Denara baru saja menyelesaikan sebuah novel di sela-sela kesibukannya ketika tiba-tiba dia terikat pada sebuah sistem.
Apa? Menyelamatkan Protagonis?
Bagaimana dengan kisah tragis di awal tapi menjadi kuat di akhir?
Tidak! Aku tidak peduli dengan skrip ini!
Sebagai petugas museum, Denara tahu satu atau dua hal tentang sejarah asli di balik legenda-legenda Nusantara.
Tapi… lalu kenapa?
Dia hanya ingin bersenang-senang!
Tapi... ada apa dengan pria tampan yang sama disetiap legenda ini? Menjauhlah!!
———
Happy Reading ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Ande-Ande Lumut (23)
Denara tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Ibu Klenting tentang hubungannya dengan Ande. Tapi yang jelas, dengan langkah cepat dan hati yang berdebar, dia menuju ke pintu depan.
Dan di sanalah dia...
Seorang pemuda berdiri di bawah cahaya temaram lentera. Pakaian yang dia kenakan sederhana, namun bersih dan rapi. Namun bukan itu yang menarik perhatian Denara.
Ada aura dalam diri pemuda itu, sesuatu yang sulit dijelaskan. Tenang. Percaya diri. Berwibawa. Seolah dia bukan sekadar pemuda desa, melainkan seorang bangsawan yang biasa berdiri di hadapan ribuan orang.
Denara tertegun. Ande memang selalu tampan di matanya, tapi malam ini... dia tampak berbeda.
Ada kesendirian yang terpancar dari sosoknya. Bukan kesepian yang menyedihkan, melainkan keheningan yang dalam, seperti seseorang yang sudah lama berdiri sendiri dalam puncak.
Kenapa? pikir Denara. Apa yang membuatnya tampak begitu sendiri?
Pertanyaan itu membuat segala kekhawatirannya tentang Ande menghilang. Segala tebakan tentang misteri dan misi memudar, digantikan oleh kekhawatiran tulus yang tak dia pahami sepenuhnya.
Namun, rasa berat itu luntur seketika saat tatapan Ande jatuh padanya.
Cahaya matanya berubah. Senyum perlahan muncul di wajahnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, Denara merasa bahwa dia adalah seseorang yang ditunggu. Dia pun membalas dengan senyum paling cantik yang dia miliki dan melangkah mendekat.
Setiap langkah Denara seperti menorehkan riak dalam hati Ande. Cantik. Anggun. Sempurna.
Ande tak tahu kata apa lagi yang bisa menggambarkannya malam ini.
Ande, atau sebagai Raden Panji selalu dingin dan acuh pada banyak hal. Dia tidak pernah memperhatikan orang lain dan selalu memiliki dunianya sendiri.
Hanya Klenting Kuning.... Satu-satunya orang yang mampu membuat gelombang di dunianya yang dingin dan sepi.
Mata Ande tak bisa berpaling saat Klenting Kuning muncul. Gadis itu melangkah pelan, mengenakan pakaian yang sederhana tapi anggun, dengan senyum malu-malu yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. Wajah Ande tetap tenang, tapi rona merah perlahan menjalar dari telinganya hingga ke pipi. Dia tak pernah membayangkan Klenting Kuning bisa secantik ini. Begitu memesona hingga membuat pikirannya kacau.
Sesaat, rasa ragu menyelinap dalam benaknya. Haruskah dia tetap mengajak Denara ke pertunjukan malam itu? Mampukah dia membiarkan orang-orang menatap Klenting Kuning dengan mata penuh kekaguman dan mungkin, niat tersembunyi?
Pikiran itu membuat dadanya panas.
Tidak. Klenting Kuning adalah miliknya. Hanya miliknya.
Orang-orang yang menginginkannya... hanya akan berakhir di bawah kerisnya.
“Kamu terlihat cantik malam ini,” kata Ande tiba-tiba, tanpa persiapan, seolah kata itu lolos begitu saja dari bibirnya.
Denara berkedip pelan, sedikit terkejut. Tapi alih-alih menunjukkan rasa malunya, dia tersenyum dan menggoda, “Jangan terlalu dibesar-besarkan. Lagipula, aku memang cantik sejak dulu.”
Candanya terdengar ringan, tapi pipinya memerah, tak bisa menyembunyikan debar halus di dadanya.
Ande terkekeh singkat. “Baiklah, ayo pergi,” ajaknya.
Denara mengangguk, lalu berjalan di belakang Ande. Namun tak lama kemudian, Ande memperlambat langkahnya, menyesuaikan dengan ritme Denara. Tanpa sadar, mereka kini berjalan berdampingan, langkah seirama, seolah-olah sudah terbiasa.
“Ngomong-ngomong, pertunjukan apa yang akan dilakukan malam ini?” tanya Denara, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.
“Aku dengar itu pagelaran wayang kulit,” jawab Ande ringan.
Wayang kulit!
Mata Denara langsung berbinar. Sejak dulu, dia selalu menyukai kesenian Indonesia. Tari-tarian, lagu-lagu tradisional, bahkan peninggalan seperti Reog dan wayang. Di zaman modern, dia sering merasa pertunjukan semacam itu kehilangan ruhnya, seolah hanya menjadi formalitas budaya tanpa jiwa.
Tapi kali ini berbeda. Kali ini, dia akan melihatnya langsung. Dia ingin tau apakah penampilan lama ini bisa memuaskan dirinya nanti.
Mereka tidak perlu berjalan lama sebelum cahaya temaram dan hiruk-pikuk lembut menyambut mereka.
Di depan, terbentang pasar malam. Berkilau dalam nuansa hangat yang asing namun akrab di hati Denara. Berbeda dari keramaian kota yang sibuk dan bising, keramaian ini terasa... lebih dekat. Lebih manusiawi. Seolah memanggil siapa pun yang datang untuk masuk dan melebur dalam kehangatan itu.
Pintu masuknya sederhana, dibuat dari batang bambu yang dirangkai melengkung. Di kedua sisinya, obor bambu tergantung, lidah api kecil menari pelan tertiup angin malam. Cahaya kuningnya tak secerah lampu pasar modern, namun justru karena itu, setiap sudutnya terasa seperti mimpi.
Tanpa sadar, Denara menarik tangan Ande dan membawanya masuk ke tengah-tengah keramaian.
Ande sempat terkejut, namun tidak menolak. Dia membiarkan dirinya dibawa
Pasar malam itu hidup. Penjual makanan tradisional, mainan kayu, kain kemben, kain batik, dan tentu saja... berbagai pernak-pernik wayang kulit. Ada kerajinan bambu yang dapat mengeluarkan suara berbentuk tokoh pewayangan, topeng-topeng kecil yang digantung berderet, dan miniatur gamelan dalam kotak .
Denara terpesona. Matanya menyapu setiap kios, penuh semangat dan rasa ingin tahu. Dalam hatinya, dia berpikir: Kalau aku bawa semua ini ke museum, mungkin museumnya akan meledak.
Namun keseruannya nyaris membawa bencana kecil.
"Hati-hati." suara Ande terdengar, bersamaan dengan sentuhan lembut di lengannya. Dia menarik Denara menjauh, detik sebelum dia menabrak seorang anak kecil yang membawa lampu pelita di atas tempurung kelapa.
Anak itu berlari ke arah sebuah kedai makanan. Denara menunduk, merasa bersalah. “Maaf…”
"Eh, tidak apa-apa. Jangan minta maaf," ucap Ande pelan.
Tanpa sadar, dia mengangkat tangannya dan menepuk kepala Denara lembut. Gerakan itu natural, seperti naluri. “Aku akan mengawasimu. Tapi kamu juga harus lebih hati-hati. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu.”
Denara mendongak. Jarak mereka begitu dekat. Napasnya tercekat, menyadari kehangatan tubuh Ande hanya sejengkal darinya. Wajahnya memerah seketika.
“I-iya. Akan aku lakukan,” ujarnya tergagap, buru-buru melepaskan tangan mereka yang masih saling bertaut sejak tadi dan mundur menjaga jarak.
Ande menunduk, memandangi tangan kosongnya. Ada kilasan kehilangan di matanya, begitu cepat, nyaris tak terlihat. Tapi dia hanya menghela napas pelan. Perlahan, dia kembali meraih tangan Denara.
“Jangan dilepas. Terlalu ramai. Aku takut hilang,” katanya pelan.
Denara memanyunkan bibir. “Aku bukan anak kecil.”
Ande mengangkat alis, lalu menggeleng ringan. “Aku tahu… Tapi ini aku. Aku yang mudah tersesat.”
Denara mendengus geli. “Kalau begitu… baiklah,” ucapnya dengan nada serius, meski pipinya masih merah. Di bawah cahaya redup, rona itu justru membuatnya semakin memesona.