Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
DUARRRRRR....... DUARRRRRR.......
Kerasnya suara guntur yang saling bersautan di udara, derasnya hujan, dan kencangnya angin membuat Hagia terbangun dari tidurnya. Ia bisa melihat kilatan cahaya petir dari ventilasi kamarnya, ibu satu anak itu merapat tubuhnya pada sang putri yang terlelap dalam buaian.
Entah kenapa pikirannya mengingat Biru, padahal tadi sore Biru sudah memberi kabar jika satu minggu lagi ia akan kembali. Tapi malam ini Hagia merasa resah dalam hatinya, semakin dipikirkan semakin membuatnya tidak tenang.
Hagia melirik jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 02.35 dini hari. Ia beranjak dari ranjang ke kamar mandi untuk berwudhu, ia berniat melakukan sholat malam agar hatinya lebih tenang. Sebab tidak biasanya ia gelisah seperti ini.
Setelah selesai melakukan sholat malam, hatinya sedikit tenang tapi belum lega. Tanpa membuka mukenanya terlebih, Hagia mengambil ponselnya dan mengetikan pesan untuk Biru.
'Assalamualaikum, Gus'
Tulis Hagia, ia berharap langsung dapat balasan dari Biru, meskipun kemungkinan nya kecil, mengingat waktu menunjukkan dini hari.
Ting....,
Sebuah pesan masuk dari Biru, kali ini Hagia tidak dapat menahan senyumnya. Hatinya lega setelah mendapat balasan dari Biru.
'Walaikumsalam, Tumben jam segini chat. Kangen ya?'
Tulis Biru sengaja menggoda Hagia.
"Dasar narsis." gumam Hagia sambil tersenyum, lalu kembali mengetik pesan.
'Bukan kangen, gak tahu kenapa tiba-tiba ingat kamu. Kamu baik-baik aja kan, Gus'?
Tulis Hagia, tapi kali ini Biru tidak langsung membalas. Satu menit, dua menit, sampai lima menit Hagia menunggu balasan Biru, namun tidak kunjung ada balasan.
"Sepertinya dia sudah tidur." pikir Hagia, ia melekatkan ponselnya dan melepas mukenah nya. Setelah itu ia kembali tidur, kilat dan guntur sudah tidak saling bersautan, namun hujan masih setia mengguyur bumi meskipun tidak sederas sebelumnya.
.....
Di belahan bumi yang lain, Biru baru saja kembali ke asrama sempitnya. Matanya menatap nanar pada layar ponsel yang menampilkan pesan dari calon istrinya. Belum apa-apa saja, Hagia sudah mempunyai firasat jika terjadi sesuatu padanya, malam ini.
Sesuatu, terjadi. Ia baru saja mengucapkan ijab qobul atas nama wanita yang tidak dicintainya, Biru benar-benar tidak menyangka jika pertama kali ia mengucapkan kalimat sakral itu bukan untuk Hagia, wanita yang selalu ia impikan menjadi istrinya, dan calon ibu dari anak-anaknya.
Untuk sekarang, Hilya memang setuju tidak akan menuntut hak apapun darinya. Tapi mengingat begitu besar obsesi cinta wanita itu, Biru tidak yakin jika kedepannya Hilya tidak akan berbuat nekad lagi.
Setelah cukup lama terdiam, Biru melihat jam dari ponselnya, ternyata sudah hampir waktu subuh. Ia beranjak ke kamar mandi, bersiap menuju masjid untuk melakukan sholat subuh berjamaah.
"Biru!" seru Hamid saat Biru baru saja keluar dari asrama nya. "Berrrr, dinginnya menusuk tulang." kata Hamid setelah berjalan bersama Biru. "Hujan-hujan gini paling enak pengantin baru." sambungnya sambil memeluk tubuhnya sendiri erat-erat.
Biru langsung menghentikan langkahnya dan menatap tajam Hamid. "Maksudnya apa ngomong kayak gitu?" tanyanya dengan nada tidak suka.
Hamid mengernyit bingung. "Kenapa? Kan bener hujan gini paling enak jadi pengantin baru. Ada yang salah?"
"Kamu nyindir aku?" tuduhnya, sepertinya emosi Biru belum stabil setelah pernikahan dadakan yang ia lakukan.
Lagi-lagi Hamid dibuat semakin bingung. "Kamu ngomong apa sih, Ru? Nyindir apanya? Kan kamu nikahnya masih bulan depan. Ada-ada aja," Hamid menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.
Biru mengusap kasar wajahnya, mengingat reaksi berlebihan yang ia tunjukkan pada Hamid, padahal sang sahabat tidak tahu apa-apa. "Sorry, aku lagi banyak pikiran." katanya pelan.
Hamid sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Biru, ia malah merangkul pundak Biru dan kembali berjalan menuju masjid. "Biasa, calon pengantin memang banyak cobaan nya. Kata orang sih gitu, soalnya gue belum pernah kawin." ujarnya terkekeh.
Biru ikut tertawa, mendengar Hamid sok jadi penasehat berdasarkan 'katanya' yang belum tentu benar. "Nikah dulu baru kawin." ralat Biru menyikut perut Hamid.
Saat mereka sampai serambi masjid, mereka bertemu dengan salah satu ustadz senior dan juga pengurus ponpes Darul Hikmah, beliau juga yang aktif mengimami sholat di masjid saat Abah Yai Khalid tidak di tempat.
"Assalamualaikum, ustadz." ucap Biru dan Hamid bersamaan, mereka bergantian menyalami pria bersorban putih itu.
"Walaikumsalam," sahut ustadz Zainal tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Kebetulan kalian sudah datang, ayo cepat adzan." katanya memberikan instruksi.
"Siap ustadz." jawab Hamid semangat, langsung masuk masjid dan mengumandangkan adzan subuh dengan suara indahnya.
Ustadz Zainal dan Biru menyusul masuk masjid, lalu mendirikan sholat qoblyah subuh. Tak lama para santri dan santriwati juga berdatangan memenuhi masjid, juga para tenaga pengajar yang lainya.
.....
Biru membereskan mejanya, sebenarnya ia baru akan pulang lima hari lagi, tapi karena kejadian semalam, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Lagi pula guru yang akan menggantikan nya juga sudah datang, Biru juga sudah berpamitan dengan ustadz Zainal setelah selesai kuliah subuh tadi pagi.
"Ru, mendadak banget sih pulangnya?" protes Hamid mengekorinya.
"Banyak yang harus di persiapkan, Mid." bohongnya, ia keluar dari kantor dengan membawa boks kecil. Sebelumnya Biru juga sudah berpamitan dengan rekan-rekan pengajar lainya.
"Aku bakal kangen banget sama kamu, Ru." keluh Hamid, Biru hanya terkekeh berjalan menuju asrama.
"Gus Biru." suara seseorang menghentikan langkah Biru dan Hamid.
Biru menghela napas dengan malas mendengar suara itu, sedangkan Hamid tersenyum ramah. "Assalamualaikum, Gus Hanan." ucap Hamid.
"Walaikumsalam," sahut Gus Hanan, lalu menoleh kearah Biru. "Kata ustadz Zainal, Gus mau pulang hari ini?" tanyanya memastikan.
"Ya" jawab Biru singkat. Hamid mengernyit heran, sebab nada bicara Biru terdengar tidak ramah, beda dengan biasanya.
"Ru, aku ke kelas dulu ya." pamit Hamid merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Gus, assalamualaikum." ucapnya pada Gus Hanan dan Biru.
"Walaikumsalam." ucap Biru dan Gus Hanan bersamaan.
"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian semalam?" Gus Hanan benar-benar merasa tidak enak dengan Biru.
"Ya," jawabnya jujur.
Gus Hanan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal mendengar jawaban Biru. "Umi mengundang mu makan siang di ndalem." katanya pelan, takut jika Biru menolak.
Namun Biru mengangguk pelan, meskipun ada rasa kesal dalam hatinya, ia tetap menghormati umi Maryam yang mengundangnya. Ia juga harus berpamitan dengan umi Maryam yang sekarang menjadi ibu mertuanya.
"Ya, aku akan datang." kata Biru. "Kalau begitu, aku kembali ke asrama dulu." pamitnya, Gus Hanan mengangguk dan mempersilahkan Biru untuk melanjutkan perjalanannya.
"Tidak seharusnya kamu membuat hubungan ini menjadi rumit, Ning." gumamnya menatap punggung lebar Biru yang semakin menjauh. Ia sungguh menyayangkan tindakan adiknya, menjadi Ning satu-satunya dalam keluarga. Seharusnya Hilya bisa menjalani kehidupan berumah tangga dengan bahagia. Namun Hilya memilih menjadi duri dan menggali lubang pesakitan untuk dirinya sendiri.
*
*
*
*
*
TBC