 
                            Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan madu
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Vano dan Bella sampai di benua Eropa. Tepatnya di kota Paris, Prancis. Mereka berencana liburan selama seminggu. Sebenarnya Bella menginginkan lebih lama yaitu 2 minggu, namun Vano menolak, dan akhirnya mereka sepakat untuk melakukan bulan madu selama seminggu saja.
Mereka tiba di hotel yang sebelumnya telah di booking oleh Bella dan mama Erika. Dua wanita beda generasi itu bahkan sudah mempersiapkan semuanya, hingga Vano tak perlu repot lagi mengurus sesuatu di sana.
Bella merebahkan tubuhnya di atas ranjang hotel yang empuk. Tubuhnya terasa lelah setelah perjalanan yang cukup lama itu.
"Sayang... Sini istirahat," Bella menepuk kasur di sebelahnya, meminta Vano agar merebahkan tubuhnya di sana. Tapi Vano lebih memilih duduk di sofa, pria itu nampak sibuk dengan ponselnya.
Kesal karena dirinya di abaikan, Bella pun bangun dan menghampiri Vano. "Kamu sedang apa sih?" Bella melihat layar ponsel Vano.
"Hanya mengabari mama," Vano langsung mematikan ponsel dan memasukkan nya ke dalam saku, seolah ada yang di sembunyikan.
"Selama satu minggu ini, aku gak mau kakak mengurus pekerjaan," ucap Bella penuh penegasan.
"Aku sudah mengosongkan jadwal untuk satu minggu. tapi Kalau ada sesuatu yang mendesak mau tidak mau aku harus turun mengurusnya." seperti biasa Vano tak bisa berjanji.
"Baguslah kalau begitu. Aku mau mandi dulu, badanku terasa lengket."
"Hmmm,"
"Apa kak Vano mau ikut?" Goda Bella dengan mengedipkan mata genit.
"Tidak, silahkan kamu saja," tolak Vano segera.
Malam hari Bella mengajak Vano berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel yang terkenal dengan ikon kota Paris. Menara Eiffel juga sering di kaitkan dengan romantisme, karena keindahan dan keanggunannya.
Seperti tujuan awalnya, Bella ingin menebus kisah masa lalu yang menyedihkan di kota ini. Kali ini dia kembali dengan Vano, orang yang selama ini ia cintai dalam diamnya.
"Sayang... Dulu tempat ini selalu jadi pelarian saat aku merindukanmu. aku selalu membayangkan jika suatu saat aku bisa kesini bersamamu, dan kini akhirnya semua terwujud," Bella merasa sangat bahagia, ia tak ingin sedetikpun melepaskan genggaman tangannya dari Vano.
"Kenapa kamu menyiksa dirimu sendiri?" Tanya Vano dengan nada dingin.
"Kita tak pernah bisa menebak pada siapa akan jatuh cinta, Meskipun aku tahu kamu milik orang lain. Ah tidak, aku jatuh cinta padamu bahkan jauh sebelum kamu mengenal Vanya." Jawa Bella jujur.
"Tapi kita tak bisa memaksa orang itu untuk membalas cinta kita." Ucapan Vano terdengar sederhana namun memiliki makna yang dalam.
"Aku tidak pernah memaksa, aku hanya menunggu waktu itu tiba." Bella terus mengelak.
"Justru itu akan membuatmu terluka lebih dalam lagi Bella."
"Aku tahu, tapi aku tidak pernah menyesali pilihanku." Bukan menyesal, Bella malah merasa bangga dengan apa yang di pilihnya.
"Bella bisa jadi itu bukan cinta, tapi obsesi semata," Vano bicara secara terus terang.
Bella sangat yakin ini cinta bukan obsesi. Jujur saja ia juga pernah menjalin hubungan dengan beberapa pria sebagai pelariannya, tetapi tidak ada yang bisa membuat dirinya melupakan Vano. terkadang ia mencari laki-laki yang berwajah sedikit mirip dengan Vano tapi tetap saja itu tidak cukup, karena yang dia mau hanyalah Vano.
"Sayang ayo kita berfoto," Bella mengambil ponsel dari tasnya dan membuka fitur kamera. "Senyum dong sayang,"
Meski terpaksa Vano pun mengikuti kemauan Bella,
"Ganti pose," tanpa di duga Bella mencium pipi Vano sambil memotret nya.
Bella tersenyum puas melihat hasil fotonya. "Aku akan kirim ini ke mama,"
-
-
Vanya menjadi sering melamun akhir-akhir ini. Apalagi setelah kemarin dirinya berbincang dengan Andre mengenai Vano. sejujurnya ia juga sangat prihatin dengan keadaan Vano. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, Ia tak ingin menjadi duri dalam daging untuk hubungan Vano dan Bella. Tapi di satu sisi Vanya juga takut kehilangan Vano untuk selamanya, ia tak bisa membayangkan Elana menderita karena kehilangan sosok ayah. Sama seperti dirinya beberapa tahu lalu.
"Mami..." panggilan Elana membuyarkan lamunan Vanya.
"Iya sayang.." Vanya segera menghampiri Elana.
"Lihat gambar Elana..." Elana menunjukkan sebuah kertas yang telah berisi gambar hasil karyanya.
"Wahh cantik," puji Vanya terharu dengan hasil gambar Elana yang sangat cantik. Elana memang senang menggambar.
"Lihat... Ini Papi, Elana sama mami," Elana menunjuk satu persatu gambar yang di buatnya.
Vanya tertegun, air matanya hampir lolos melihat gambar yang di buat Elana. "Lalu ini siapa?" Vanya menunjukkan satu gambar yang belum di sebutkan Elana.
"Ini adek bayi," ucap Elana tersenyum.
"Hah?! Vanya cukup kaget dengan perkataan Elana.
"Papi selalu bilang mau kasih Elana adik bayi,"
Hatinya semakin teriris saat mendengar keinginan Vano dan Elana yang tak mungkin ia berikan.
"Sayang... Simpan dulu ya gambarannya. Sekarang Elana makan dulu, mami sudah masak makanan kesukaan Elana." Vanya mencoba mengalihkan perhatian Elana.
"Iya mami, tapi Elana mau merapihkan pensil warna dulu,"
"Anak pintar," Vanya memuji Elana seraya mengelus rambutnya.
"Nanti Elana mau telpon papi ya?" ucap Elana sambil merapihkan alat tulisnya.
"Jangan dulu ya sayang, tunggu papi yang telpon Elana duluan." Vanya teringat Vano yang sedang berbulan madu, dan juga perbedaan waktu yang cukup jauh antar dua negara tersebut.
"Iya mami," jawab Elana dengan nada sedih.
"Apa setelah makan Elana mau jalan-jalan?" Vanya mencoba menghibur Elana agar tidak selalu ingat pada Vano.
"Mau mami," jawab Elana bersemangat.
"Ya sudah, kita makan dulu sebelum jalan-jalan." Vanya menggendong Elana ke ruang makan.
Dengan lahap Elana memakan makanan yang di siapkan oleh ibunya.
Setelah selesai makan Vanya menepati janjinya pada Elana untuk berjalan-jalan. Vanya mengikuti kemanapun yang Elana inginkan
"Mami... ayo ke taman hiburan malam." Ajak Elana saat mereka masuk ke dalam mobil.
"Baiklah.. tapi jangan menangis saat di tengah permainan," Ledek Vanya pada putri kecilnya.
"Elana sudah berani sekarang mami," jawab Elana dengan wajah cemberutnya.
"Ayo kita buktikan," Vanya pun melajukan mobilnya menuju taman hiburan malam yang tak jauh dari area apartemen.
Elana begitu takjub dengan meriahnya suasana taman hiburan malam, mereka memang sudah lama tidak pergi ke tempat seperti ini. Apalagi setelah orangtuanya bercerai, Elana hampir tidak pernah jalan-jalan bersama kedua orangtuanya.
"Mami ayo kita naik bianglala," Elana menarik Vanya ke area permainan bianglala.
"Elana yakin?"
"Elana kan sudah bilang, kalau Elana sudah berani,"
"Baiklah... Ayo!" Vanya menggandeng tangan Elana dan membeli tiket untuk naik bianglala.
Benar saja Elana begitu menikmati saat bianglala yang mereka duduki mulai naik ke atas. Padahal dulu Elana begitu takut dan sampai harus memeluk Vano erat-erat sambil memanjatkan doa-doa. Lucu sekali memang tingkah anak ini.
Setelah selesai dengan permainan yang satu, mereka pun naik permainan yang lain. Elana begitu terlihat bersemangat mencoba semua permainan yang ada di sana.
"Mami, Elana mau permen kapas," Elana menunjuk seorang pedagang permen kapas yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
"Tentu tuan putri, tapi ingat pesan mami! Elana hanya boleh makan sedikit saja," Vanya mengisyaratkan dengan jarinya .
"Siap mami!" tangannya seolah memberi hormat pada Vanya.
Mereka pun duduk di sebuah bangku menikmati permen kapas berdua.
"Apa Elana sudah capek?" Vanya melihat Elana sudah kelelahan dan mengantuk.
Elana mengangguk.
"Ya sudah kita pulang ya sayang."
"Terimakasih ya mami. Lain kali kita ajak papi juga ya... Elana mau tunjukkan sama papi kalau Elana sudah berani," jawab Elana bersemangat, walaupun sebenarnya lelah dan mengantuk.
"Iya sayang," ucap Vanya tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya.
***
jangan lupa like dan komen yaa...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka