NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 3

Pulang sekolah, seperti biasa, aku langsung menuju rumah. Udah pasti yang nungguin di rumah itu tumpukan tugas-tugas yang minta diselesaikan.

Sampai di rumah, tanpa berlama-lama aku ganti baju dan langsung menuju dapur untuk makan. Perut sudah keroncongan, jadi ya apa boleh buat, makan adalah prioritas utama.

Selesai makan, aku langsung bergegas mencuci piring setelah itu nyapu. Belum juga aku tarik napas lega, mataku sudah melirik ke halaman yang mulai diselimuti gerimis. Langsung deh, dengan langkah cepat aku angkat jemuran yang masih tergantung. Setelah itu, baru aku bisa menarik napas, rebahan di kasur sambil menatap langit-langit kamar.

Di kasur, pikiran mulai melayang ke kejadian di kantin tadi. "Tadi aku dibandar Davina yang katanya hasil malak. Aku ikutan dosa enggak ya?" tanya hati kecilku, mulai gundah.

Aku enggak sengaja terbawa suasana saat itu, karena sejujurnya nongkrong bersama mereka enggak serem-serem amat.

Malah, aku merasa nyaman, dan mereka pun tampak baik, enggak ada yang berusaha menjadikan aku bahan buli atau babu.

\~\~\~

Malam itu terasa seperti rutinitas biasa, tetapi entah mengapa, perasaanku sedikit berbeda. Di tengah kehangatan keluarga yang tertawa bersama, ada sedikit rasa terasing yang menggelayut dalam hatiku.

Aku duduk di pojokan, dekat pintu samping, menyaksikan interaksi antara Mamak, Bapak, dan Aries dengan tatapan yang mungkin terlihat kosong.

Sebagai ritual biasa, televisi menyala menampilkan sinetron yang mamak suka. Mamak, dengan semangkuk kacang rebus di pangkuannya, asyik mengomentari setiap adegan, sementara Bapak hanya santai, sesekali menghisap rokoknya.

Aries, yang biasanya lincah, malam itu memilih bersandar nyaman di paha Bapak. Ia tampaknya juga menikmati kebersamaan malam itu, meskipun kadang matanya tertuju pada layar televisi.

Bapak, dengan kebiasaannya yang perhatian, sesekali membersihkan rambut Aries yang kena abu rokok sambil bertanya, “Ries, gimana sekolah tadi?”

Dengan mata berbinar, Aries menjawab, “Seru pak. Tadi ada tanya jawab matematika dan aku bisa terus di kasih lima ribu sama Bu Guru.” Semangatnya begitu terasa, hingga dia bergeser duduk lebih dekat dengan Bapak.

“Terus uangnya mana?” Mamak yang mendengar cerita tadi langsung nimbrung dengan pertanyaannya yang khas. Tanpa rasa bersalah, Aries dengan cengiran mengaku, “Habis buat jajan.”

Mamak hanya bisa geleng kepala sambil tertawa, “Kamu nih ada-ada aja.” Bapak pun ikutan tertawa mendengar kepolosan Aries.

\~\~\~

Aku merasa sepi, terisolasi dalam keluargaku sendiri, yang seharusnya menjadi sumber kehangatan dan kekuatan. Setiap pujian yang mengalir ke arah Aries bagaikan tusukan kecil yang bertubi-tubi menghujam ke hatiku.

Aku tahu dia pantas mendapatkannya, dia memang luar biasa.

Tapi, di dalam hati yang paling dalam, ada luka yang terbuka setiap kali aku mendengar namanya disebut dengan decak kagum dan aku hanya sebagai bayangan yang terlupakan.

Bapak dan Mamak mungkin tidak sadar, tetapi setiap mereka membandingkan kami, seakan mempertegas sebuah garis yang menandai aku sebagai 'yang kurang'. Aries, bintang yang bersinar terang, dan aku, hanya rembulan yang redup, yang cahayanya kalah oleh terangnya bintang saudaraku.

Aku merasa minder banget sama diri sendiri. Kayaknya gara-gara aku nggak secerdas Aries, keluarga aku jadi nggak sayang-sayang amat sama aku.

"Kok bisa-bisanya nggak masuk sepuluh besar sih?" Ujaran kayak gitu sering banget aku denger dari mulut orang tua aku. Sedangkan Aries, adikku, selalu dielu-elukan kayak putri mahkota. Dia selalu masuk tiga besar di sekolahnya.

Nggak tau kenapa, cuma karena nilai di kertas, aku jadi dianggap 'goblog' sama keluarga sendiri. Rasanya sakit, tau. Kenapa sih orang-orang cuma nilai dari angka di rapot?

\~\~\~

"Alisa?" terdengar suara Mamak memanggil, yang membuatku segera menyadari bahwa aku telah terhanyut dalam lamunan.

"Apa, Mak?" tanyaku.

Mamak kemudian menyuruhku, "buat nasi goreng sana!"

Aku mengangguk sambil mencoba menampilkan senyuman.

"Yang pedes ya. Aries suka pedes soalnya," timpal Bapak sambil tersenyum.

"Iya, Pak," jawabku, tersenyum sembari memperlihatkan gigi kelinciku yang khas.

Tanpa menunda lagi, aku bergegas ke dapur dan mulai mempersiapkan semua bahan yang diperlukan untuk membuat nasi goreng sesuai dengan permintaan mereka.

\~\~\~

Sambil goreng nasi, pikiran aku melayang ke mana-mana. Kadang aku mikir, "Kalau aku nggak pinter, pasti aku nggak bakal dicintai dan selalu dicap goblog sama bapak."

Jadi aku berusaha jadi anak yang penurut, yang bisa diandalkan. Tapi, ya gitu deh, kadang-kadang perasaan aku bilang aku nggak cukup bisa diandalkan. Jadi anak penurut itu susah, harus selalu ngalah terus.

Sebagai anak pertama, aku rasanya harus ngalah terus sama Aries, adikku. Soalnya yang paling nyata tuh soal uang saku. Kadang-kadang uang saku kita sama jumlahnya, supaya katanya adil.

Tapi herannya, ada kalanya uang saku dia malah lebih banyak daripada aku. Ini gimana sih? Padahal dia masih kelas tiga SD, sementara aku udah SMP. Kok bisa ya?

Itu bikin hati aku nyesek, nggak enak banget rasanya. Kadang aku pengen protes, pengen bilang ke mamak atau bapak, tapi aku tahu itu nggak akan ngubah apa-apa. Di mata mereka, Aries yang pinter dan selalu masuk tiga besar itu seperti bintang, sedangkan aku? Aku cuma bayang-bayang di belakang dia.

Setiap kali rapor dibagi, bapak selalu ngomong, "Kenapa nggak bisa kayak adikmu?" itu kayak tamparan keras di muka aku.

\~\~\~

Nasi goreng sudah matang, dan aku segera membaginya ke piring-piring. Sambil berjalan ke ruang tengah, aku membawa dua piring dan menyerahkannya ke bapak dan mamak.

"Ini punya bapak sama mamak," kataku dengan senyum yang kupaksakan.

"Punyaku mana?" tanya Aries.

Di dalam hati, aku benar-benar pengen bilang, 'Ambil sendiri sana!' tapi kata-kata itu cuma berputar di kepala, nggak berani keluar.

"Bentar, mbak ambilin," jawabku akhirnya, masih dengan senyum yang sama.

Kembali ke dapur, aku mengambil porsi Aries, lalu membawanya ke depan dan memberikannya.

"Nih," sahutku sambil memberikan piring ke tangannya.

"Baunya harum," komen Aries tanpa melihatku, mata tertuju pada televisi.

Aku kembali ke pojok, tempat yang seakan sudah menjadi teritoriku. Duduk sambil menyendok nasi gorengku yang kusiram banyak kecap karena aku memang nggak suka pedes.

Di rumah ini, kayaknya nggak ada yang sadar atau peduli bahwa aku benci pedes. Setiap kali masak, selalu disesuaikan dengan selera Aries.

Aku menelan nasi, rasanya lebih banyak kecap daripada biasanya, mungkin karena perasaanku yang lagi nggak enak. Di pojok ini, aku hanya bisa mengunyah pelan, menyendiri, sambil mendengar suara tawa mereka dari depan, tawa yang kadang terasa begitu jauh dari tempatku.

"Mbak, besok pagi masak sambel terong ya," cecar Mamak sambil konsen nonton sinetron, nggak lupa juga sambil makan nasgor.

Aku cuma bisa ngangguk dan jawab, "Iya, Mak," sambil agak meringis. Ya ampun, hidupku ini kayanya lebih rame dari sinetron Mamak deh.

Di dalam hati, aku tahu, rutinitas ini sudah jadi bagian dari keseharianku, seolah aku sudah terprogram untuk melakukannya.

Aku tahu, di mata mereka, aku mungkin tak lebih dari sekadar anak pertama yang perlu terus membuktikan diri. Dibandingkan dengan Aries yang berprestasi di sekolah, aku hanya bisa menonjolkan kemampuan memasak dan mengurus rumah, berharap pujian itu datang meski hanya sekilas.

Setiap gerakanku di dapur, setiap kali aku menyapu atau mencuci, aku lakukan bukan hanya karena ini sudah menjadi tugas, tapi karena ada ketakutan tak terucap. Takut dianggap kurang, takut tidak dicintai jika aku tidak melakukan semuanya dengan sempurna. Sampe-sampe takut dibandingin sama anak tetangga yang katanya rajin banget.

Aku selalu memikirkan, mungkin jika aku bisa menjadi lebih baik dalam mengurus rumah, mereka akan melihatku tidak hanya sebagai bayang-bayang Aries, tapi sebagai Alisa yang juga berharga.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!