Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAMAR MULAI MERASA TERSAINGI
DAMAR MULAI MERASA TERSAINGI
Damar Wicaksana duduk di kafeteria kampus yang mewah, dikelilingi oleh geng-nya—anak-anak orang kaya yang hidupnya hanya untuk pamer dan merendahkan orang lain. Tapi hari ini, Damar tidak bisa menikmati kopinya yang mahal. Matanya terus menatap ke sudut lain kafeteria—di mana Fajar dan Amara sedang duduk bersama, tertawa sambil membahas sesuatu di laptop.
"Bro, lo kenapa?" tanya Rian, salah satu teman Damar, sambil menepuk bahunya. "Dari tadi kok melongo?"
"Itu," Damar menunjuk dengan dagunya ke arah Fajar dan Amara, suaranya penuh kebencian yang hampir tidak bisa ia sembunyikan. "Si bocah miskin itu lagi deket-deket sama Amara."
"Oh, si Fajar kampungan itu?" Rian mengikuti arah pandangan Damar, lalu tertawa meremehkan. "Biarin aja. Amara pasti cuma kasihan doang. Masa iya sih dia mau sama cowok miskin kayak gitu?"
Tapi Damar tidak tertawa. Ia tahu—mata Amara saat menatap Fajar berbeda. Bukan tatapan kasihan. Tapi tatapan yang... mengagumi. Dan itu membuat dadanya terasa seperti diremas-remas.
Ia yang sudah berkali-kali mendekati Amara—mengajak makan di restoran mewah, memberi hadiah branded, bahkan pernah kirim bunga mahal—selalu ditolak dengan halus oleh Amara. Tapi sekarang, gadis itu dengan mudahnya tersenyum pada anak miskin kampungan seperti Fajar?
Tidak bisa. Ini tidak bisa dibiarkan.
"Eh, katanya si Fajar itu buka laundry-laundryan ya?" tanya Budi, teman Damar yang lain, sambil scroll Instagram. "Gue liat Amara post tentang laundry dia. Namanya... Bumi Bersih apa gitu."
Damar langsung merebut handphone Budi, membaca postingan Amara dengan rahang mengeras. Ia membaca setiap kata dengan kebencian yang semakin membara.
Laundry? Fajar buka laundry? Dan Amara support dia?
"Cuma laundry kecil-kecilan," Damar meremehkan sambil melempar handphone Budi kembali dengan kasar. "Aku bisa bikin yang lebih bagus dengan modal besar. Gampang."
"Terus kenapa nggak lo bikin?" tantang Rian sambil tertawa.
"Ngapain gue repot-repot urusin laundry murahan?" Damar menjawab dengan nada sombong, meski di dalam hatinya ia tahu—ia cemburu. Sangat cemburu. "Tapi... tapi aku nggak bisa biarkan bocah kampungan itu deket-deket Amara. Harus ada cara."
Otaknya mulai bekerja—merencanakan sesuatu yang jahat. Sesuatu yang akan menghancurkan Fajar dan bisnis kecilnya. Sesuatu yang akan membuktikan pada Amara bahwa Fajar tidak pantas berada di dunia mereka.
"Gue punya ide," kata Damar dengan senyum licik yang sangat mengerikan. "Ide yang akan bikin si bocah kampungan itu jatuh. Dan kali ini, dia nggak akan bisa bangun lagi."
Sore harinya, Damar menyuruh salah satu anak buahnya—Dito, mahasiswa semester akhir yang sering dipakai Damar untuk pekerjaan-pekerjaan kotor dengan bayaran—untuk menyelidiki bisnis Fajar.
Dito melaporkan semua yang ia amati: lokasi ruko di gang sempit, kondisi sederhana, dua mesin cuci bekas, operasional yang dijalankan oleh Fajar, Pak Ganes, dan kadang Reza. Pelanggan mulai ramai—rata-rata lima sampai tujuh orang per hari. Testimoni positif di media sosial.
"Bisnis dia mulai jalan, Bos," lapor Dito sambil menunjukkan foto-foto yang ia ambil diam-diam. "Kayaknya dalam sebulan dua bulan, dia bisa stabil."
Damar menatap foto-foto itu dengan mata menyipit penuh kebencian. Ia melihat foto Fajar yang sedang tersenyum melayani pelanggan. Melihat foto Pak Ganes yang sedang menjemur pakaian. Melihat foto banner BUMI BERSIH yang dipasang dengan bangga.
"Stabil?" Damar tertawa sinis—tawa yang sangat dingin dan mengerikan. "Nggak akan. Aku akan pastikan bisnis kampungan ini hancur sebelum bisa stabil."
"Mau diapain, Bos?" tanya Dito dengan nada penasaran.
Damar tersenyum licik—senyum yang membuat Dito sedikit bergidik.
"Aku punya rencana. Rencana yang akan menghancurkan reputasi bisnis dia. Kalau reputasi hancur, pelanggan akan kabur. Kalau pelanggan kabur, bisnis akan mati. Simple."
"Rencana apa, Bos?"
Damar membungkuk, berbisik rencana jahatnya ke telinga Dito. Semakin Dito mendengar, semakin matanya membulat—campuran antara kagum dengan cara berpikir Damar dan sedikit takut dengan betapa kejamnya rencana itu.
"Bos... itu... itu terlalu kejam," kata Dito dengan suara ragu setelah mendengar semuanya.
"Kejam?" Damar menatap Dito dengan tatapan dingin. "Ini namanya bisnis, Dito. Di dunia bisnis, yang lemah akan dimakan yang kuat. Si Fajar itu lemah. Dia pikir dengan modal nekad dan kerja keras dia bisa sukses? Naif. Dia harus belajar bahwa dunia ini nggak sesederhana itu."
Ia menyerahkan amplop berisi uang—dua juta rupiah—pada Dito.
"Jalankan rencana itu. Sebarkan isu seburuk-buruknya. Buat orang-orang takut sama laundry dia. Buat mereka percaya bahwa BUMI BERSIH itu berbahaya. Kamu paham?"
Dito menatap amplop itu lama sekali. Ada konflik di hatinya—ini adalah pekerjaan yang sangat jahat, yang bisa menghancurkan usaha orang yang berjuang keras. Tapi dua juta rupiah itu... itu uang yang sangat besar untuk mahasiswa sepertinya.
Akhirnya, dengan hati berat, Dito mengambil amplop itu.
"Siap, Bos."
Damar tersenyum puas—senyum iblis yang sangat menyeramkan.
Tunggu saja, Fajar. Kamu pikir kamu bisa naik? Kamu pikir kamu bisa deket sama Amara? Aku akan pastikan kamu jatuh. Jatuh sangat dalam. Dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menolongmu.
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.