"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perhatian
"Nona... Den Milo. "
tok.. tok.. tok..
Ketukan lembut terdengar di pintu kamar tamu. Tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan namun cukup untuk membangunkan tanpa mengejutkansang empu pemilik kamar.
“Non, Den Milo… maaf, saya masuk,” suara wanita paruh baya itu terdengar sopan dan penuh kehati-hatian.
Bi Rina, pembantu senior yang sudah bekerja di keluarga Alvaro selama belasan tahun, ia mendorong pintu secara perlahan. Di tangannya, nampan berisi bubur hangat, teh herbal, dan semangkuk sup ayam rumahan yang ia masak sendiri makanan khas untuk orang yang sedang sakit.
Saat pintu terbuka, ia menemukan dua anak muda itu tertidur di sofa kecil samping ranjang. Milo terduduk dengan kepala terjatuh ke samping, sementara Ana berbaring menciut seperti anak kecil, wajahnya masih pucat namun napasnya mulai teratur.
Bi Rina tersenyum simpati.
“Aduh, kasihan sekali gadis muda ini… pasti sakit sekali,” gumamnya lirih.
Ia menaruh nampan dengan pelan di sebuah meja kecil, lalu mendekat sambil menepuk bahu Milo dengan sopan.
“Tuan Milo, Non Ana… ini sudah Malam. Makan malam sudah datang.”
Milo mengerjap perlahan. Rambutnya berantakan, matanya memerah karena rasa lelah. “Bi… sudah malam? Ana tertidur berapa jam tadi?” tanyanya dengan suara serak.
Bi Rina menggeleng halus. “Yang penting Non Ana sudah lebih tenang Tuan. Sekarang bangun dulu ya, tuan. waktu makan malam sudah tiba.”
Ana bergerak pelan. Kelopak matanya gemetar sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya kosong beberapa detik, seperti lupa di mana ia berada. Begitu sadar bahwa ruang ini asing, tubuhnya kembali menegang.
“Ini… di mana?” bisiknya panik.
Milo buru-buru duduk menatap Ana dengan penuh perhatian. “Hei, hey… tenang. Kamu aman, Ana. Kita di mansion Daniel. Kamu pingsan tadi pagi. apa kamu ingat? ”
Ana langsung terduduk, memegang dadanya seperti menahan sesuatu yang menyesakkan. Ia memandang sekitar dengan gelisah.
“T-Tidak apa-apa… aku bisa pulang. Aku harus pulang,” ucapnya terburu-buru, ingin bangun namun tubuhnya terlalu lemah sehingga ia goyah.
Bi Rina dengan cepat menopangnya. “Non, makan dulu ya. Perut kosong bisa semakim membahayakan kondisi Non.”
Ana terdiam, menatap wanita itu. Ada kehangatan khas ibu-ibu yang membuat jantungnya sedikit lebih stabil.
“Aku… merepotkan?” tanyanya lirih.
Bi Rina tersenyum lembut. “Tidak, sayang. Mereka semua peduli padamu.”
Milo mengangguk kuat seolah menguatkan perkataan itu. “Kamu istirahat dulu. Daniel juga khawatir.”
Mendengar nama itu, Ana tercekat. entah kenapa terdengar suara-suara aneh di kepalanya. suara yang seolah memaksa masuk ke dalam otaknya.
Perlahan, ia menerima semangkuk bubur yang disodorkan Bi Rina.
“Ayo Non, makan sedikit saja. Biar cepat sehat.”
Ana menunduk… dan untuk pertama kalinya ia merasakan kembali kehangatan seorang ibu.
"terimakasih bi. maaf aku sudah merepotkan. "
"tidak non. Bibi tulus melayani non." Bu rina tersenyum pada Ana. ia prihatin pada kondisi gadis muda ini. sungguh malang sekali nasibnya.
Ana menerima suapan demi suapan bubur yang di berikan bi Rina. sesekali ia tersenyum karena merasa malu.
Pintu kamar perlahan terbuka. Suara langkah sepatu kulit yang berat namun berusaha dipelankan terdengar memasuki ruangan. Milo langsung menoleh dan Ana ikut tersentak kecil melihat pria itu berdiri di ambang pintu.
Daniel Alvaro.
Wajahnya terlihat lelah. Ada garis tegang di antara rahangnya, seolah semalam ia tidak tidur sama sekali. Rambutnya sedikit acak acakan, kemeja hitamnya masih sama seperti tadi pagi, namun dua kancingnya terbuka memberi kesan lebih santai… atau mungkin terlalu sibuk hingga tidak sempat untuk berganti pakaian.
Tatapan matanya masih sama tajam. matanya langsung tertuju pada Ana.
Namun tatapan itu bukan marah.
Bukan tatapan dingin yang seperti biasa ia lontarkan Melainkan…sebuah tatapan cemas.
“Bagaimana kondisi kamu?” suaranya rendah, terlihat lebih hati-hati, berbeda jauh dari nada kerasnya tadi pagi.
Ana terdiam, memeluk lengan bajunya dengan erat. Ia tidak berani menatap lama-lama, entah kenapa pria di hadapannya seperti memiliki aura yang dominan membuat ia menciut sebelum berbicara.
“S-saya sudah lebih baik, Tuan… maaf sudah merepotkan—”
“Tidak ada yang merepotkan,” potong Daniel cepat.
Nada suaranya lebih lembut daripada yang bahkan Milo pernah dengar. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di samping ranjang, mengamati wajah pucat Ana seolah mencari tanda-tanda bahaya.
“Dokter bilang kondisi kamu parah,” bisiknya sambil menatap termometer yang diletakkan di meja. “Kamu demam tinggi, tubuh lemah… kamu bisa collapse kalau semalam tidak ketemu Milo.”
Ana menelan ludah. Ia menunduk makin dalam.
“Aku… aku tidak bermaksud—”
“Kamu tidak salah apa pun,” ujar Daniel tegas, namun tidak keras. “Kamu hanya anak yang sedang kesulitan. Dan aku… terlalu cepat menilaimu bahkan dengan tega aku membentakmu dengan keras..”
Kalimat itu.
Sederhana, tapi sangat langka keluar dari pria sekeras Daniel.
Milo tersenyum kecil melihat ayahnya berubah begitu lembut.
Namun ada satu orang lain yang ikut menyaksikan diam-diam di balik celah pintu yang terbuka sedikit.
Lara berdiri menempel pada dinding, hanya separuh wajahnya terlihat. Mata coklatnya membelalak, menyaksikan bagaimana Daniel pria yang ia kagumi bertahun-tahun menatap seorang gadis asing dengan kelembutan yang tidak pernah ia dapatkan.
Tidak pernah.
Daniel tidak pernah menatapnya seperti itu.
Tidak pernah menaruh suara selembut itu saat bicara padanya.
Tidak pernah terlihat serapuh itu saat seseorang terluka.
Tubuh Lara menegang. Rasa panas menjalar dari dada sampai kepalanya, campuran antara cemburu, marah, dan takut kehilangan sesuatu yang bahkan bukan miliknya tapi ia harapkan selama ini.
“Ana… siapa sebenarnya kamu?” bisiknya pahit, hampir tanpa suara.
Daniel duduk di kursi samping ranjang, jarang sekali ia duduk sedekat itu dengan seseorang selain Milo.
“Aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Kamu akan tinggal di sini sampai benar-benar pulih.”
Ana menggeleng cepat, panik. “Tidak perlu, saya bisa pulang. Saya tidak ingin membebani—”
“Diam.”
Kali ini nadanya tegas, tapi bukan marah lebih seperti seseorang yang sudah membuat keputusan.
“Kamu tidak pergi ke mana pun dalam kondisi seperti ini.”
Ana terdiam. Tidak tahu harus berkata apa-apa.
Daniel menghela napas panjang, menatapnya dengan mata setenang malam.
“Kamu aman di sini.”
Kalimat itu… membuat jantung Ana berdegup pelan, bingung, takut, tapi juga perasaan hangat menyelusup.
Milo mendekat dan memegang tangan Ana. “Iya. Kamu tinggal sama kita dulu, ya ana?”
Ana hanya bisa menunduk, matanya berkaca-kaca tanpa ia sadari.
Dan di balik pintu… Lara mengepalkan tangan.
Ia merasa… digantikan.
"Ana bocah sialan"