NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: Terjebak di Sarang Monster

Jantung Risa berdentum kencang di balik tulang rusuknya, mengikuti irama degup pintu yang tertutup. Ia menekan telapak tangan ke dadanya, seolah bisa meredam suara itu agar tidak terdengar sampai ke luar. Bibi Lastri sedang berbicara dengan Kevin. Suaranya, yang barusan menusuk Risa dengan ancaman dingin, kini melunak menjadi melodi ramah yang menjijikkan. "Kevin? Ya ampun, Nak. Ada apa malam-malam begini? Kok teriak-teriak gitu? Risa sudah tidur, mungkin kecapekan."

Risa bisa merasakan seringai di balik nada manis itu, seperti seekor ular berbisa yang menyamar menjadi kupu-kupu. Ia membenci Bibi Lastri. Membenci dirinya sendiri yang begitu buta selama ini.

Suara Kevin, yang terdengar sedikit lega namun masih sarat kecemasan, menembus dinding kamar. “Maaf, Bi. Aku cuma khawatir. Tadi siang Risa bilang kakinya sakit, aku takut kenapa-kenapa. Aku WA dia tidak dibalas, telepon juga tidak diangkat.”

Risa menutup matanya, menahan napas. Bibi Lastri berbohong, seperti biasa. Dan Kevin… dia datang karena khawatir. Hatinya menghangat, namun rasa takut masih menguasai. Ia tahu Bibi Lastri pasti sedang menyeringai di luar, memainkan perannya sebagai wali yang baik. Risa tidak bisa berteriak, tidak bisa meminta tolong. Ia terperangkap. Tapi setidaknya, ia punya Kevin. Kevin adalah satu-satunya harapan. Harapan yang rapuh di tengah cengkeraman monster yang kini menunjukkan wujud aslinya.

“Astaga, kakinya sakit? Kenapa tidak bilang Bibi, sih?” Suara Bibi Lastri terdengar dibuat-buat terkejut. “Anak itu memang keras kepala. Tapi tenang saja, sudah Bibi pijit tadi. Sekarang dia sudah pules. Mungkin ponselnya sengaja dimatikan biar nggak diganggu.”

Risa merasakan darahnya mendidih. Kebohongan yang sangat rapi. Bibi Lastri tidak memijitnya. Justru mengancamnya. Dan ponselnya… Bibi Lastri pasti mengambilnya. Ia buru-buru meraba nakas. Kosong. Ponselnya tidak ada. Wanita itu benar-benar mengisolasi Risa.

“Oh, gitu ya, Bi?” Suara Kevin terdengar ragu. “Aku… aku mau lihat dia sebentar aja, Bi. Cuma mastiin dia baik-baik aja.”

Kata-kata Kevin membuat napas Risa tercekat. Kevin ingin masuk. Itu kesempatan Risa! Kesempatan untuk kabur, untuk menceritakan semuanya. Tapi Bibi Lastri…

“Jangan, Nak.” Suara Bibi Lastri langsung menyela, tegas namun masih dilapisi madu. “Dia lagi tidur nyenyak banget. Kasihan kalau dibangunin. Kamu tahu sendiri Risa itu sensitif. Nanti malah demam kalau tidurnya terganggu.”

Ada jeda. Risa bisa merasakan ketegangan di luar pintu. Kevin pasti sedang berpikir.

“Bibi bisa pastikan Risa baik-baik saja, Kevin. Dia aman di sini. Kamu jangan khawatir.” Bibi Lastri menambahkan, suaranya mengandung nada meyakinkan yang terlalu sempurna, terlalu palsu. “Kenapa kamu tidak pulang saja? Ini sudah larut malam. Besok kan harus sekolah.”

“Aku… aku nggak tenang, Bi.” Suara Kevin berubah serius, tidak lagi bisa disembunyikan kekhawatirannya. “Risa tadi siang kelihatan aneh. Dia bilang ada yang nggak beres di rumah ini.”

Jantung Risa berdegup kencang lagi. Kevin tidak sebodoh yang Bibi Lastri kira. Dia mencurigai sesuatu.

“Astaga, Kevin, kamu ini suka sekali dengar omongan anak kecil.” Bibi Lastri terkekeh hambar. “Rumah tua begini memang suka banyak tikus atau kucing liar. Kadang Risa suka salah dengar. Wajar saja dia ketakutan.”

Risa menelan ludah. Kucing liar? Tikus? Bukan. Ini bukan suara tikus atau kucing. Ini adalah bisikan arwah ibunya. Bisikan yang kini terasa semakin mendesak, seolah ingin memperingatkannya dari bahaya yang nyata. Ia menggenggam erat liontin kunci di lehernya. Hangat. Ada kekuatan aneh dari liontin itu, memberinya sedikit keberanian.

Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya bersembunyi. Tapi apa? Pintu itu terkunci. Jendela kamarnya menghadap ke taman belakang yang gelap dan rimbun, terlalu tinggi untuk dilompati tanpa cedera.

“Aku tidak yakin, Bi.” Suara Kevin lagi, kali ini terdengar lebih dekat ke pintu. Risa bisa membayangkan wajah serius Kevin, matanya yang tajam sedang menganalisis Bibi Lastri. “Aku akan tetap di sini sampai Risa bangun. Atau, kalau Bibi tidak keberatan, aku bisa menemaninya malam ini di ruang tamu. Aku bisa tidur di sofa.”

Ide itu… sungguh Kevin. Dia tidak akan menyerah. Risa ingin sekali berteriak, “Masuk, Kevin! Selamatkan aku!” Tetapi suaranya tertahan di tenggorokan, tercekik oleh ketakutan.

“Tidak perlu, Nak.” Suara Bibi Lastri mendadak menjadi sangat dingin, walau masih berusaha terdengar ramah. “Kamu pikir ini rumah singgah? Kamu itu laki-laki, tidak pantas tidur di sini berdua saja dengan Risa. Nanti apa kata tetangga?”

“Tapi Risa bukan anak kecil, Bi. Aku cuma khawatir.”

“Bibi bilang tidak perlu ya tidak perlu!” Nada suara Bibi Lastri naik satu oktaf, menunjukkan sedikit retakan pada topengnya. Ia segera meredamnya. “Maksud Bibi, jangan sampai ada salah paham. Bibi sudah seperti ibu kandung Risa, jadi Bibi bertanggung jawab. Kamu pulang saja. Besok kamu bisa temui Risa di sekolah.”

Risa mendengar langkah kaki bergeser. Kevin pasti dipaksa untuk menjauh. Ia merasakan keputusasaan merayapi jiwanya. Kevin akan pergi. Ia akan sendirian lagi, terperangkap bersama wanita gila itu.

“Bibi janji, ya?” Suara Kevin terdengar pasrah, namun masih ada nada menuntut. “Kalau terjadi sesuatu pada Risa, aku akan jadi orang pertama yang tahu, Bi.”

“Iya, iya. Astaga, posesif sekali kamu ini.” Bibi Lastri tertawa kaku. “Sudah sana. Bibi mau tidur juga. Capek seharian ngurusin rumah.”

Suara langkah kaki menjauh. Risa menempelkan telinganya ke pintu. Ada suara derit pintu depan, lalu keheningan yang mencekam. Kevin pergi.

Air mata Risa menetes, mengalir di pipinya yang dingin. Ia kalah. Bibi Lastri menang. Ia benar-benar terisolasi.

Namun, sebelum ia sempat terisak lebih jauh, sebuah bisikan dingin menembus kesunyian, langsung ke otaknya, tidak melewati telinganya.

*“Jangan takut, Nak… Kamu tidak sendiri…”*

Suara itu. Suara ibunya. Kali ini terdengar lebih jelas, lebih mendesak. Risa mengangkat kepalanya, matanya membesar. Bukan hanya suara. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk, tetapi bukan dingin yang menakutkan. Itu dingin yang familiar, dingin yang selalu menyelimutinya setiap kali arwah ibunya hadir.

Lalu, pandangannya tertuju pada cermin besar di sudut kamar. Cermin antik dengan bingkai ukiran rumit yang selalu membuat Risa merinding. Di pantulan cermin itu, samar-samar, ada bayangan. Bukan bayangan Risa. Bukan bayangan Bibi Lastri. Itu adalah siluet seorang wanita, mengenakan gaun putih yang lusuh, rambut panjangnya terurai. Wajahnya… kabur, tidak jelas. Namun, Risa tahu. Ia tahu siapa itu. Ibunya.

Bayangan itu bergerak. Tangannya terangkat, menunjuk ke suatu titik di dinding kamar, tepat di samping lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati kuno. Lalu, dalam pantulan cermin, bibirnya bergerak, seolah mengucapkan kata tanpa suara.

*“Temukan….”*

Dan seperti kabut, bayangan itu menghilang, meninggalkan Risa sendiri dalam keheningan yang kini terasa semakin mencekam. Ia menatap dinding yang ditunjuk ibunya. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya dinding usang dengan cat yang mulai mengelupas.

Apa yang harus ia temukan?

Risa bangkit, kakinya masih terasa sakit, tetapi adrenalin dan rasa penasaran mengalahkan rasa nyeri itu. Ia berjalan mendekat ke dinding, meraba permukaannya yang kasar. Tidak ada retakan, tidak ada celah. Hanya dinding biasa. Tapi ibunya tidak mungkin menunjuk tanpa alasan.

Ia menekan, menggeser, mengetuk setiap jengkal dinding. Tidak ada apa-apa. Keputusasaan mulai kembali. Mungkin ia salah lihat. Mungkin ia hanya berhalusinasi. Bibi Lastri benar-benar sudah membuatnya gila.

*“Lebih teliti… Anakku…”* Bisikan itu kembali, lebih pelan, lebih samar, tetapi cukup untuk membuat Risa merinding lagi.

Risa memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi, merasakan energi di sekitarnya. Indera keenamnya yang belum disadarinya sepenuhnya, kini mulai bereaksi. Ada sesuatu. Ada energi yang berbeda di balik dinding ini.

Ia membuka matanya, menelusuri lagi dinding itu, kali ini dengan pandangan yang lebih tajam. Matanya berhenti pada ukiran rumit di lemari jati yang menempel di dinding. Ukiran bunga mawar yang terukir dengan sangat detail.

Ukiran itu… salah satu mawar tampak sedikit berbeda. Kelopaknya lebih menonjol, seolah bisa diputar. Risa mengulurkan tangan, menyentuh ukiran mawar itu. Dingin. Ia mencoba memutarnya. Tidak bergerak. Ia menariknya. Tidak juga.

Dengan frustrasi, ia menekan salah satu kelopak mawar yang paling menonjol itu.

*Klik!*

Suara pelan namun jelas itu membuat Risa terlonjak kaget. Dinding di samping lemari, yang tadinya tampak solid, kini bergeser sedikit ke dalam, meninggalkan celah kecil yang langsung mengeluarkan embusan udara pengap dan bau apek. Mata Risa membelalak. Ada lorong rahasia.

Jantungnya berdebar kencang. Ibunya… ibunya benar-benar membimbingnya.

Ia mendorong dinding itu lebih jauh. Dengan suara derit panjang yang membuat giginya ngilu, dinding itu akhirnya terbuka, menampakkan sebuah celah gelap dan sempit. Aroma tanah lembab, kayu lapuk, dan sesuatu yang manis-busuk menusuk hidungnya.

Di dalam sana, gelap gulita. Tidak ada cahaya sama sekali. Risa menelan ludah. Rasa takutnya kembali mencengkeram. Tapi rasa penasaran dan harapan untuk menemukan kebenaran jauh lebih besar. Ini adalah kesempatan. Kesempatan terakhirnya.

Ia berbalik, melirik ke pintu yang terkunci, lalu ke lorong gelap itu. Tidak ada pilihan. Ia harus masuk.

Dengan tangan gemetar, Risa melangkah ke dalam kegelapan, merasakan lantai tanah yang dingin di bawah kakinya. Pintu rahasia itu perlahan menutup di belakangnya, meninggalkan Risa terperangkap di dalam lorong yang tak dikenalnya, di mana hanya kegelapan dan bisikan-bisikan dingin yang menyambutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!