Rahasia Suamiku

Maysa sudah disibukan dengan berbagai keperluan untuk butik barunya. Untuk saat ini, dia hanya bisa menyewa sebuah ruko. Mudah-mudahan suatu hari nanti, wanita itu bisa membeli lahan sendiri untuk dibangun butiknya. Riri sendiri sudah berhenti dari pekerjaannya dan membantu sang kakak untuk mengelola butik.

Maysa juga sudah mengajukan gugatan cerai terhadap sang suami. Apalagi sekarang Rafka sudah menikah dengan Vida. Itu semakin mempermudah wanita itu untuk berpisah dari suaminya. Bagaimana dia bisa tahu tentang pernikahan itu? Apa Maysa datang secara langsung? Jawabannya tentu saja tidak.

Wanita itu tahu dari sahabat Vida yang memang sengaja meng-upload acara pernikahan itu di sosial media. Meski Maysa sebelumnya sudah bersiap menerima berita ini, tetapi tetap saja dia terluka. Kenapa Rafka tidak bisa menahan sebentar saja? Sampai keduanya berpisah.

Perceraian baru saja didaftarkan, tapi Rafka sudah menikah saja. Kalau memang pria itu sudah tidak sabar ingin segera menikah, kenapa tidak menggugatnya? Kenapa harus nikah siri dan wanita itu mau saja.

Hari ini Maysa membelikan kue untuk mamanya karena wanita paruh baya itu, telah berulang tahun. Tanpa sengaja, dia bertemu dengan Mia—adik iparnya.

"Kak Maysa! Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu?" tegur Mia.

"Alhamdulillah, baik. Kalau kamu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Saya juga baik. Kak, bisa bicara sebentar?"

Sebenarnya Maysa sangat malas. Pasti yang ingin dibicarakan Mia mengenai Rafka dan dirinya. Akan tetapi, menolaknya secara langsung pun sepertinya tidak sopan. Mia selama ini juga selalu baik padanya.

"Baiklah. Ayo, kita duduk di sana!" ucap Maysa pada akhirnya. Ingin sekali dia segera pergi, tapi dalam hati, wanita itu berkata, tidak apa bicara sebentar.

Keduanya duduk di meja sambil membawa segelas kopi dan kue, yang sebelumnya mereka pesan terlebih dahulu untuk menemani pembicaraan. Tidak mungkin, kan, mereka bicara dengan meja yang kosong.

"Kak, maafin Kak Rafka, ya! Pasti dia sudah sangat menyakiti hati Kakak, tapi Kak Maysa pasti tahu kalau sebenarnya Kak Rafka orang yang baik. Dia hanya sedang khilaf. Aku mohon sama Kakak agar mau menunggu Kak Rafka sadar."

"Aku sama sekali tidak ingin membicarakan hal ini berulang-ulang. Aku sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan kakakmu. Kamu seorang wanita, pasti tahu bagaimana perasaanku. Aku tidak ingin membanding-bandingkan dengan siapa pun, tapi cobalah untuk mengerti keadaanku. Aku tidak bisa selamanya harus mengalah. Aku juga punya hati dan perasaan. Aku ingin bahagia seperti wanita lainnya. Memiliki seorang suami yang hanya mencintaiku, mementingkan anak dan istri dari segalanya. Suami yang juga menyayangi keluargaku seperti keluarganya. Aku punya banyak keinginan dalam rumah tanggaku yang sampai detik ini tidak bisa kakakmu berikan. Itulah kenapa aku mengalah dan menyerah."

Mia hanya diam tidak berkata apa-apa lagi. Dia sadar jika Rafka sudah sangat menyakiti hati istrinya. Mungkin memang jodoh kakaknya sampai di sini.

"Maaf jika aku terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga kakak. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Aku sudah menganggap Kak Maysa seperti kakak kandungku," sahut Mia pelan.

Maysa memang sangat dekat dengan keluarga Rafka. Tidak heran jika Mia tidak mau kakak iparnya pergi. Meski mereka masih bisa bertemu, tetapi rasanya pasti berbeda.

"Terima kasih sudah perhatian pada kami. Doakan saja agar semuanya berjalan lancar dan tidak ada yang tersakiti. Aku juga minta maaf jika selama ini sudah menjadi kakak ipar yang tidak sesuai dengan keinginan kamu."

"Tidak, Kakak sudah baik sekali selama ini. Bahkan Kakak selalu memperlakukan aku seperti adik sendiri. Hanya memang Kak Rafka saja yang bodoh, memperlakukan wanita sebaik kakak dengan tidak layak."

"Sudahlah, tidak perlu dibahas soal itu. Aku sudah ikhlas menerima semuanya," sahut Maysa dengan tersenyum. "Aku minta maaf, sepertinya aku harus segera kembali. Aku takut Eira nanti mencariku karena sudah waktunya pulang."

"Iya, Kak. Maaf sudah menahan Kakak."

"Tidak apa-apa. Lain kali kita bisa ngobrol lagi. Aku duluan, ya?"

"Iya, Kak."

Maysa bangkit dan mengambil kue pesanannya. Dia segera meninggalkan toko tersebut. Sampai kapan pun, wanita itu tidak akan bisa lepas dari masa lalunya. Di masa depan, pasti akan ada orang-orang yang akan mempertanyakan kehidupannya. Hanya tinggal bagaimana Maysa menyikapi saja.

Wanita itu melajukan motor bututnya menuju rumah. Tadi dia juga sudah bicara dengan Riri untuk menyiapkan makanan kesukaan mamanya tersebut. Mereka ingin membuat kejutan ulang tahun untuk Mama Rafiqah. Meski hanya kejutan kecil dan makan bersama seperti biasa, keduanya berharap wanita paruh baya itu menyukainya.

Tidak berapa lama, akhirnya Maysa sampai juga. Dia membawa kue ke kamarnya secara sembunyi-sembunyi agar mamanya tidak melihat. Nanti saat sudah waktunya memberi kejutan, barulah kue tersebut akan dinyalakan.

"Bagaimana, Ri?" tanya Maysa yang mendatangi adiknya di dapur.

"Semua beres, Kak. Sebentar lagi selesai," jawab Riri.

"Perlu bantuan?"

"Tidak perlu, Kakak mandi saja dulu."

"Baiklah, aku mandi dulu."

Maysa kembali ke kamarnya. Dia ingin membersihkan tubuhnya sebelum acara makan malam berlangsung. Mama Rafiqah masih di kamar sementara Eira bermain sendiri di ruang keluarga.

*****

"Mas, sampai kapan kita tinggal di rumah kontrakan? Aku juga ingin punya rumah sendiri!" seru Vida yang sudah terlanjur kesal dengan sang suami.

Setelah mereka menikah, Rafka dan Vida memang tinggal di rumah kontrakan. Itu karena Mama Ishana yang melarang sang putra membawa istrinya ke rumah Rafka dan Maysa. Vida tidak berhak menempati rumah itu karena itu sepenuhnya milik Eira.

Rumah itu memang dibangun oleh Rafka dan Maysa, tetapi tanah yang digunakan adalah pemberian Mama Rafiqah. Itulah kenapa Mama Ishana melarang putranya tinggal di sana. Apalagi dengan istri keduanya.

"Sabar, dong, Sayang. Aku sedang usaha. Nanti kalau uangnya sudah terkumpul, aku akan membelikan kamu rumah. Kamu jangan khawatir," sahut Rafka.

"Tapi mau sampai kapan? Kenapa kita tidak tinggal di rumah kamu yang dulu saja? Ya ... sampai kita bisa membeli rumah yang baru. Daripada tinggal di rumah kontrakan ini! Buang-buang uang saja."

"Vida, sudah aku katakan beberapa kali, kalau rumah itu adalah milik Maysa dan Eira. Mereka memiliki hak yang lebih besar daripada aku. Mana mungkin aku membawamu ke sana."

"Memangnya kenapa? Aku sekarang sudah menjadi istri kamu."

"Apa kamu lupa kalau Maysa tidak tahu apa-apa tentang pernikahan kita. Kamu tentu masih ingat perjanjian kita dulu sebelum menikah, kan?"

Vida mengepalkan tangannya karena kesal. Dia tidak bisa membantah kata-kata sang suami karena memang benar. Sebelum menikah Rafka sudah menjelaskan apa saja yang menjadi ketentuan dalam rumah tangga mereka.

Wanita itu keluar dari kamar. Dia kesal pada sang suami. Padahal niatnya menikah ingin hidup enak kenapa sekarang malah hidup sengsara. Mama setiap hari harus sibuk di dapur. Kalau tahu begini, kan, lebih baik hidup sendiri saja.

.

.

.