Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Keira Anindya menatap pantulan dirinya di cermin besar setinggi dua meter itu dengan tatapan kosong. Gaun berwarna peach selutut yang ia kenakan sebenarnya sangat cantik. Potongannya pas membalut tubuh rampingnya dan memberikan kesan anggun. Namun bagi Keira gaun ini terasa seperti kain kafan yang akan mengantarnya ke liang lahat kehidupan bebasnya.
Hari ini adalah hari kiamat. Setidaknya itulah definisi Keira tentang acara makan malam keluarga yang digagas oleh Papanya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan gadis berusia dua puluh empat tahun itu. Pintu kamar terbuka dan menampilkan wajah ibunya yang sudah rapi dengan kebaya modern.
"Keira, Sayang. Kenapa masih berdiri di situ? Ayo turun. Keluarga Zayden sebentar lagi sampai," ucap Mama dengan nada mendesak namun tetap lembut.
Keira membuang napas kasar. Bahunya merosot lemas.
"Ma, apa nggak ada cara lain? Kita bisa jual rumah ini atau mobil Papa. Asalkan Keira nggak perlu menikah dengan si biang kerok itu," rengek Keira. Dia membalikkan badan dan menatap ibunya dengan tatapan memohon seperti anak kucing minta dipungut.
Mama berjalan mendekat lalu merapikan sedikit tatanan rambut Keira yang sebenarnya sudah sempurna. Wanita paruh baya itu tersenyum sedih.
"Kamu tahu kondisi perusahaan Papa lagi di ujung tanduk. Cuma suntikan dana dari Zayden Group yang bisa nyelamatin ribuan karyawan kita dari PHK. Lagian Arkan itu anak yang baik dan ganteng kok. Kalian juga satu sekolah dulu kan? Pasti udah saling kenal," bujuk Mama.
Mendengar nama Arkan disebut membuat bulu kuduk Keira meremang. Bukan karena ngeri, tapi karena jijik.
"Baik dari mana Ma? Dia itu iblis berwajah manusia! Mama nggak tahu aja kelakuannya waktu SMA. Dia pernah naruh permen karet di kursi Keira waktu ujian nasional. Dia juga pernah nyebarin isu kalau Keira punya panu di punggung sampai nggak ada cowok yang mau deketin Keira selama satu semester!"
Dada Keira naik turun menahan emosi saat mengingat dosa-dosa masa lalu Arkan Zayden. Pria itu adalah musuh bebuyutannya. Musuh alami. Seperti air dan minyak atau kucing dan anjing. Dan sekarang dia harus menikah dengannya? Lebih baik Keira terjun payung tanpa parasut.
"Itu kan dulu waktu kalian masih remaja. Sekarang Arkan udah dewasa. Dia udah jadi CEO gantiin ayahnya. Pasti sifatnya udah berubah jadi lebih bijaksana," kata Mama berusaha meyakinkan.
Keira mendengus. Bijaksana apanya. Orang yang punya hobi jahilin orang lain nggak bakal sembuh semudah itu. Itu penyakit genetik.
"Udahlah. Ayo turun. Jangan bikin Papa malu," Mama menarik tangan Keira.
Dengan langkah berat yang diseret-seret seolah kakinya dipasangi pemberat besi, Keira mengikuti ibunya keluar kamar.
Ruang makan di kediaman keluarga Anindya sudah disulap menjadi tempat pertemuan formal nan mewah. Di sana sudah duduk Papa Keira yang tampak tegang. Di seberangnya ada sepasang suami istri paruh baya yang terlihat berwibawa. Itu pasti Tuan dan Nyonya Zayden.
Dan di sana. Tepat di sebelah Nyonya Zayden. Duduk seorang pria muda dengan setelan jas navy yang pas di tubuh atletisnya. Rambutnya ditata rapi ke belakang memperlihatkan dahi yang cerah. Hidungnya mancung dan rahangnya tegas. Secara visual dia memang nyaris sempurna.
Namun saat mata pria itu bertemu dengan mata Keira, sebuah senyum miring tercipta di bibirnya. Senyum tengil yang sangat Keira kenal. Senyum yang memberitahu dunia bahwa pemiliknya sedang merencanakan sesuatu yang jahat.
Arkan Zayden belum berubah sama sekali.
"Ah ini dia putri kami. Keira Anindya," Papa Keira berdiri menyambut kedatangan anak dan istrinya.
Keira memaksakan sudut bibirnya untuk terangkat. Senyum palsu mode aktif. Dia menyalami Tuan dan Nyonya Zayden dengan sopan.
"Wah cantik banget aslinya. Lebih cantik daripada di foto," puji Nyonya Zayden tulus. Beliau mengelus tangan Keira dengan sayang.
"Makasih Tante," jawab Keira lembut.
"Duduklah Keira. Di sebelah Arkan," perintah Papa.
Keira rasanya ingin membantah. Tapi tatapan memohon Papa membuatnya luluh. Dengan gerakan kaku dia duduk di kursi kosong tepat di samping Arkan. Aroma parfum maskulin yang mahal dan menyengat langsung menusuk indra penciumannya.
"Halo Tante Girang. Lama nggak ketemu. Masih hobi marah-marah?" bisik Arkan pelan sekali. Sangat pelan hingga hanya Keira yang bisa mendengarnya.
Keira langsung menoleh patah-patah. Matanya melotot tajam. Dia ingin sekali mengambil garpu di meja dan menancapkannya ke paha Arkan saat itu juga.
"Tutup mulut lo Arkan. Atau gue siram pakai kuah sop," balas Keira dengan suara desisan ular.
Arkan justru terkekeh pelan. Dia mengambil gelas air putih dan meminumnya dengan gaya sok elegan.
"Galak amat. Nanti cepet tua loh. Padahal belum nikah kerutan di dahi lo udah kayak jalanan rusak," ejek Arkan lagi.
Keira menarik napas panjang. Sabar Keira. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan. Orang emosian disayang setan. Jangan sampai meledak di depan calon mertua.
Acara makan malam dimulai. Suasana hening dan hanya terdengar denting sendok beradu dengan piring. Orang tua mereka mulai membicarakan bisnis dan masa depan perusahaan. Keira sama sekali nggak berselera menyentuh steak di piringnya.
"Jadi gimana Arkan? Apa kamu setuju sama rencana perjodohan ini?" tanya Papa Keira tiba-tiba memecah keheningan.
Keira menahan napas. Dia berharap Arkan akan menolak. Dia berharap Arkan akan mengamuk dan membatalkan semuanya. Arkan kan orangnya suka kebebasan. Dia pasti nggak mau diikat pernikahan.
Arkan meletakkan pisau dan garpunya dengan tenang. Dia mengelap bibirnya dengan serbet kain. Wajahnya berubah menjadi mode serius yang dibuat-buat.
"Saya setuju Om. Setuju banget malah," jawab Arkan lantang.
Mata Keira membola. Apa-apaan ini. Kenapa dia setuju.
"Saya udah lama kagum sama Keira Om. Sejak SMA saya selalu perhatiin dia. Saya pikir ini adalah takdir Tuhan yang pertemukan kami lagi," lanjut Arkan dengan nada penuh drama. Dia bahkan menatap Keira dengan tatapan mata yang seolah-olah penuh cinta. Padahal Keira tahu itu tatapan mengejek.
"Bagus kalau gitu! Om seneng dengernya," seru Papa Keira lega. Tuan Zayden juga tertawa renyah sambil menepuk bahu putranya.
"Keira gimana Nak? Kamu setuju kan?" tanya Tuan Zayden.
Semua mata kini tertuju pada Keira. Tekanan udara di ruangan itu mendadak terasa berat. Keira melihat wajah Papanya yang penuh harap. Dia melihat wajah Mamanya yang cemas. Dan dia melihat wajah Arkan yang tersenyum penuh kemenangan.
Cowok sialan. Dia pasti sengaja memojokkan Keira.
"Keira," gadis itu menggantung kalimatnya sejenak. Otaknya berputar mencari alasan. "Keira rasa kami terlalu muda Tante. Om. Kami baru dua puluh empat tahun. Karir kami baru aja mulai."
"Loh justru bagus nikah muda. Rezeki bakal makin lancar," sahut Nyonya Zayden semangat.
"Tapi Keira sama Arkan nggak saling cinta. Pernikahan tanpa cinta itu neraka," bantah Keira lagi.
Arkan tiba-tiba meraih tangan Keira yang ada di atas meja. Dia menggenggamnya erat. Tangan Keira terasa dingin dan berkeringat.
"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu Ra. Gue janji bakal belajar mencintai lo. Tiap hari gue bakal siram benih cinta di hati lo biar tumbuh subur," kata Arkan.
Kalimat itu terdengar romantis bagi para orang tua. Tapi di telinga Keira kalimat itu terdengar seperti ancaman pembunuhan.
Keira berusaha menarik tangannya tapi cengkraman Arkan sangat kuat. Kuku jempol Arkan bahkan menekan punggung tangan Keira dengan iseng.
"Lepas," desis Keira tanpa suara.
"Nggak mau," balas Arkan lewat gerak bibir.
"Ya sudah. Kalau duanya udah nggak keberatan. Kita bisa segera tentuin tanggal pernikahannya. Bulan depan kayaknya waktu yang tepat," putus Tuan Zayden.
"Bulan depan?" Keira nyaris berteriak kaget. "Itu terlalu cepet Om. Persiapannya gimana. Gedungnya. Kateringnya."
"Tenang aja Sayang. Mama sama Tante yang bakal urus semuanya. Kalian tinggal terima beres. Kalian cuma perlu fitting baju sama foto prewedding," kata Mama Keira antusias.
Keira lemas. Tamat sudah riwayatnya. Dia resmi terjebak.
Setelah makan malam selesai para orang tua pindah ke ruang tamu untuk mengobrol santai. Mereka membiarkan Arkan dan Keira mengobrol berdua di teras belakang dekat kolam renang.
Begitu pintu kaca tertutup dan memastikan nggak ada yang mendengar Keira langsung menghempaskan tangan Arkan kasar.
"Lo gila ya! Kenapa lo terima perjodohan konyol ini hah! Lo kan bisa nolak! Lo pewaris tunggal. Bokap lo pasti nurut sama lo!" amuk Keira. Telunjuknya menunjuk-nunjuk hidung mancung Arkan.
Arkan menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas teras. Dia melipat tangan di dada dengan santai.
"Gue nggak bisa nolak Nona Singa. Bokap gue ngancem bakal bekuin semua kartu kredit gue dan nyita mobil sport gue kalau gue nggak mau nikah tahun ini. Gue nggak bisa hidup miskin kayak lo," jawab Arkan jujur.
Keira menganga tak percaya. "Jadi lo korbankan masa depan gue cuma demi kartu kredit? Dasar cowok matre! Manja! Anak mami!"
"Heh jaga mulut lo ya. Daripada lo. Lo terima juga kan karena perusahaan bokap lo mau bangkrut? Kita ini sama aja. Sama-sama terjebak. Jadi jangan sok suci," balas Arkan tajam.
Keira terdiam. Ucapan Arkan memang benar. Mereka berdua hanyalah pion dalam permainan bisnis orang tua mereka. Tapi tetap saja Keira nggak terima kalau pasangannya adalah Arkan.
"Gue nggak mau nikah sama lo. Liat muka lo aja gue mual. Apalagi harus bangun tidur liat muka lo tiap hari. Bisa-bisa gue muntah darah," cibir Keira.
Arkan melangkah mendekati Keira. Dia mengurung tubuh mungil Keira di antara pagar pembatas dan tubuhnya. Keira reflek mundur hingga punggungnya menabrak pagar besi yang dingin.
"Yakin lo mual? Dulu pas SMA lo sering banget curi-curi pandang ke gue pas olahraga basket. Jangan bohong deh. Sebenernya lo naksir gue kan dari dulu?" goda Arkan. Wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajah Keira.
Jantung Keira berdegup kencang. Bukan karena cinta. Tapi karena kaget dan marah.
"Pede gila! Gue liatin lo karena celana lo sobek waktu itu! Gue ketawa dalem hati!" teriak Keira tepat di depan muka Arkan.
Arkan tergelak. "Alasan. Bilang aja lo terpesona sama ketampanan gue yang paripurna ini. Denger ya Keira. Kita buat kesepakatan. Kita nikah cuma buat status. Di depan orang tua kita akting mesra. Tapi di belakang mereka urusan kita masing-masing. Gue nggak bakal ganggu privasi lo. Dan lo jangan ganggu kesenangan gue. Deal?"
Arkan mengulurkan tangannya. Menawarkan gencatan senjata.
Keira menatap tangan itu ragu. Menikah kontrak? Seperti di drama Korea? Ide yang buruk. Sangat buruk. Tapi dia nggak punya pilihan lain saat ini. Menolak berarti membiarkan Papanya hancur.
"Oke. Deal. Tapi ada syaratnya," kata Keira.
"Apa?"
"Gue nggak mau sekamar sama lo."
"Dih siapa juga yang mau sekamar sama lo. Tidur lo ngorok kan? Gue butuh tidur nyenyak buat jaga ketampanan gue," cibir Arkan.
Keira menginjak kaki Arkan yang dibalut sepatu pantofel mahal itu sekuat tenaga.
"Aww! Sakit woy! Lo hobi banget sih main fisik! KDRT ini namanya!" Arkan memegangi kakinya sambil meringis kesakitan.
"Rasain. Itu DP buat penderitaan yang bakal lo terima kalau jadi suami gue. Inget Arkan. Gue bakal bikin hidup lo kayak neraka," ancam Keira dengan mata menyala-nyala.
Bukannya takut Arkan malah menyeringai lebar. Rasa sakit di kakinya seolah hilang begitu saja melihat wajah Keira yang memerah karena marah. Menurut Arkan wajah marah Keira itu hiburan tersendiri.
"Oke. Gue terima tantangan lo Istriku. Mari kita lihat siapa yang bakal nyerah duluan. Neraka buatan lo mungkin bakal jadi tempat liburan asik buat gue," tantang Arkan balik.
Tiba-tiba pintu kaca terbuka. Mama Keira muncul dengan wajah berseri-seri.
"Wah kalian lagi apa deketan gitu? Mesra banget. Ayo masuk. Kita mau potong kue sebagai tanda peresmian lamaran," panggil Mama.
Arkan langsung mengubah ekspresinya. Dia merangkul bahu Keira dengan erat lalu tersenyum manis pada calon ibu mertuanya.
"Iya Ma. Kami lagi ngomongin betapa nggak sabarnya kami nunggu malam pertama," sahut Arkan asal.
Keira mencubit pinggang Arkan keras-keras sampai cowok itu terlonjak kaget.
"Ayo Sayang. Jangan malu-malu," Arkan menyeret Keira masuk ke dalam rumah.
Dalam hati Keira bersumpah. Dia akan membuat Arkan menyesali hari di mana dia terlahir ke dunia. Pernikahan ini bukan pernikahan. Ini adalah medan perang. Dan Keira nggak akan membiarkan dirinya kalah dari buaya darat macam Arkan Zayden.
"Tunggu aja pembalasanku Arkan."