Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. Undangan Kaum Elit dan Serangan Pihak Ketiga
Angka Rp740.000.000 di layar monitor terasa surealis. Beberapa bulan lalu, Rendra harus menghitung recehan sisa kembalian belanja hanya untuk membeli mi instan. Hari ini, ia duduk di kursi kulit ergonomis di dalam bunker pribadinya yang sejuk, menatap kekayaan yang bisa menghidupi keluarga biasa selama sepuluh tahun.
Namun, Rendra tidak merasakan euforia belanja. Ia merasakan paranoia orang kaya baru yang cerdas. Uang sebanyak ini, jika tidak memiliki "kulit" yang legal, akan menjadi racun, Membangun Benteng Legalitas.
Rendra menghabiskan pagi itu bukan untuk berdagang saham, melainkan membangun struktur legalitas. Ia tidak bisa terus-terusan menjadi "hantu".
Menggunakan koneksi internet terenkripsi, Rendra mendaftarkan sebuah perusahaan cangkang (shell company) berbasis teknologi di Singapura, yang ia beri nama "Nusantara Quantitative Solutions".
Ia memindahkan Rp500.000.000 ke rekening perusahaan itu sebagai "modal disetor", dan sisanya Rp240.000.000 ia pecah ke dalam bentuk aset likuid: Emas Antam yang ia simpan di brankas bunker, dan Cryptocurrency (Bitcoin dan Ethereum) yang tidak bisa dilacak oleh perbankan lokal.
Sekarang, jika ada yang bertanya (termasuk Clara atau guru sekolahnya) dari mana ia mendapatkan uang untuk membeli sepatu baru atau laptop, Rendra memiliki alibi: "Aku bekerja freelance sebagai programmer untuk perusahaan startup Singapura." Alibi yang elegan, modern, dan sulit diverifikasi oleh orang awam.
Siang harinya, di sekolah, suasana terasa berbeda. Berita tentang lolosnya Ayah Clara dari jerat hukum membuat Clara kembali menjadi pusat perhatian, tetapi kali ini dengan aura kemenangan. Saat jam pulang sekolah, Clara mencegat Rendra di parkiran. Gadis itu tampak berseri-seri, mengenakan bando mutiara yang mempertegas status sosialnya.
"Rendra," panggilnya. "Sabtu malam ini, Ayahku mengadakan acara syukuran kecil di rumah. Hanya kerabat dekat dan beberapa kolega. Makan malam santai."
Clara memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Ayah bilang aku boleh mengundang satu teman dekat. Dan aku ingin kau datang."
Rendra terdiam. Masuk ke rumah keluarga Paramita? Itu sama saja masuk ke kandang singa. Di sana akan ada Elena Paramita...klien rahasianya...dan mungkin mata-mata Wirawan.
"Clara, aku tidak yakin aku cocok di sana. Kau tahu statusku. Aku tidak punya jas mahal atau obrolan tentang golf," tolak Rendra halus.
"Jangan bodoh," potong Clara cepat. "Ayahku berutang nyawa pada 'seseorang' yang membantunya, tapi dia juga tahu kau adalah teman yang selalu menjagaku di sekolah. Tolonglah, Rendra. Aku butuh teman yang nyata di sana. Semua tamu lain hanya akan bicara politik dan menjilat Ayahku."
Tatapannya memohon. Rendra menyadari ini adalah peluang strategis. Masuk ke rumah Paramita memberinya kesempatan untuk melihat langsung dinamika antara Elena, Ayahnya, dan mungkin... menguping pembicaraan tentang Wirawan.
"Baiklah," Rendra mengangguk. "Aku akan datang. Tapi jangan berharap aku akan berdansa."
Clara tertawa renyah, tawa yang terdengar sangat lega. "Cukup datang dan makan enak. Itu sudah cukup." Sore itu, langit Jakarta mendung gelap. Rendra memutuskan untuk pulang berjalan kaki sebentar sebelum naik angkutan umum, menikmati udara sore. Namun, instingnya..yang kini setajam pisau cukur..merasakan sesuatu yang salah.
Bukan Wirawan. Wirawan selalu mengirim pesan atau orang berjas rapi. Ini terasa lebih... kasar. Rendra berhenti di depan sebuah minimarket. Ia memejamkan mata sejenak, berpura-pura memijat pelipisnya.
Visi nya Aktif.
Deg!!.
Ia melihat dirinya lima belas menit ke depan. Ia sedang berjalan di gang sempit menuju area rukonya. Tiba-tiba, dua sepeda motor RX-King tanpa plat nomor memblokir jalan. Tiga orang pria turun, mengenakan helm tertutup dan jaket denim lusuh. Mereka membawa pipa besi dan rantai.
Dalam Visi itu, Rendra melihat salah satu penyerang berteriak: "Ini salam dari Keadilan!" sebelum mengayunkan pipa besi ke kepala Rendra. Rendra di Visi itu berhasil menangkis, tapi lengannya retak. Rendra membuka mata. Napasnya teratur.
"Salam dari Keadilan". Partai keadilan (PK). Lawan politik Ayah Clara.
Rendra menyadari konsekuensi tindakannya. Dengan menyelamatkan Ayah Clara, ia telah merusak rencana Partai Keadilan. Mereka pasti telah melacak siapa yang memberi Elena "Kartu As" itu, atau setidaknya, mereka melacak siapa orang terdekat Clara yang mencurigakan. Dan Rendra, "anak miskin" yang selalu bersama Clara, adalah target termudah untuk intimidasi.
Mereka ingin mengirim pesan. Tapi mereka salah memilih kotak pos. Rendra tidak menghindar. Ia justru berjalan menuju gang itu. Namun kali ini, ia siap.
Ia mampir ke toko bangunan sebentar, membeli segenggam pasir kasar dan sebuah kunci inggris berat yang ia selipkan di balik jaketnya. Lima belas menit kemudian, Gang sempit dekat ruko.
Suara knalpot bising meraung. Persis seperti di Visi. Dua motor memblokir jalan Rendra dari depan dan belakang. Tiga orang turun. Aura mereka intimidatif, khas preman bayaran murahan.
"Hei, Bocah," seru yang paling besar, memukulkan pipa besi ke telapak tangannya. "Kau terlalu dekat dengan keluarga Paramita. Ada orang yang tidak suka."
Rendra berdiri santai, tangannya di saku jaket. "Partai Keadilan membayar kalian berapa? Nasi bungkus? Atau rokok sebatang?"
Preman itu tersentak. "Banyak bacot!"
Pria itu mengayunkan pipa besinya, mengincar kepala. Namun Rendra sudah melihat gerakan ini di masa depan. Ia tidak menangkis dengan lengan. Ia menunduk cepat, menghindari ayunan itu dengan presisi milimeter.
Bersamaan dengan itu, tangan kanan Rendra bergerak. Ia melemparkan segenggam pasir kasar tepat ke mata di balik kaca helm yang terbuka sedikit.
"Arghh!" Preman itu meraung, buta sesaat. Rendra tidak membuang waktu. Ia menghantamkan lututnya sekuat tenaga ke ulu hati preman itu, membuatnya terbungkuk, lalu menyikut tengkuknya. Satu lawan tumbang dalam tiga detik. Dua temannya terkejut, Rendra menarik kunci inggris dari jaketnya. Wajahnya dingin, matanya memancarkan aura pembunuh yang ia pelajari dari tekanan Wirawan.
"Siapa selanjutnya?" tantang Rendra. Kedua preman itu saling pandang, keraguan muncul. Mereka dibayar untuk memukul anak SMA, bukan melawan petarung terlatih.
"Cabut!" teriak salah satunya. Mereka menyeret teman mereka yang pingsan naik ke motor dan tancap gas, meninggalkan Rendra sendirian di gang yang sunyi. Rendra menyimpan kembali kunci inggrisnya, Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut, tapi karena adrenalin.
Ia memungut sesuatu yang jatuh dari saku preman yang ia hajar tadi. Sebuah ponsel Nokia jadul.
Rendra mengantongi ponsel itu. Itu adalah bukti. Bukti bahwa ia kini berperang di dua front: Melawan Mafia Wirawan di satu sisi, dan Melawan Musuh Politik Paramita di sisi lain.
Ia berdiri di tengah persimpangan berbahaya, dengan undangan makan malam elit di saku kanannya dan ponsel preman di saku kirinya.
"Selamat datang di dunia orang dewasa, Rendra," bisiknya pada diri sendiri.
Malam minggu nanti, di rumah Paramita, ia harus memainkan peran terbaik dalam hidupnya. Ia akan bertemu Elena, wanita yang ia manipulasi. Dan Ayah Clara, pria yang ia selamatkan sambil menyembunyikan fakta bahwa ia baru saja menghajar orang-orang yang ingin menghancurkan mereka.
Semangat Thor