Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Lorong Ribuan Napas
Bau di tempat ini bahkan lebih buruk dari kandang babi Desa Fuyun. Itu adalah campuran dari aroma minyak pedang murah, kulit yang tidak disamak dengan benar, dan yang paling menyengat adalah aroma bau keringat dingin yang diproduksi oleh rasa takut para peserta.
Ling Tian berdiri bersandar pada dinding batu yang lembap di lorong bawah tanah. Di sekelilingnya, kegelapan hanya diterangi oleh beberapa obor yang menyala redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari gelisah di dinding.
Ini adalah Area Penahanan Peserta. Sebuah terowongan panjang melengkung yang berada tepat di bawah arena utama.
"Hei, kau dengar suaranya?" bisik seorang murid di sebelah Ling Tian. Tangannya gemetar saat memegang gagang pedangnya. "Dengar suara gemuruh itu?"
Ling Tian tidak menjawab, tapi tentu dia juga mendengarnya.
DUM... DUM... DUM...
Itu bukan suara sebuah drum melainkan suara hentakan kaki. Ribuan atau mungkin puluhan ribu penonton di atas sana yang menghentakkan kaki mereka ke lantai tribun batu, menuntut pertunjukan segera dimulai. Getarannya merambat turun melalui pilar-pilar penyangga, membuat debu halus berjatuhan dari langit-langit terowongan, mendarat di bahu Ling Tian.
"Apa mereka ingin pertunjukan berdarah?," gumam Ling Tian pelan, membersihkan debu di bahunya.
"Tentu saja," suara Tuan Kun terdengar bosan di dalam kepalanya. "Bagi mereka di atas sana, kalian bukan seorang kultivator melainkan seperti hewan ayam aduan. Menang atau mati, yang penting menghibur bagi mereka."
Ling Tian membetulkan letak bungkusan kain di punggungnya. Pedang raksasa Embrio Void itu terasa dingin menempel di punggungnya, sebuah beban yang menenangkan di tengah lautan kecemasan ini.
Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ada sekitar lima ratus orang di lorong Sektor 4 ini.
Kebanyakan dari mereka tampak gelisah. Ada yang berkomat-kamit memanjatkan doa pada leluhurnya, ada yang mengecek ketajaman pedang mereka berulang-ulang sampai jarinya tergores, dan ada yang muntah di sudut lorong karena demam panggung.
Namun, dimata Ling Tian yang kini memiliki pupil vertikal samar menangkap beberapa anomali. Di sudut yang jauh dari keramaian, berdiri seorang pemuda. Dia tampak berbeda.
Di tengah lorong yang kotor dan bau ini, jubah abu-abu murid luar yang dipakainya terlihat... sangat bersih. Seolah-olah debu dan kotoran takut untuk menempel padanya. Rambutnya diikat rapi dengan pita biru tua. Dia tidak membawa pedang, hanya membawa sebatang ranting pohon willow yang diselipkan di pinggangnya.
Ling Tian tidak tahu siapa dia. Dia belum pernah melihat wajah itu di kantin ataupun di asrama. Tapi insting predator-nya bereaksi. Bulu kuduk di leher Ling Tian meremang.
"Oho," Tuan Kun bersiul pelan. "Lihat anak itu. Auranya... Sangat hening. Seperti permukaan danau yang tidak bergerak."
"Kuat, kah?" tanya Ling Tian dalam hati.
"Sangat kuat. Dia menyembunyikan ketajamannya di dalam sarung daging wajahnya yang terlihat lemah. Hati-hati, Ling Tian. Kalau kau bertarung dengannya, jangan anggap dia seperti yang lain. Anggap dia sebagai pedang yang berjalan."
Seolah merasakan tatapan Ling Tian, pemuda itu menoleh. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi. Matanya terpancar jernih, kontras dengan mata Ling Tian yang gelap dan liar.
Pemuda itu tidak membuang muka. Dia hanya mengangguk pelan. Sebuah gestur sopan santun yang terasa aneh di tempat barbar ini.
Ling Tian menyeringai tipis, membalas anggukan itu. Menarik. Setidaknya ada satu orang waras di lubang tikus ini.
"Minggir! Minggir!"
Suara bentakan kasar memutus kontak mata mereka.
Sekelompok murid bertubuh besar menyeruak masuk ke dalam barisan, mendorong murid-murid lain yang lebih kecil hingga terjatuh.
"Kelompok Aliansi Serigala Besi lewat!" teriak salah satu dari mereka.
Ling Tian mengenali seragam mereka atau lebih tepatnya, ban lengan merah yang mereka pakai. Itu adalah geng kecil yang dibentuk oleh murid-murid senior yang gagal lulus ujian tahun lalu. Mereka terkenal suka memeras murid baru.
Pemimpin mereka, seorang pria dengan bekas luka panjang di pipi, berhenti tepat di depan Ling Tian. Dia melirik bungkusan besar di punggung Ling Tian, lalu melirik wajah Ling Tian.
"Hei," kata pria itu kasar. "Kau si pelayan yang jadi bahan gosip itu, kan? Yang katanya membunuh Li Wei karena curang pakai racun?"
Ling Tian menatap pria itu. Dia menghela napas panjang.
"Apakah di sekte ini ada aturan bahwa setiap orang jelek wajib mengajakku bicara?" tanya Ling Tian tulus.
Beberapa murid di sekitar mereka menahan napas. Pria berbekas luka itu memerah wajahnya.
"Dasar cari mati! Kau pikir karena kau beruntung di panggung hidup-mati, kau bisa sombong di sini?" Pria itu mendekatkan wajahnya. "Di babak penyisihan nanti, tidak ada wasit yang akan melindungimu. Kami ada sepuluh orang. Dan kami akan mengincarmu."
Ling Tian menatap mata pria itu.
"Sepuluh orang?" Ling Tian menggeleng kecewa. "Saran saya, cari sepuluh lagi. Biar genap dua puluh. Angka genap lebih bagus untuk... pemakaman."
"KAU—"
BEOOOONG!
Suara terompet tanduk raksasa terdengar memekakkan telinga, menggetarkan dinding lorong.
Suara gemuruh di atas berhenti mendadak, digantikan oleh suara pengumuman yang bergema magis.
"PINTU GERBANG UTARA DIBUKA! PESERTA SEKTOR 4, MASUK!"
Suara rantai raksasa ditarik terdengar. Krak... krak... krak...
Di ujung lorong yang gelap, sebuah celah cahaya muncul. Semakin lama semakin lebar. Cahaya matahari yang menyilaukan menusuk masuk, membuat murid-murid yang terbiasa di kegelapan menyipitkan matanya.
Udara segar berhembus masuk, tapi udara itu tidak membawa hawa kenyamanan. Udara itu membawa aura berat dari ribuan kultivator yang tengah menonton.
"Sudah waktunya," bisik Ling Tian.
Kerumunan mulai bergerak maju seperti derasnya aliran sungai yang kotor. Saling dorong juga saling sikut. Ketegangan seketika memuncak. Banyak yang wajahnya pucat pasi seperti mayat berjalan.
Ling Tian melangkah santai. Dia tidak terburu-buru. Saat dia melangkah keluar dari batas bayangan lorong menuju cahaya yang menyilaukan itu, dia merasakan perubahan tekanan udara yang drastis.
Suara sorak sorai meledak.
"HAAAAA!"
Ling Tian membuka matanya yang sempat terpejam karena silau. Dia berdiri di pinggir sebuah kawah batu raksasa.
Di atasnya, langit biru membentang tanpa batas. Di sekelilingnya, di tribun yang menjulang tinggi seperti dinding tebing, lautan manusia berwarna-warni berteriak-teriak.
Dan di tengah arena... tanahnya berwarna merah gelap. Ada bekas darah dari turnamen tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah benar-benar hilang.
Ling Tian menarik napas dalam-dalam. Hawanya bukan lagi seperti sebelumnya dengan bau keringat dan hawa ketakutan melainkan sebuah hawa layaknya adegan perang yang akan meledak.
"Ayo, Tuan Kun," Ling Tian merenggangkan lehernya hingga berbunyi. "Mari kita lihat, siapa yang akan jadi mangsa, dan siapa yang akan jadi pemangsa."
Dia melangkah masuk ke tengah arena, satu titik kecil di tengah panggung raksasa, yang siap untuk ditelan atau menelan segalanya.