Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 — “Malam Pertama Tanpa Cinta”
Villa pribadi di tebing Nusa Dua, Bali, seharusnya menjadi simbol kemewahan dan pelarian. Bagi Winter, malam itu, villa itu terasa seperti penjara kaca yang dirancang untuk memamerkan tawanan. Dinding-dinding kaca membentang dari lantai hingga langit-langit, mengekspos pemandangan Samudra Hindia yang luas dan gelap, yang suaranya—deru ombak yang memecah di bawah—terdengar seperti bisikan peringatan.
Aroma laut yang asin bercampur dengan wangi bunga kamboja yang terbawa angin malam, menciptakan suasana yang seharusnya romantis, tetapi terasa mencekik Winter.
Mereka tiba larut malam. Tidak ada perbincangan selama penerbangan. Di suite villa yang sangat luas—terdiri dari ruang tamu minimalis, dapur terbuka, dan dua kamar tidur utama yang terletak di ujung berlawanan—keheningan itu adalah hal pertama yang harus mereka hadapi.
Winter melemparkan tas kecilnya ke sofa kulit putih dan segera berjalan ke kamar tidur di sisi kanan. Itu adalah kamar yang ditunjuknya untuk dirinya sendiri.
“Aku harap staff di sini mengerti bahwa kamar ini adalah milikku, dan kamar di seberang sana adalah milikmu,” kata Winter, tanpa menoleh, suaranya dingin dan lugas.
Darren, yang sedang mengamati pemandangan dari teras dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, berbalik perlahan. Ia tidak melepas jasnya, seolah-olah ia tidak berencana untuk menetap.
“Tentu,” jawab Darren, suaranya tenang, nyaris santai, yang justru membuat Winter merasa semakin cemas. “Aku ingat aturannya: kamar terpisah, batasan emosi, tidak ada klaim fisik. Kontrak itu sudah jelas.”
“Bagus jika kau mengingatnya,” ucap Winter, akhirnya menoleh, menatapnya lurus. Wajahnya keras, tidak menunjukkan kelelahan dari perjalanan.
Darren melangkah mendekat, perlahan. Setiap langkahnya terasa seperti pengepungan. “Aku juga mengingat klausul yang tidak tertulis, Winter. Yang kau tulis di mata. Aku ingin melihatmu menderita.”
“Kalau begitu, nikmatilah penderitaan itu,” balas Winter, mengangkat dagunya. “Perusahaanmu diselamatkan, Darren. Kau harusnya bersyukur, bukan mengancam.”
“Aku bersyukur,” sahut Darren, kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. “Aku sangat bersyukur. Kau memberiku kesempatan yang tidak akan kulepaskan lagi.”
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut, tetapi getaran di antara mereka cukup untuk menjelaskan semuanya. Itu adalah pengakuan bahwa permainan ini, yang dimulai sebagai balas dendam Winter, kini telah diambil alih oleh obsesi Darren.
Winter memaksakan diri untuk mengabaikannya. Dia berbalik, masuk ke kamarnya, dan menutup pintu geser kayu ek besar itu dengan bunyi yang tegas. Tujuannya adalah membangun dinding di antara mereka.
Namun, kamar itu terasa terlalu mewah dan terlalu kosong. Di dalamnya terdapat king size bed dengan sprei sutra putih, sebuah bak mandi besar dari marmer hitam yang menghadap laut, dan lemari pakaian yang sudah terisi pakaiannya. Dan yang paling penting: pintu penghubung kecil ke kamar Darren di seberang.
Pintu itu tertutup rapat, tetapi Winter bisa merasakan kehadiran Darren di baliknya, sebuah tekanan yang konstan.
Dia memutuskan untuk mandi air panas. Berharap panasnya air bisa mencairkan ketegangan di pundaknya yang tegang. Saat ia keluar dari kamar mandi, dibalut jubah mandi sutra, Winter mendapati dirinya kelaparan. Ia belum makan sejak siang.
Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mengambil sepotong buah dari kulkas dapur dan langsung kembali ke kamarnya. Dia harus memastikan Darren tahu batasnya.
Winter berjalan keluar dari kamarnya, ruangan yang luas itu kembali sunyi.
Lampu-lampu di dapur terbuka menyala remang-remang. Darren berdiri di sana, membelakanginya, sedang menuangkan air ke dalam ketel. Dia sudah mengganti pakaiannya dengan celana lounge hitam longgar dan kaus katun abu-abu, pakaian yang menampakkan lekuk bahunya dan lengan yang kuat. Punggungnya tegap dan santai—terlalu santai.
“Aku dengar suara pintu. Kurasa kau lapar,” kata Darren tanpa menoleh. “Aku hanya membuat teh. Kau ingin sandwich?”
“Tidak,” jawab Winter, suaranya kaku. “Aku hanya akan mengambil buah.”
Dia berjalan ke konter marmer dapur, memastikan jarak aman di antara mereka. Dia membuka kulkas dan mengambil apel hijau yang dingin.
“Kau selalu makan apel hijau saat stres,” komentar Darren.
Winter menutup pintu kulkas dengan sedikit keras. “Kau tidak perlu mengingat detail yang tidak penting, Darren.”
Darren berbalik, memegang dua cangkir teh porselen. “Semua tentangmu tidak pernah tidak penting bagiku, Winter. Bahkan saat itu.”
Dia berjalan ke meja makan kecil, meletakkan cangkir teh. Aroma Earl Grey yang hangat mulai mengisi udara.
Winter bersandar di konter, memakan apelnya, berusaha keras untuk tidak melihat Darren. Dia membenci betapa alaminya kehadiran Darren di ruangan itu, seolah mereka sudah melakukan ini ribuan kali.
“Bagaimana dengan Lysandra?” tanya Winter, mengubah topik. Nama adiknya, Lysandra, adalah nama yang selalu ia gunakan untuk menciptakan jarak. “Dia pasti sudah melihat berita pernikahan ini.”
Wajah Darren mengeras sedikit. “Aku tidak tahu. Aku tidak menghubungi siapa pun. Perusahaan adalah satu-satunya yang penting sekarang. Dan…”
Dia berhenti, menatap Winter.
“…dan aku sedang bulan madu, Winter. Setidaknya, akting kita harus meyakinkan. Jangan libatkan orang lain, terutama keluargamu.”
Winter merasakan sentakan kecil. Pria ini tahu cara memprovokasi tanpa berteriak.
“Kau terlalu berlebihan memainkan peranmu, Darren. Di depan publik, kita akting. Di sini, kita adalah dua orang asing yang terpaksa berbagi biaya villa.”
“Orang asing yang memiliki sejarah yang sangat panas,” koreksi Darren. Ia berjalan kembali, dan kini, ia berdiri di antara Winter dan pintu kamar Winter. Ia mengambil pisau kecil dari meja, memotong ujung apel yang tadi digigit Winter.
Winter membeku. Jarak di antara mereka kini terlalu tipis. Hanya berjarak satu lengan. Kehadiran Darren yang besar dan gelap terasa mengancam di sekelilingnya. Apalagi, Darren berani mengambil sisa makanan dari tangannya.
“Berhenti,” bisik Winter, suaranya tercekat.
“Berhenti apa?” Darren menatap ke bawah, memegang pisau kecil itu. Kemudian, matanya bertemu mata Winter. Dekat, sangat dekat. “Berhenti memotong apelmu?”
“Berhenti mempersempit jarak, Darren.”
Darren tersenyum lagi. Senyum itu tidak menjangkau matanya, tetapi itu adalah senyum yang menawan, lembut, dan dipenuhi makna tersembunyi.
“Aku tidak menyempitkan jarak, Winter. Villa ini yang terlalu kecil untuk kita. Terutama dengan semua ketegangan yang kau paksakan di dalamnya.”
Dia meletakkan pisau itu. Tangan kanannya terangkat, perlahan, dan Winter merasakan napasnya tertahan. Winter menunggu sentuhan, sentuhan yang akan memicu kemarahannya, yang akan membenarkan balas dendamnya.
Tapi Darren tidak menyentuhnya.
Jari telunjuknya yang panjang hanya menyentuh helai rambut Winter yang basah setelah mandi, rambut yang terlepas dari jubah sutranya. Dia menyelipkan helai rambut itu ke belakang telinga Winter.
Sentuhan itu singkat, tidak agresif, tetapi sangat intim—sebuah pelanggaran batas yang jauh lebih parah daripada sentuhan posesif di upacara pernikahan.
Winter merasakan seluruh tubuhnya merespons, bukan dengan amarah, tetapi dengan kerentanan yang telah lama terkunci. Luka batinnya—kerapuhannya—terasa seperti mengintip keluar dari balik baja yang ia bangun.
“Kau trauma masa lalu, Winter,” bisik Darren, suaranya begitu rendah sehingga terasa seperti sentuhan di lehernya. “Kau takut pada sentuhan ini. Kau takut pada perasaan ini.”
Winter mundur selangkah, menjauh dari tangannya. Ia harus kembali mendapatkan kendali.
“Aku tidak takut,” katanya, dingin. “Aku hanya jijik dengan aktingmu yang murahan.”
Darren tertawa kecil, suara rendah yang bergetar. Dia tidak mengejar. Dia membiarkan Winter menarik diri.
“Jijik?” Darren mencondongkan tubuh sedikit ke depan, hanya gerakan kecil, tetapi cukup untuk membuat Winter merasakan dominasinya. “Jika kau jijik, kenapa aku bisa melihat api di matamu saat aku menyentuh tanganmu saat bertukar cincin tadi?”
Winter menelan ludah, Apel di tangannya terasa berat. “Itu adalah kemarahan karena kau meremehkanku.”
“Tidak,” balas Darren, suaranya menjadi lebih tegas. “Itu adalah chemistry, Winter. Kimiawi. Tubuhmu tidak peduli dengan kontrak atau dendam. Tubuhmu mengingat apa yang kita miliki, dan tubuhmu menginginkan pengakuan.”
Winter akhirnya membuang apelnya ke konter dengan bunyi keras. Dia tidak tahan lagi.
“Aku tidak akan terjebak dalam permainan ini,” kata Winter, berbalik menuju kamarnya.
“Kau sudah terjebak, istriku,” kata Darren, suaranya menghentikan Winter di ambang pintu geser. “Pernikahan ini seharusnya menghukumku, tapi kau justru menghukum dirimu sendiri dengan keharusan untuk menolakku setiap malam.”
Winter memegang gagang pintu, tangan yang lain mengepal erat. Ia tidak berbalik.
“Aku tidak akan pernah kehilangan kendali, Darren.”
“Benarkah?” tanya Darren. Dia kini berjalan mendekat, dan suaranya terdengar dari belakang punggung Winter.
Dia tidak menyentuh Winter, hanya berdiri di belakangnya. Winter bisa merasakan panas tubuhnya, aroma napasnya yang samar, dan energi yang mengancam.
“Kau telah membangun tembok tertinggi, Winter. Tapi kau melakukan satu kesalahan fatal.”
Winter menunggu.
“Kau membiarkanku tinggal di dalamnya,” bisik Darren, sangat dekat dengan telinganya.
Winter Alzona berdiri kaku. Di balik semua dinginnya, dia menyadari: dia tidak bisa bernapas dengan benar. Dia tidak lagi memegang kendali. Dia baru saja memberikan kunci bentengnya kepada pria yang paling mampu menghancurkannya.
Dia mendorong pintu kamarnya, masuk, dan menguncinya dengan bunyi keras, mengabaikan fakta bahwa gembok kecil itu terasa sangat konyol di villa mewah dengan dinding kaca ini.
Di luar, Darren tersenyum ke gelapnya laut. Ia tahu Winter mendengar.
“Selamat malam, Winter. Tidurlah yang nyenyak. Kita punya enam bulan yang panjang.”
Malam pertama tanpa cinta. Malam pertama di mana Winter Alzona menyadari, ia mungkin yang akan kecanduan pada pria yang ditakdirkan untuk ia benci.