Pernikahan Arya dan Ranti adalah sebuah ikatan yang dingin tanpa cinta. Sejak awal, Arya terpaksa menikahi Ranti karena keadaan, tetapi hatinya tak pernah bisa mencintai Ranti yang keras kepala dan arogan. Dia selalu ingin mengendalikan Arya, menuntut perhatian, dan tak segan-segan bersikap kasar jika keinginannya tak dipenuhi.
Segalanya berubah ketika Arya bertemu Alice, Gadis belasan tahun yang polos penuh kelembutan. Alice membawa kehangatan yang selama ini tidak pernah Arya rasakan dalam pernikahannya dengan Ranti. Tanpa ragu, Arya menikahi Alice sebagai istri kedua.
Ranti marah besar. Harga dirinya hancur karena Arya lebih memilih gadis muda daripada dirinya. Dengan segala cara, Ranti berusaha menghancurkan hubungan Arya dan Alice. Dia terus menebar fitnah, mempermalukan Alice di depan banyak orang, bahkan berusaha membuat Arya membenci Alice. Akankah Arya dan Alice bisa hidup bahagia? Atau justru Ranti berhasil menghancurkan hubungan Arya dan Alice?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna BM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Alice terbaring di ranjang bersalin, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar menahan sakit yang terus datang dalam gelombang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, mengguyur tubuhnya yang lemah. Ia menggigit bibir, berusaha meredam jeritan yang nyaris pecah dari bibirnya setiap kali kontraksi datang.
Di sekelilingnya, hanya ada tim medis. Tidak ada tangan yang bisa ia genggam, tidak ada suara lembut yang membisikkan kata-kata penyemangat. Suaminya, Arya, tidak ada di sini. Alice tahu di mana pria itu sekarang. Ia sedang menikmati makan malam bersama Ranti, istri pertamanya, dan kedua anak mereka.
Air mata panas jatuh di pipinya.
“Tarik napas, Bu Alice. Tenang… sebentar lagi kita akan mulai proses persalinan,” kata seorang perawat dengan nada lembut. Namun, Alice tahu bahwa tak ada kata yang bisa benar-benar menguatkannya saat ini.
Ia ingin Arya di sisinya. Ia ingin merasakan genggaman tangan suaminya, ingin mendengar suaranya yang meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Alice tahu, permintaan itu terlalu mewah untuknya. Ia bukanlah yang utama dalam hidup Arya.
Rasa sakit kembali menyerang, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Alice berusaha keras menahan jeritan, tapi tubuhnya sudah lelah. “Ahh…” isaknya tertahan.
Seorang dokter masuk, melihat kondisinya. “Bukaan sudah lengkap. Kita mulai, Bu Alice. Saat saya hitung sampai tiga, dorong, ya.”
Alice mengangguk lemah. Ia menoleh ke sisi ranjang, berharap ada seseorang di sana. Tapi yang ia lihat hanyalah udara kosong. Tidak ada yang menemaninya melewati ini.
“Satu… dua… tiga… dorong!”
Alice mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa. Ia menggenggam sprei ranjang dengan erat, tubuhnya menegang. Ia tidak tahu berapa lama ia harus bertahan. Hanya suara dokter dan perawat yang bergema di sekelilingnya, memberi arahan.
“Sedikit lagi, Bu! Dorong sekali lagi!”
Alice mengertakkan gigi. Seluruh tubuhnya seperti terbakar, tapi ia tidak bisa menyerah sekarang. Dengan sisa kekuatan yang ada, ia memberikan dorongan terakhir.
Lalu terdengar suara tangisan nyaring memenuhi ruangan.
Bayi itu lahir.
Alice terisak, dadanya berguncang karena emosi yang meluap. Rasa sakit yang luar biasa seolah terlupakan dalam sekejap. Seorang perawat membungkus bayi mungil itu dengan kain hangat, lalu membawanya ke dada Alice.
“Selamat, Bu Alice. Bayi laki-laki, tampan, sehat dan kuat.”
Alice menatap wajah mungil di pelukannya. Bayi itu begitu kecil, begitu rapuh, tapi ia hadir dengan tangisan yang penuh kehidupan. Air mata Alice jatuh membasahi pipinya.
Di luar sana, Arya mungkin sedang tertawa bersama keluarganya. Mungkin ia bahkan tidak berpikir untuk menghubungi Alice, tidak penasaran apakah Alice baik-baik saja, apakah anak mereka lahir dengan selamat.
Alice mengecup kening bayinya dengan penuh kasih. “Anak mama, semoga kamu sehat terus yah nak…” bisiknya lemah.
Ia tersenyum di tengah rasa sakit yang masih menyiksa tubuhnya. Karena meskipun ia sendirian, ia tahu, ia kini ia memiliki seseorang yang akan selalu bersamanya, putranya sendiri.
Alice meraih ponselnya di dalam tas. Ia tidak lagi ingin menelpon Arya. Tapi ia menelpon orang tuanya Yaitu mamanya.
"Halo nak... "
"Iya ma... Ma, aku mau kasih kabar kalau aku sudah melahirkan anak laki-laki"
"Apa? Kamu sudah lahiran... Bagaimana keadaan kamu sekarang? Bagaimana dengan bayimu na?"
"Aku baik-baik saja ma. Anak aku juga sehat," ucap Alice dengan suara masih terdengar lemah dan lelah.
"Syukurlah... Mama akan kesana yah"
"Tidak usah ma... karena jarak dari mama kesini jauh banget. Biar nanti tunggu aku saja yang kesana kalau sudah agak besar bayi ini. Sudah yah ma... " Alice menutup sambungan telepon.
"Ternyata Mas Arya nelpon aku berkali-kali. Sebaiknya aku biarkan saja," ucap Alice meletakkan ponselnya di meja.
Matanya memandang wajah bayi yang masih sangat merah. Bibir Alice tersenyum sambil memikirkan nama untuk sang bayi. "Semoga kamu menjadi anak yang pintar yah nak... Kira-kira siapa yah nama yang bagus buat kamu? Hmmm... Devan aja yah... Nama kamu Devan aja yah sayang.. " gumam Alice sambil mencolek bibir sang bayi.
______
Setelah selesai makan malam di restoran, Arya, Ranti, dan anak-anak mereka beranjak pulang. Malam itu terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana di dalam mobil cukup hangat karena suara anak-anak yang bercanda di kursi belakang.
Arya duduk di kursi kemudi, sementara Ranti di sebelahnya dengan ekspresi datar, seolah tak peduli dengan kebersamaan ini. Ia lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali membalas pesan tanpa tertarik pada obrolan Arya dan anak-anak.
"Papa, besok kita jalan-jalan lagi, ya?" tanya si bungsu dengan wajah penuh harapan.
Arya tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Nak. Besok Papa ajak kalian ke taman bermain."
Anak-anak bersorak kegirangan. Namun, Ranti hanya menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. Arya tidak terlalu memedulikannya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Alice.
Ia sudah berjanji akan menemani Alice yang semakin mendekati waktu persalinan. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi kegelisahan. Alice tidak membalas pesannya sejak tadi siang. Mungkin dia sedang beristirahat atau sudah tidur, pikir Arya mencoba menenangkan diri.
Setibanya di rumah, anak-anak segera berlarian ke dalam. Arya berjalan cepat menuju kamar yang biasa ditempati Alice. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat tempat tidur kosong dan tak ada tanda-tanda keberadaannya.
Hatinya mencelos. Alice tidak ada.
"Alice?" Arya memanggil, suaranya sedikit gemetar. Ia bergegas memeriksa setiap sudut rumah, tapi hasilnya nihil. Alice benar-benar tidak ada. "Kemana Alice?" gumamnya.
Dengan napas memburu, Arya mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Alice. Nada sambung terdengar, tapi tidak diangkat. Ia mencoba lagi, namun tetap tak ada jawaban.
Dia kemana?" gumamnya panik.
Ia berbalik menatap Ranti yang baru saja masuk ke dalam dengan santai. Ranti menaruh tasnya di meja dan duduk di sofa, tampak tidak peduli dengan kegelisahan Arya.
"Alice nggak ada," kata Arya dengan suara berat.
Ranti mengangkat bahu. "Terus kenapa? Mungkin dia keluar. Kenapa segitu perhatiannya sama dia?"
Arya mengepalkan tangannya. "Dia lagi hamil besar, Ranti. Dia nggak mungkin keluar rumah sendirian. Kamu tahu itu! Dan sekarang, apakah kamu tahu di mana dia berada?"
Ranti menatap Arya dengan tatapan menantang. "Kenapa tanya aku? Aku bukan pengasuhnya."
Arya menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. Ia tahu Ranti tidak menyukai Alice, tetapi ia tidak menyangka istrinya itu bisa seacuh ini. "Apakah Ranti akan menjahati Alice lagi?" pikirnya.
"Alice! Alice! Dimana kamu!" Seru Arya mengitari rumahnya.