Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Menjadi Suami Seutuhnya
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Danang, Bu?." dengan segera aku menyahut demikian ingin tahu apa reaksinya.
"Ibu akan tetap menyanyangimu sebagaimana mestinya. Cucu bukan segalanya bagi Ibu. Yang penting kamu tetap menjadi menantu, Ibu." jawabannya sangat menenangkan dan menentramkan, bukan? sayangnya itu dulu.
Sekarang semua itu seperti angin lalu. Omong kosong. Riska tidak akan pernah terkecoh lagi. Sudah cukup ia menjadi wanita bodoh selama ini, di bodohi oleh 3 pengkhianat ini.
Eh, tunggu sebentar. Apa maksudnya kata-kata Ibu tadi. Cucu bukan segalanya?, asal aku tetap menjadi menantunya. Apa yang Ibu inginkan sebenarnya?.
Ah, aku paham saat ini. Tentu, Ibu tidak akan mengusik anak pada wanita yang pernah mengandung namun keguguran. Bukan karena cinta, dan kasih sayang yang tulus. Tapi semata-mata karena uang. Bukan suudzon, tapi begitu kenyataannya. Selama ini, aku selalu memenuhi kebutuhan Ibu. Dan mulai sekarang, aku tidak akan lagi mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhannya lagi. Biarlah menantu barunya yang memenuhi kebutuhannya.
Handphone jadul Ibu berdering. Pasti Mas Danang yang menelpon.
"Waalaikumsalam, Iyah Nang. Iya Ibu sudah ada di rumahmu. Kamu mau ngomong sama istrimu?." Ibu menyodorkan handphone nya kepadaku.
Dengan terpaksa aku pun menerima nya padahal aku enggan sekali berbicara dengan Mas Danang.
Sebelum itu aku mengatur nafas terlebih dahulu tanpa Ibu tahu lalu menjawab telepon, "Assalamualaikum, Mas. Maaf teleponmu tidak terangkat. Aku sedang tidak enak badan." setenang mungkin kusampaikan itu. Padahal, di dalam sini aku sangat ingin sekali mengumpat dan memakinya habis-habusan atas pernikahan keduanya.
"Waalaikumsalam, Sayang. Alhamdulillah...Akhirnya Mas bisa mendengar suara mu. Mas khawatir sekali tadi. Takut kamu kenapa-napa. Kamu sakit apa, Sayang?." Nada penuh kekhawatiran terdengar jelas dari suara Mas Danang.
Seandainya aku tidak mendengar obrolan Ibu dan menantu barunya. Mungkin hatiku melayang mendapatkan perhatian dari suami dan mertuanya.
"Sayang, kok diam. Kenapa?." Mas Danang menegurku.
"Aku hanya sedang pusing, Mas. Mungkin kecapean. Soalnya di toko belakangan ini sangat ramai banget. Hari ini aku pun sengaja buka toko setengah hari. Toko serame itu kalau sendiri juga kecapean. Sayangnya, tidak ada yang membantu. Gimana kalau Mas pulang saja? Bantu aku menjaga toko kembali." Aku ingin tahu apa reaksi Mas Danang.
"Sayang, jangan minta Mas pulang. Di sini Mas sudah nyaman. Di sini Mas merasa bisa menjadi suami seutuhnya, sebab bisa menafkahi istri dengan keringat sendiri.
"Tapi, bukankah dari dulu aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Mas? Pernah aku mengungkit soal nafkah? pernah aku menjatuhkan harga diri kamu karena kamu tidak memberiku nafkah? tidak kan?."
Bodohnya Aku mempercayai alasan Mas Galang untuk bekerja di luar kota Aku pintar dan jeli kalau alasannya percaya ke kota itu hanya modus semata. Bayangkan Aku di rumah memiliki toko sembako yang hasilnya lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami kuliah itu ingin Mandiri tidak mau dicap sebagai penikmat hasil keringat istri perasaan itu lalu minta izin merantau ke kota.
Padahal, aku pun sudah melarangnya kerja di luar, Bahkan aku sudah siap memberikan modal kembali padanya, kali ini, untuk beternak ayam, sayangnya, makanan, tetap menolak, dengan alasan ingin melafal istri dengan keringatnya sendiri. aku menghargai keputusannya, serta percaya, lalu melepaskan kepergiannya begItu saja.
Katanya Ia pun langsung mendapatkan pekerjaan sebagai sumber pribadi jangan-jangan dia menjadi seperti pribadi dari istri mudanya yang terlalu Naif mempercayainya begitu saja
Sayang masak lagi Transfer ya Tapi maaf tidak seberapa hanya satu juta setengah saja Maklum belum ada kenaikan dari bos nanti kamu bagi dua dengan ibu ya Dan tolong penuhi semua kebutuhan beliau seperti biasa," sambil cengengesan Mas Danang berucap demikian.
Satu juta setengah bagi dua? enak sekali gundulmu! emang gaji supir berapa sih? Dan apa memang benar pekerjaanmu supir di sana, Mas? kamu pikir aku percaya dengan omonganmu begitu saja? Tidak!.
"Mas, sudah tiga bulan loh kamu itu bekerja. Masak belum ada kenaikan gaji. Kalau memang tidak ada perubahan untuk apa di pertahankan? lebih baik pulang." kulirik Ibu mertua yang terlihat tak suka mendengar permintaan ku pada anaknya.
"Tidak mungkin Mas pulang, Sayang. Mas tahu pendapatan mu lebih besar dari apa yang Mas kasih. Tapi, di situlah letak harga diriku sebagai seorang laki-laki." jelas Mas Danang lembut.
Lagi-lagi soal harga diri jadi alasanmu, mungkin aku dulu percaya, tapi saat ini aku tahu kalau kamu hanya membual, Mas.
Baiklah jika itu mau mu, dan kamu lebih nyaman dan betah di tempat istri muda. Jangan menyesal kalau aku tidak sama seperti dulu.
"Kalau gitu cepat transfer duit nya. Kasihan Ibu sudah tidak punya apa-apa," Aku harus pura-pura mengalah saat ini, sepertinya itu lebih baik. Mengalah untuk menang.
"Terima kasih, Sayang. Kamu memang selalu bisa di andalkan. Sudah cantik, baik, pengertian pula. Ibu pasti sangat bahagia memiliki menantu seperti kamu," ingin rasanya aku muntah depan Bu Zainab akibat muak dengan gombalan anak laki-lakinya, namun aku tahan dan berusaha tersenyum karena sejak tadi Bu Zainab terus memperhatikanku saat menelpon dengan Mas Danang.
Setelah basa-basi sebentar. Sambungan telepon pun kami matikan.
Aku bisa di andalkan ? kentara sekali kan kalau Mas Danang itu tergantung pada uangku.
Aku menyerahkan kembali handphone milik Ibu itu pada ibu, dan Ibu pun menerima nya dan memasukkan nya ke dalam saku daster nya.
"Nak, biarkan suamimu merantau di kota. Di sana dia merasa menjadi lelaki seutuhnya." ucap Ibu yang menurut ku kalau kalimat itu sedikit ambigu, aku akan memanfaatkan pernyataan Ibu yang pasti akan membuat Ibu terkaget-kaget.
"Lelaki seutuhnya? maksudnya gimana yah Bu? Apa di sini dia merasa tidak menjadi laki-laki karena belum berhasil menghamili ku? lalu di sana ada istri barunya dan berhasil membuat wanita hamil, begitu?." Aku mengenyitkan dahi pura-pura tidak paham.
Bu Zainab syok dengan pertanyaan dariku yang tiba-tiba dan cukup menohok. Wajahnya pias seketika. Mungkin ia tidak menduga mendapatkan pertanyaan seperti itu dariku.
Aku menikmati pemandangan itu. Dalam hati aku pun tertawa. Menertawakan sikap pengecutnya Ibu mertua dan anaknya, ah bukan tepatnya menertawakan kebodohan ku selama ini.
"Ya bukan seperti juga Ris. Suamimu merasa menjadi laki-laki karena bisa menafkahi istrinya dengan uangnya sendiri." Ibu berani menjawab setelah berhasil menguasai keadaan. Aku hanya mangut-mangut saja seolah percaya dengan penjelasan Ibu mertua.
.
.
.
Bersambung ...
tinggalkan aja suamimu riska......