Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pukul lima sore.
Kediaman Alastair plot C terasa hangat, namun sunyi. Meja makan sudah terisi penuh oleh berbagai hidangan yang masih mengepul tipis. Bu Neni dan Bu Sari berdiri di sisi meja, menunggu.
“Nyonya, silakan makan dulu,” ujar Bu Sari lembut.
Leora duduk, sendoknya sudah di tangan, tapi tak kunjung menyentuh makanan. Pandangannya terus beralih ke arah pintu dan jam dinding.
“Belum pulang juga ya, Tuan Leonard?” tanya Bu Neni hati-hati.
Leora menggeleng pelan.
“Belum.”
“Mungkin ada urusan kantor yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Bu Neni menenangkan.
Leora mengernyit kecil.
“Tidak mungkin…”
Bu Neni dan Bu Sari saling pandang.
“Biasanya kalau lembur—” Leora terhenti. Bibirnya terkatup rapat.
Biasanya pun aku tidak tahu, batinnya.
Leora berdiri.
“Saya keluar sebentar.”
“Hah? Nyonya?” Bu Sari terkejut.
“Saya ke rumah utama.”
Tanpa menunggu jawaban, Leora melangkah keluar.
Sore itu angin berembus pelan saat Leora berjalan kaki menuju plot A, rumah utama keluarga Alastair. Langkahnya cepat, seolah keyakinan mendorongnya maju.
Di depan gerbang besar, satpam langsung menegakkan badan.
“Nyonya Leora. Silakan masuk.”
“Terima kasih, Pak.”
Leora diantar masuk ke dalam rumah utama.
Baru beberapa langkah ke dalam lorong—
“Leora?”
Suara itu membuat Leora berhenti.
Ibu Minjae Alastair yang sedang berjalan ke arah ruang keluarga tampak terkejut, lalu wajahnya langsung berbinar.
“Sayang!”
Minjae berjalan cepat sambil merentangkan tangan. Leora langsung memeluknya.
“Kok ke sini?” tanya Minjae hangat sambil mengusap punggung Leora.
“Kamu kangen ibu, ya?”
Leora tersenyum kecil.
“Iya, Bu.”
Minjae melepas pelukan, lalu menatap wajah Leora dengan penuh perhatian.
“Leonard?”
“Dia menyakitimu?”
“Atau bikin kamu nggak nyaman?”
“Hah? Tidak, Bu,” jawab Leora cepat.
“Leonard tidak melakukan apa-apa.”
Langkah kaki terdengar dari arah tangga.
Presdir Lee Alastair turun dengan santai. Ia berhenti begitu melihat Leora.
“Loh?”
“Ini ada tamu spesial sore-sore.”
Leora langsung menunduk sopan.
“Sore, Ayah.”
Lee tersenyum ringan.
“Ah, nggak usah formal. Anggap rumah sendiri.”
Minjae menggandeng Leora ke ruang keluarga.
“Duduk dulu.”
Lee ikut duduk, menatap Leora penuh selidik.
“Jadi… kenapa tiba-tiba ke sini?”
Leora ragu sejenak, lalu berkata pelan,
“Leonard belum pulang.”
Minjae langsung menoleh.
“Belum pulang?”
Lee mengerutkan kening.
“Jam segini?”
“Iya,” jawab Leora.
“Di rumah makan sudah disiapkan, tapi belum ada kabar.”
Minjae mulai kesal.
“Anak itu kenapa sih?”
Lee mencondongkan badan sedikit.
“Kamu sudah hubungi dia?”
Leora menunduk, jemarinya saling bertaut.
“Belum bisa…”
Minjae langsung menangkap ada yang janggal.
“Kenapa belum bisa?”
Leora tersenyum canggung.
“Leonard… belum memberi saya nomor teleponnya.”
Sunyi.
Lee terdiam.
Minjae menutup mulutnya dengan tangan.
“Ya ampun,” gumam Minjae.
“Sudah menikah, tapi nomor telepon saja—”
Lee menghela napas panjang.
“Ini keterlaluan.”
Leora buru-buru berkata,
“Tidak apa-apa, Ayah, Bu. Mungkin dia lupa.”
“Tidak,” tegas Minjae.
“Soal beginian tidak ada kata lupa.”
Lee berdiri, lalu menoleh ke salah satu pelayan yang lewat.
“Tolong ambilkan ponsel saya di kamar,” ujarnya santai.
“Baik, Tuan.”
Leora menatap Lee sedikit bingung, sementara Minjae menyilangkan tangan di dada jelas masih kesal.
Tak lama, pelayan itu kembali dan menyerahkan ponsel pada Lee.
Lee membuka layar, men-scroll sebentar, lalu menyodorkan ponsel itu ke arah Leora.
“Nih,” katanya ringan.
“Nomor Leonard.”
Leora sedikit terkejut.
“Oh… Ayah.”
“Disimpan saja dulu,” lanjut Lee.
“Bukan buat ribut, buat jaga-jaga.”
Minjae mendengus.
“Biar ayah saja yang menghubungi anak itu,” katanya kesal.
“Sudah dewasa, tapi bandelnya kayak anak kecil.”
Lee tersenyum miring.
“Memang.”
Ia mengetik cepat di ponselnya.
Leora tiba-tiba mengangkat tangan.
“Ayah.”
Lee berhenti.
“Hm?”
“Tidak perlu,” kata Leora lembut tapi tegas.
“Biarkan saja.”
Minjae menoleh kaget.
“Leora?”
Leora tersenyum kecil.
“Aku datang ke sini bukan untuk mengadu.”
Ia menatap keduanya bergantian.
“Kalau Ayah atau Ibu yang menegur Leonard sekarang, nanti semuanya terasa dipaksa.”
Lee menghela napas pelan.
“Kamu terlalu pengertian.”
Leora menggeleng.
“Bukan. Aku hanya ingin dia sadar sendiri.”
Minjae terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Leora.
“Kamu ini… kenapa baik sekali?”
Leora tertawa kecil.
“Mungkin karena aku juga keras kepala.”
Lee tersenyum samar.
“Baiklah. Ayah tidak kirim pesan.”
Ia mematikan layar ponsel.
“Tapi kalau malam ini Leonard belum pulang, itu urusan ayah.”
Leora mengangguk.
“Terima kasih, Ayah.”
Minjae berdiri.
“Kamu mau makan di sini saja?”
Leora menggeleng pelan.
“Aku pulang saja, Bu. Bu Neni pasti menunggu.”
Minjae memeluk Leora sekali lagi.
“Kalau ada apa-apa, langsung ke sini. Jangan dipendam.”
“Iya, Bu.”
Lee ikut berdiri.
“Satpam akan mengantar.”
“Tidak perlu,” jawab Leora lembut.
“Dekat.”
Leora melangkah keluar rumah utama dengan perasaan yang campur aduk.
Jalan menuju plot C terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu.
Saat Leora masuk ke rumahnya, Bu Neni dan Bu Sari langsung menghampiri.
“Nyonya sudah kembali.”
Leora tersenyum kecil.
“Iya.”
Ia melirik meja makan yang masih utuh.
“Panaskan lagi makanannya ya.”
“Baik, Nyonya.”
Leora duduk sendiri di kursi makan.
Ponselnya ia keluarkan dari tas.
Ia menatap satu nama di layar.
Leonard Alastair.
Leora menghela napas pelan.
Sekarang aku punya nomormu, batinnya.
tapi aku memilih menunggu.
Pukul sembilan malam.
Lampu neon berkelip, musik berdentum rendah namun konstan. Sebuah klub malam eksklusif di pusat kota dipenuhi tawa, gelas beradu, dan aroma alkohol.
Leonard duduk di sofa kulit hitam, jasnya sudah dilepas, kemeja sedikit terbuka di bagian kerah. Di kanan kirinya, David dan Roy tampak sama santainya gelas di tangan, ekspresi lepas.
“Gila,” ujar Roy sambil mengangkat gelas.
“Rasanya lama banget kita nggak keluar bareng begini.”
“Karena Eric sama Elan itu sekarang udah jinak,” sahut David sambil tertawa.
“Istri mereka pasti langsung pasang alarm kalau tahu ke sini.”
Leonard mendengus kecil, meneguk minumannya.
David melirik Leonard.
“Ngomong-ngomong… kau nggak dimarahi istrimu?”
Leonard tertawa pendek, miring.
“Dia?”
“Bodo amat. Lagian gue juga nggak peduli.”
Roy mengangkat alis.
“Dingin amat.”
“Hubungan kontrak,” balas Leonard singkat sambil mengangkat gelasnya lagi.
Minuman demi minuman mengalir. Tawa makin keras, kata-kata makin longgar.
Beberapa waktu kemudian, kepala mereka sudah terasa ringan.
Tiba-tiba
Bzzzt.
Ponsel Leonard bergetar di meja.
Leonard menyipitkan mata, meraih ponselnya.
Begitu melihat nama di layar, alisnya langsung berkerut.
“Jaesica Qie.”
David bersiul pelan.
“Masih hidup juga.”
Leonard menggerutu.
“Darimana dia dapat nomor gue lagi, sih?”
“HP gue udah ganti. Nomor juga.”
Roy mendecak kesal.
“Dia itu licik. Jangan heran.”
Leonard menenggak minumannya.
“Dia selalu neror gue.”
“Dia nggak tahu aja… gue udah punya istri.”
Leonard terdiam sesaat, lalu tertawa hambar.
“Makanya gue menjauh.”
Roy menyandarkan punggung.
“Karena selingkuhannya ketahuan?”
Leonard menatap gelasnya.
“Bukan cuma ketahuan.”
“Dia jalan sama cowok lain, terus merasa itu wajar.”
“Nggak ada rasa bersalah. Sama sekali.”
David menghela napas.
“Pantes.”
Leonard meraih botol bir baru dan menuang ke gelasnya kali ini lebih banyak dari biasanya.
“Udah,” katanya singkat.
“Gue nggak mau bahas dia lagi.”
Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada seorang wanita penghibur yang lewat.
Tanpa senyum, tanpa rayuan hanya kebiasaan kosong.
Roy memperhatikan Leonard.
“Kau yakin baik-baik aja?”
Leonard meneguk birnya.
“Kalau gue nggak baik-baik aja, gue nggak bakal duduk di sini.”
Musik kembali menelan percakapan mereka.
Lampu klub makin redup. Cahaya berwarna jatuh silih berganti ke arah sofa mereka.
Wanita penghibur itu berdiri tak jauh dari Leonard. Pakaiannya jelas menarik perhatian gaun pendek berkilau, potongannya sederhana tapi mencolok di bawah lampu malam. Bukan berlebihan, tapi cukup membuat siapa pun yang sudah setengah mabuk mudah terdistraksi.
Roy melirik sekilas lalu menggeleng.
“Ini tempat emang nggak pernah berubah.”
Leonard menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya setengah terbuka. Dalam kondisi sadar, ia mungkin tak akan terlalu peduli. Tapi sekarang kepalanya ringan, pandangannya buram.
Wanita itu tertawa kecil, menyodorkan minuman.
“Nambah?”
Leonard menerima gelas itu tanpa banyak bicara.
“Lu beneran udah teler,” gumam David.
Leonard meneguk lagi.
“Cuma capek.”
Pandangan Leonard sempat teralih bukan karena tertarik sepenuhnya, tapi karena stimulus di sekitarnya terlalu ramai. Musik, lampu, tawa, pakaian mencolok semuanya bercampur di kepalanya.
Roy mendekat, suaranya ditekan.
“Len, jangan kebablasan.”
Leonard tertawa pendek.
“Tenang.”
Namun tangannya kembali meraih botol bir.
Wanita itu masih berdiri di sana, tersenyum profesional sekadar menemani, berbasa-basi, tanpa kedekatan apa pun. Leonard sendiri lebih sering menatap gelasnya daripada wajah siapa pun.
Beberapa detik kemudian
“Gue mau lupa,” gumam Leonard pelan, lebih ke udara.
David menatapnya lama.
“Cara lu salah.”
Leonard tidak menjawab.
Lampu terus berputar.
Musik terus berdentum.
Dan di tengah semua rangsangan itu leonard justru merasa semakin kosong.