Jing an, seorang penulis yang gagal, secara ajaib terlahir kembali sebagai Luo Chen, Tuan Muda lugu di dalam novel xianxia klise yang ia benci. Berbekal 'Main Villain System' yang bejat dan pengetahuan akan alur cerita, misinya sederhana... hancurkan protagonis asli. Ia akan merebut semua haremnya yang semok, mencuri setiap takdir keberuntungannya, dan mengubah kisah heroik sang pahlawan menjadi sebuah lelucon tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 pemenang mengambil segalanya
Jalan pulang ke kediaman Klan Luo terasa jauh lebih cepat daripada saat kami berangkat.
Alasannya sederhana... jalanan sepi melompong.
Lautan lima puluh ribu orang yang tadinya riuh kini terbelah seperti air bah. Mereka tidak berani mendekat. Mereka tidak berani berteriak. Cemoohan "PEMBUNUH!" dan "SAMPAH CABUL!" yang tadi pagi mereka teriakkan dengan penuh semangat, kini seperti tersangkut di tenggorokan mereka.
Hening. Hanya ada keheningan yang begitu pekat, dipenuhi ketakutan murni.
Mereka minggir, menundukkan kepala, tidak berani menatap mataku saat aku berjalan melewati mereka. Di pelukanku, hadiah utamaku... Xiao Linyu... terkulai lemas, wajahnya yang cantik pucat dan basah oleh air mata yang mengering, pingsan karena penghinaan total.
'Lihatlah ini, para pembaca,' pikirku dalam hati, menikmati pemandangan itu. 'Ini adalah kekuatan sejati. Bukan tepuk tangan. Bukan pujian. Tapi keheningan yang mematikan. Ketakutan adalah bentuk rasa hormat yang paling jujur.'
Di belakangku, langkah kaki ayahku dan para tetua Klan Luo terdengar berat dan ragu-ragu. Mereka jelas tidak tahu harus berbuat apa. Mereka baru saja menyaksikan pewaris mereka memperbudak pewaris klan saingan di depan umum. Mereka menang... tapi kemenangan ini terasa lebih menakutkan daripada kekalahan.
Aku tidak peduli dengan kebingungan mereka. Aku hanya terus berjalan, menggendong pialaku.
Dia sangat ringan, tapi beban kehormatan Klan Xiao yang dia pikul di pundaknya pasti sangat berat. Sekarang, beban itu adalah milikku untuk dimainkan.
Kereta kuda roh kami menunggu. Para penjaga Klan Luo, yang tadi pagi pucat karena malu, kini pucat karena takut. Mereka buru-buru membukakan pintu untukku, mata mereka tertuju ke tanah.
Aku masuk ke kereta mewah itu tanpa sepatah kata pun, masih menggendongnya. Setelah duduk, kulepaskan dia di kursi seberang, membiarkan tubuhnya yang lemas merosot di atas sutra.
Ayahku masuk berikutnya, duduk di sampingku. Dia tidak berani menatapku. Dia hanya menatap wanita yang pingsan di seberang kami.
"Chen'er..." bisiknya, suaranya serak. "Apa... apa yang akan kita lakukan sekarang? Xiao Zhan... dia akan menyatakan perang dengan kita."
"Justru dia tidak akan berani," kataku datar, mataku terpejam, menikmati goyangan kereta. "Dia baru saja melihat apa yang terjadi pada putrinya yang jenius, yang menggunakan pil peningkat kekuatan. Dia tahu apa yang akan terjadi padanya jika dia nekat mencobanya."
Aku membuka mataku, menatap ayahku yang tampak hancur.
"Perang sudah berakhir, Ayah. Dan kita yang menang. Klan Xiao sudah tamat."
"Tapi... memperbudak seorang pewaris..."
"Dia menandatanganinya," potongku. "Di depan lima puluh ribu orang. Kontrak itu mengikat jiwanya. Bahkan jika Klan Xiao menyerang kita, dia tetaplah budakku. Jika mereka membunuhku, kontrak itu akan otomatis membunuhnya juga. Mereka tidak akan mengambil risiko sebesar itu."
Logika dinginku akhirnya mulai menembus kepanikannya. Dia mulai menyadari kebenarannya. Aku tidak hanya memenangkan pertarungan... aku telah menyandera seluruh Klan Xiao.
Kereta akhirnya berhenti di gerbang utama kediaman Klan Luo. Para pelayan dan penjaga yang menunggu di dalam sudah mendengar kabar itu. Saat aku melangkah keluar dari kereta... lagi-lagi sambil menggendong Xiao Linyu... mereka semua jatuh bersujud. Bukan dengan hormat. Tapi dengan ketakutan murni.
Aku berjalan melewati mereka, melewati koridor yang sunyi, mengabaikan tatapan ngeri dari ayahku dan para tetua yang mengikutiku dari belakang.
Aku tidak membawanya ke penjara bawah tanah. Aku tidak membawanya ke kamar tamu.
Aku berjalan lurus ke halaman pribadiku, menendang pintu kamarku hingga terbuka, dan berjalan masuk.
Aku melemparkannya ke atas ranjangku yang besar dan empuk. Tubuhnya yang lemas memantul sedikit sebelum terdiam.
Aku berdiri sejenak, menatap pemandangan itu. Sang Phoenix yang agung, kebanggaan Floating Cloud City, kini terbaring tak berdaya di ranjangku, menungguku.
Aku berbalik dan menutup pintu, menguncinya dari dalam.
Meninggalkan ayahku dan seluruh klan di luar, terbengong di dalam dunia baru yang baru saja kuciptakan.
Aku mengunci pintu kamarku. Suara klik dari gerendel kayu yang berat itu terdengar sangat memuaskan, seolah-olah itu adalah suara penutup dari babak pertama hidup baruku.
Di luar, aku bisa mendengar suara ayahku yang panik.
"Chen'er! Buka pintunya! Apa yang akan kau lakukan?! Jangan bertindak gegabah!"
Aku mengabaikannya. Suaranya dan suara para tetua yang kebingungan dengan cepat memudar saat aku berjalan lebih jauh ke dalam kamarku.
Di atas ranjangku yang besar, Xiao Linyu terbaring pingsan. Wajahnya, meskipun pucat dan ternoda air mata kering, masih sangat cantik. Jubah zirah kulitnya yang berwarna biru es itu kini tampak kotor dan acak-acakan. Aura dingin yang biasanya dia pancarkan telah lenyap, digantikan oleh kerapuhan total.
Aku berdiri di samping ranjang, menatapnya sejenak. Sang Phoenix yang sombong, jenius yang dipuja-puluhan ribu orang, kini menjadi milikku, seutuhnya.
'Dia pingsan. Itu... membosankan,' pikirku. 'Pesta ini tidak bisa dimulai tanpamu, bintang utamanya.'
Aku bisa saja menamparnya lagi untuk membangunkannya, tapi ada cara yang jauh lebih efisien. Cara yang akan langsung mengingatkannya pada status barunya.
Aku memfokuskan pikiranku pada koneksi baru di dalam jiwaku. Benang emas pucat yang mengikatku padanya. Aku mengirimkan perintah pertamaku melalui segel kontrak itu.
Satu kata. 'Bangun.'
Di atas ranjang, tubuh Xiao Linyu tersentak hebat seolah-olah baru saja disambar petir.
GASP!
Dia tersentak hebat, matanya terbuka lebar, langsung dipenuhi oleh teror dan kebingungan. Dia terengah-engah, menatap langit-langit kamarku yang asing. Lalu, ingatannya kembali. Arena, tamparan, kontrak, penghinaan... semuanya menghantamnya sekaligus.
"TIDAK...!"
Dia menjerit dan berguling dari ranjang, berusaha melarikan diri. Tapi tubuhnya masih lemah. Dia jatuh terjerembap ke lantai kayu yang dingin.
"Di... di mana aku...?" dia tergagap, beringsut mundur di lantai, matanya menatapku dengan ngeri saat aku berdiri menjulang di atasnya. "KAU! JANGAN... JANGAN SENTUH AKU!"
Dia mencoba mengumpulkan Frost Qi-nya. Aku bisa melihat sisa-sisa energi biru es berputar lemah di sekitar tangannya, bersiap untuk menyerang.
Imut sekali.
Aku mengaktifkan segelnya lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak 'tekanan'. 'Berlutut.'
"ARRRGGGHHH!"
Dia menjerit kesakitan. Bukan rasa sakit fisik, tapi rasa sakit spiritual yang membakar. Energi spiritual yang coba dia kumpulkan langsung buyar, dan rasa sakit yang tak tertahankan dari jiwanya memaksa tubuhnya untuk patuh.
THUD.
Melawan keinginannya, melawan setiap serat harga dirinya, tubuhnya yang gemetar jatuh ke posisi berlutut di depanku. Dia mencoba melawan, tapi dia tidak bisa. Kontrak itu mengendalikan setiap sarafnya.
Dia menatapku dari lantai, air mata baru menggenangi pipinya, campuran antara rasa sakit, kebencian, dan keputusasaan yang mutlak.
"Apa... apa yang kau lakukan padaku...?" isaknya.
Aku berjongkok di depannya, menyejajarkan mata kami. Aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya yang basah. Dia tersentak ngeri, tapi kontrak itu menahannya di tempat, tidak membiarkannya bergerak mundur.
"Pelajaran pertamamu sebagai budak," bisikku pelan. "Status barumu."
Kuusap air matanya dengan ibu jariku.
"Kau tidak bisa melawanku. Qi-mu adalah milikku. Tubuhmu adalah milikku. Jiwamu... adalah milikku. Kau mengerti?"
Dia hanya gemetar, menolak untuk menjawab.
"Kutanya," kataku, suaraku sedikit mengeras, dan aku mengirimkan gelombang rasa sakit kecil melalui segel itu.
Dia tersentak. "Aku... a-aku..."
"Kau mengerti?" ulangku.
Dia memejamkan matanya, air mata pahit lolos. "...Ya," bisiknya, suaranya hancur.
"Bagus." Aku berdiri, melepaskan cengkeramanku pada jiwanya.
[Ding! Misi Penaklukan Tahap 1: "Patahkan Keangkuhannya" telah dimulai!]
[Deskripsi: Dia telah mengakui statusnya. Sekarang, buat dia bertindak sesuai status itu. Hancurkan sisa-sisa kesombongan 'Phoenix'-nya.]
[Hadiah: +50.000 VP, Skill Pasif [Master's Gaze].]
Aku menatapnya yang masih berlutut di lantai, sosok yang hancur. Dia cantik sekali dalam kehancurannya.
"Lepaskan pakaianmu," kataku dengan nada datar.
Itu bukan permintaan. Itu adalah perintah.
Wajah Xiao Linyu, yang sudah pucat karena putus asa, kini seketika kehilangan sisa-sisa darah terakhirnya. Dia menatapku, matanya yang indah terbelalak ngeri. Ini adalah mimpi terburuknya. Ini adalah penghinaan yang jauh melampaui kekalahan fisik di arena.
"T-tidak..." bisiknya, suaranya serak dan pecah. "Ka... kau... bajingan... bunuh saja aku..."
"Membunuhmu?" Aku tertawa kecil, tawa yang tidak menunjukkan humor sedikit pun. Aku berjalan ke kursi terdekat dan duduk dengan santai, menyilangkan kakiku. "Oh, tidak, Nona Phoenix. Itu terlalu mudah. Kau pikir aku membuat taruhan rumit itu hanya untuk membunuhmu? Tidak, tidak."
Aku menatapnya, mataku yang dingin menelanjangi sisa-sisa harga dirinya.
"Aku ingin kau hidup. Aku ingin kau sepenuhnya sadar untuk setiap detik dari apa yang terjadi selanjutnya. Sekarang... jangan membuatku mengulanginya."
Dia gemetar hebat, air mata kebencian mengalir deras. "PERSETAN DENGANMU! AKU TIDAK AKAN...!"
Dia mencoba melawan. Aku bisa merasakan perlawanan mentalnya melalui koneksi kontrak. Percikan kecil dari keangkuhannya yang lama.
'Imut sekali. Dia masih berpikir dia punya pilihan.'
Aku tidak membuang waktu untuk berdebat. Aku menutup mataku sejenak dan mengaktifkan segelnya. Bukan gelombang rasa sakit yang tajam seperti tadi, tapi sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang meremas jiwanya secara perlahan, seperti tangan raksasa yang meremukkan sebutir buah.
"AAAAARRRGGHHHHHH!"
Dia menjerit dan ambruk ke lantai, memegangi kepalanya. Itu adalah siksaan murni yang tidak bisa dilawan oleh tubuh fisik mana pun. Itu adalah hukuman karena tidak patuh.
"Hentikan... hentikan... ku-kumohon... sakit..." isaknya, tubuhnya kejang di lantai.
"Kalau begitu, patuhlah," kataku datar, suarakakku tidak terpengaruh oleh jeritannya.
Aku melepaskan tekanan itu sedikit, memberinya cukup ruang untuk bernapas, tapi rasa sakit itu tetap ada, berdenyut dengan pelan, menunggunya.
Dia terisak-isak di lantai selama beberapa detik, napasnya tersengal-sengal. Dia tahu. Dia tidak punya pilihan. Kontrak itu telah merantainya lebih kuat daripada baja mana pun.
Perlahan, dengan gerakan yang kaku dan penuh kebencian, dia bangkit kembali ke posisi berlutut. Tangannya yang gemetar terangkat ke gesper pertama di baju zirah kulitnya.
Dia menatapku dengan kebencian yang begitu murni, begitu pekat, hingga itu nyaris terlihat. Jika tatapan bisa membunuh, aku pasti sudah mati ribuan kali.
'Lihatlah itu, para pembaca,' pikirku dalam hati, menikmati pemandangan itu. 'Inilah sang "Dewi Es" dari novel aslinya. Si pahlawan wanita yang angkuh yang seharusnya ditaklukkan oleh cinta sejati si MC sampah. Lihat betapa mudahnya dia dipatahkan. Cinta? Persetan dengan cinta. Ketakutan dan dominasi adalah jalan yang jauh lebih efisien.'
Klik.
Gesper pertama terbuka. Potongan pelindung bahu kirinya jatuh ke lantai kayu dengan suara thud yang pelan, tapi terdengar seperti ledakan di ruangan yang sunyi.
Air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Dia tidak terisak. Ini adalah tangisan hening yang penuh dengan kehancuran.
Klik.
Pelindung bahu kanannya menyusul.
Dia memejamkan matanya erat-erat, seolah berharap jika dia tidak melihat, ini tidak terjadi. Tangannya yang gemetar beralih ke pelindung dada yang pas di badan, yang menonjolkan lekuk tubuhnya yang mengagumkan.
Jari-jarinya gemetar begitu hebat hingga dia kesulitan membuka tali pengikat di samping.
"Cih," aku mendecakkan lidahku karena tidak sabar.
Dia tersentak, mengira aku akan menyakitinya lagi, dan buru-buru merobek tali itu dengan paksa.
Thud.
Pelindung dada itu jatuh, memperlihatkan lapisan kain tipis di bawahnya.
Dia terdiam, tubuhnya gemetar hebat.
"Semuanya," kataku dingin.
Jeritan tertahan keluar dari tenggorokannya. Dengan gerakan putus asa yang cepat, seolah-olah ingin segera menyelesaikan siksaan ini, dia merobek sisa-sisa pakaiannya. Zirah kakinya, sepatu botnya, lapisan kain di bawahnya... semuanya dilempar ke lantai dalam tumpukan yang menyedihkan.
Akhirnya, dia berlutut di depanku. Telanjang. Benar-benar terbuka. Tubuhnya yang indah, yang seharusnya hanya dilihat oleh dewa, kini terpapar sepenuhnya di bawah tatapan dinginku. Dia melipat tangannya di depan dadanya, sebuah gerakan perlindungan yang sia-sia, tubuhnya gemetar tak terkendali karena malu, dingin, dan takut.
Misi selesai. Keangkuhannya telah hancur.
[Ding! Misi Penaklukan Tahap 1: "Patahkan Keangkuhannya" telah selesai!]
[Anda telah berhasil menghancurkan harga diri target.]
[Hadiah: +50.000 VP, Skill Pasif [Master's Gaze] telah diperoleh.]
[Total VP Saat Ini: 780.035]
Aku pun berdiri dari kursiku, berjalan perlahan ke arahnya. Dia meringkuk, gemetar, tidak berani menatapku.
Aku berdiri menjulang di atasnya.
"Bagus," kataku. "Sekarang. Merangkak kemari."