat. "Sudah, Bu. Saya sengaja membocorkan dokumen palsu melalui tim IT ke server yang sering di pantau oleh orang suruhan Maharani. Dokumen itu berisi pengakuan palsu bahwa Ibu 'membeli' desain dari pihak ketiga. Mereka akan mengira itu adalah bukti pamungkas untuk menghancurkan Ibu di konferensi pers besok."

Suasana di luar gedung Luka-Lana menyerupai medan perang. Lampu kilat kamera wartawan terus menyambar setiap kali pintu kaca terbuka, namun di lantai dua puluh satu, Arini berada dalam dimensi yang berbeda. Ia memerintahkan Maya untuk mematikan semua televisi dan menutup tirai otomatis. Keheningan adalah sekutu terbaik nya saat ini.

"Ibu, media sosial mulai melakukan boikot. Beberapa selebritas yang kemarin memuji koleksi kita, kini menghapus foto-foto mereka yang mengenakan gaun Anda," lapor Maya dengan nada cemas. "Mereka takut terseret dalam skandal plagiarisme ini."

Arini menyesap teh chamomile-nya dengan tenang. "Biar kan saja, Maya. Kesetiaan yang di bangun di atas tren akan runtuh saat tren itu berubah. Yang saya butuh kan sekarang bukan dukungan selebritas, tapi akurasi data."

Baskara masuk ke ruangan dengan membawa sebuah koper perak. Di dalam nya terdapat hasil penyelidikan intelijen bisnis yang ia kumpulkan selama dua belas jam terakhir. "Kau benar, Arini. Maharani membeli hak cipta rumah mode Prancis itu hanya tiga bulan yang lalu melalui perusahaan cangkang di Panama. Namun, ada satu celah hukum yang mereka lewatkan."

Arini mencondongkan tubuh ke depan. "Apa itu?"

"Sesuai hukum hak cipta internasional, jika sebuah karya tidak pernah di publikasikan atau di produksi dalam waktu tiga puluh tahun dan pencipta asli nya telah wafat tanpa mewarisi nya ke siapapun itu akan diboikot ."

Pagi hari sebelum konferensi pers besar itu dimulai, suasana kantor Luka-Lana terasa sangat sunyi, namun penuh dengan ketegangan yang menyesakkan. Arini duduk di kursinya, menatap layar monitor yang masih menampilkan potongan gambar CCTV semalam. Sosok yang ia lihat bukan sekadar staf biasa, melainkan orang yang selama ini ia anggap sebagai tangan kanannya dalam urusan kreatif: Citra, asisten desainer muda yang ia bina dengan penuh kasih.